KATEGORI
  • Adat & Budaya
  • Agrikultur
  • Aksi
  • Arsitektur
  • Artikel
  • Asmara
  • Autobiografi
  • autobiography
  • Bahasa & Sastra
  • Berita Alineaku
  • Bisnis
  • Branding
  • Catatan Harian
  • Cerita Anak
  • Cerita Bersambung
  • Cerita Pendek
  • Cerita Rakyat
  • Cerpen
  • Cinta
  • Cita – Cita dan Harapan
  • Dongeng
  • Drama
  • Ekonomi
  • Epos
  • Event
  • Fabel
  • Fantasi
  • Fiksi
  • Gaya Hidup
  • Hiburan
  • Hobi
  • Hubungan Antarpribadi
  • Hukum
  • Humanis
  • Humor
  • Ilmu Manajemen
  • Inspirasi
  • Istri
  • Kampus
  • Karir dan Kewirausahaan
  • Keagamaan
  • Keluarga
  • Kesehatan & Kecantikan
  • Kesehatan Mental
  • Ketenagakerjaan
  • Kisa Masa Kecil
  • Kisah Inspiratif
  • Kritik Media
  • Kuliner
  • Legenda
  • Lifestyle
  • Lingkungan Hidup
  • Madhoe Retna
  • Manajemen
  • mengelola toko
  • Mental Health
  • Moralitas
  • Motivasi
  • Novel
  • Nutrisi
  • Nutrition
  • Opini
  • Organisasi
  • Otomotif
  • Parenting
  • Pemerintahan
  • Pendidikan
  • Pendidikan Karir
  • Pendidikan Keuangan
  • pengalaman hidup
  • Pengembangan Diri
  • Perjalanan Hidup
  • Pernikahan
  • Persahabatan
  • Pertemanan
  • Petualangan
  • Petualangan Alam
  • Pilih Kategori
  • Pilih Menu
  • Politik
  • Psikologi
  • Psikologi Sosial
  • Puisi
  • Romansa
  • Romantisme kehidupan
  • Rumah Tangga
  • Satir
  • SDM
  • Sejarah
  • Self-Acceptance
  • Self-Awareness
  • Seni & Budaya
  • Sosial
  • spiritual journey
  • Strategi
  • Teknologi
  • Tempat Wisata
  • Traveling
  • Uncategorized
  • Wanita
  • Beranda » Artikel » Dompet Kosong, Hati Penuh (Chapter 10)

    Dompet Kosong, Hati Penuh (Chapter 10)

    BY 30 Jul 2025 Dilihat: 6 kali
    Dompet Kosong, Hati Penuh_alineaku

    Selain harus kuat fisik, jadi guru pengabdi juga harus kuat mental dan kalau bisa, kuat finansial. Karena di balik niat tulus mengabdi di sekolah desa, ada kenyataan-kenyataan pahit yang kadang sulit ditelan.

    Sebagai guru dengan kasta paling rendah, kami sering dipandang sebelah mata. Posisi kami ada di lapisan terbawah dalam hierarki sekolah: di bawah guru PNS, di bawah guru honor daerah, bahkan kadang di bawah penjaga sekolah yang sudah lebih dulu kerja di situ.

    Sebagai manusia biasa, aku tentu pernah merasa tersinggung. Terutama oleh ucapan-ucapan spontan yang keluar dari mulut ibu-ibu di lingkungan sekolah. Kadang niatnya mungkin bercanda, tapi tetap saja, ada hati yang tergores.

    Aku masih ingat betul suatu siang. Saat itu aku baru saja sampai di sekolah dan sadar dompetku entah tertinggal di rumah atau jatuh di jalan. Panik, aku sibuk bolak-balik mencari.

    Di tengah kepanikan itu, salah satu rekan guru, sebut saja dia dari ‘kasta teratas’ nyeletuk sambil tertawa kecil, “Udah santai aja, dompet guru pengabdi juga, paling isi apa sih?”

    Deg.

    Aku cuma diam. Senyum kecut. Antara ingin marah, ingin sedih, dan ingin ketawa juga sebenarnya. Maksud loh?

    Lucunya, di saat-saat kayak gitu, aku sering kali dipaksa berlapang dada. Menelan bulat-bulat ucapan yang kalau dipikir-pikir, ngapain juga ya orang ngatur isi dompet orang lain?

    Tapi begitulah realitanya. Di balik senyum ramah antar guru, selalu ada kelas sosial yang tak kasat mata. Aku tahu, gaji guru pengabdi sepertiku waktu itu bahkan tak cukup buat beli pulsa sebulan.

    Suatu ketika, pernah juga aku mengalami kejadian serupa. Waktu itu, ibu-ibu PNS di sekolah sedang ribut entah tentang apa. Suasananya panas. Suara mereka agak tinggi, saling potong, sambil sibuk membolak-balik berkas dan catatan.

    Aku yang kebetulan masuk ke ruang guru, refleks bertanya, “Ada apa ini, Bu?” Murni penasaran. Namanya juga satu lingkungan kerja, aku pikir wajar saja kalau ingin tahu, siapa tahu bisa bantu atau sekadar dengar.

    Tapi yang aku dapat justru kalimat yang rasanya langsung nyelip di hati. “Udah, guru pengabdi gak usah ikut campur. Gak ada urusannya sama kamu.”

    Aku tercekat. Diam. Cuma bisa senyum kecut.

    Di situ aku baru benar-benar paham bahwa di sekolah kecil ini, walaupun di papan nama kita sama-sama disebut guru, tapi di keseharian ada sekat-sekat tak terlihat yang membuat kami beda. Kadang aku merasa status sebagai ‘guru pengabdi’ itu semacam stempel sosial, yang membuat kami hanya layak diikutkan kalau soal piket, suruh ngawas ujian, atau jadi pelengkap upacara. 

    Aku tak marah. Mungkin kalau dipendam terus-terusan, hati ini bisa lelah. Tapi waktu itu, aku memilih diam. Bukan karena setuju, tapi karena tahu tak semua hal harus diperjuangkan saat itu juga.

    Yang aku pegang, selama anak-anak di kelas masih menyambutku dengan senyum, meneriaki namaku ketika mendengar deru motor buntutku. Selama Tyson masih berusaha mengucap “How are you”, dan Kody masih semangat maju ke depan kelas meski lidahnya terpeleset, itu sudah cukup.

    Aku belajar, jadi guru pengabdi itu memang harus kuat. Kuat mental, kuat hati, dan kalau bisa kuat finansial, meski yang terakhir ini agak sulit. Karena kadang bukan cuma tugas mengajar yang berat, tapi ucapan dan perlakuan orang-orang di sekitar yang tanpa sadar menyisakan luka kecil.

    Namun justru dari luka-luka kecil itulah aku ditempa. Belajar lebih sabar, belajar lebih dewasa, dan belajar bahwa tak semua hal perlu dibalas, cukup disimpan dan dijadikan alasan untuk terus jadi versi diriku yang lebih baik.

    Begitulah, jadi guru pengabdi di desa kecil ini bukan cuma soal mengajar di kelas atau mengurus administrasi. Tapi juga soal belajar menerima kenyataan, bahwa di mana pun kita berada, akan selalu ada batas-batas tak kasat mata yang memisahkan kita. Entah soal jabatan, soal status, soal isi dompet, atau sekadar soal siapa yang dianggap berhak bicara dan siapa yang tidak.

    Aku tak ingin mengutuk keadaan. Tidak juga ingin menyalahkan siapa-siapa. Karena bagaimanapun, aku datang ke sini atas pilihanku sendiri. Dan di balik luka-luka kecil yang pernah aku rasakan, ada banyak hal yang jauh lebih berharga: anak-anak yang berani bicara meski terbata, tawa lepas saat salah menyebut angka, hingga senyum malu-malu ketika mereka bisa menyanyikan lagu dalam bahasa asing untuk pertama kalinya.

    Dari situ aku belajar, bahwa harga diri seorang guru tidak ditentukan oleh statusnya, tidak diukur dari isi dompetnya, dan tidak ditentukan oleh seberapa banyak orang lain menganggapnya penting. Tapi, dari seberapa tulus ia bertahan, seberapa ikhlas ia berbagi ilmu, dan seberapa besar ia mencintai profesinya, meski seringkali tak ada yang tahu. Aku pernah berada di posisi paling bawah, tapi di sanalah aku belajar paling banyak.

     

    Kreator : Kade Restika Dewi

    Bagikan ke

    Comment Closed: Dompet Kosong, Hati Penuh (Chapter 10)

    Sorry, comment are closed for this post.

    Popular News

    • Part 15: Warung Kopi Klotok  Sesampainya di tempat tujuan, Rama mencari tempat ternyaman untuk parkir. Bude langsung mengajak Rani dan Rama segera masuk ke warung Kopi Klotok. Rama sudah reservasi tempat terlebih dahulu karena tempat ini selalu banyak pengunjung dan saling berebut tempat yang ternyaman dan posisi view yang pas bagi pengunjung. Bude langsung memesan […]

      Okt 01, 2024
    • Part 16 : Alun – Alun  Kidul Keesokan paginya seperti biasa Bude sudah bangun dan melaksanakan ibadah sholat subuh. Begitupun dengan Rani yang juga melaksanakan sholat subuh. Rani langsung ke dapur setelah menunaikan ibadah sholat subuh. Tidak lama disusul oleh Bude dan langsung mengambil bahan masakan serta mengiris bahan untuk memasak. Rani dan Bude sangat […]

      Okt 16, 2024
    • Part 14: Kopi Klotok Pagi hari yang cerah, secerah hati Rani dan semangat yang tinggi menyambut keseruan hari ini. Ia bersenandung dan tersenyum sambil mengiris bahan untuk membuat nasi goreng. Tante, yang berada di dekat Rani, ikut tersenyum melihat Rani yang bersenandung dengan bahagia. “Rani, kamu ada rasa tidak sama Rama? Awas, ya. Jangan suka […]

      Sep 18, 2024
    • Part 13 : Candi Borobudur Keesokan harinya Rama sibuk mencari handphone yang biasa membangunkannya untuk berolahraga disaat Rama berada di Jogja. Rama tersenyum dan semangat untuk bangun, membersihkan diri dan segera membereskan kamarnya. Tidak lupa Rama juga menggunakan pakaian yang Rapih untuk menemui Rani hari ini. Sementara Rani seperti biasa masih bermalas-malasan di dalam kamarnya […]

      Sep 07, 2024
    • Part 12 : Cemburu Rama langsung memukul Jaka saat Jaka baru saja masuk ke ruang kerjanya Rama. Jaka yang meringis bukannya marah namun malah tersenyum terhadap Rama karena Jaka tahu bahwa Rama lagi cemburu terhadapnya. Rama males menjawab salam dari Jaka namun sebagai orang yang punya adab Rama harus menjawab salam dari Jaka dengan sopan. […]

      Sep 05, 2024

    Latest News

    Buy Pin Up Calendar E-book On-line At Low Prices In India After the installation is complete, you’ll have the flexibility […]

    Jun 21, 2021

    Karya Nurlaili Alumni KMO Alineaku Hampir 10 bulan, Pandemi Covid -19 telah melanda dunia dengan cepat dan secara tiba-tiba. Hal […]

    Des 07, 2021

    Karya Lailatul Muniroh, S.Pd Alumni KMO Alineaku Rania akhirnya menikah juga kamu,,,  begitu kata teman2nya menggoda, Yaa,,,Rania bukan anak.yang cantik […]

    Des 07, 2021

    Karya Marsella. Mangangantung Alumni KMO Alineaku Banyak anak perempuan mengatakan bahwa sosok pria yang menjadi cinta pertama mereka adalah Ayah. […]

    Des 07, 2021

    Karya Any Mewa Alumni KMO Alineaku Bukankah sepasang sejoli memutuskan bersatu dalam ikatan pernikahan demi menciptakan damai bersama? Tetapi bagaimana […]

    Des 07, 2021