Selain harus kuat fisik, jadi guru pengabdi juga harus kuat mental dan kalau bisa, kuat finansial. Karena di balik niat tulus mengabdi di sekolah desa, ada kenyataan-kenyataan pahit yang kadang sulit ditelan.
Sebagai guru dengan kasta paling rendah, kami sering dipandang sebelah mata. Posisi kami ada di lapisan terbawah dalam hierarki sekolah: di bawah guru PNS, di bawah guru honor daerah, bahkan kadang di bawah penjaga sekolah yang sudah lebih dulu kerja di situ.
Sebagai manusia biasa, aku tentu pernah merasa tersinggung. Terutama oleh ucapan-ucapan spontan yang keluar dari mulut ibu-ibu di lingkungan sekolah. Kadang niatnya mungkin bercanda, tapi tetap saja, ada hati yang tergores.
Aku masih ingat betul suatu siang. Saat itu aku baru saja sampai di sekolah dan sadar dompetku entah tertinggal di rumah atau jatuh di jalan. Panik, aku sibuk bolak-balik mencari.
Di tengah kepanikan itu, salah satu rekan guru, sebut saja dia dari ‘kasta teratas’ nyeletuk sambil tertawa kecil, “Udah santai aja, dompet guru pengabdi juga, paling isi apa sih?”
Deg.
Aku cuma diam. Senyum kecut. Antara ingin marah, ingin sedih, dan ingin ketawa juga sebenarnya. Maksud loh?
Lucunya, di saat-saat kayak gitu, aku sering kali dipaksa berlapang dada. Menelan bulat-bulat ucapan yang kalau dipikir-pikir, ngapain juga ya orang ngatur isi dompet orang lain?
Tapi begitulah realitanya. Di balik senyum ramah antar guru, selalu ada kelas sosial yang tak kasat mata. Aku tahu, gaji guru pengabdi sepertiku waktu itu bahkan tak cukup buat beli pulsa sebulan.
Suatu ketika, pernah juga aku mengalami kejadian serupa. Waktu itu, ibu-ibu PNS di sekolah sedang ribut entah tentang apa. Suasananya panas. Suara mereka agak tinggi, saling potong, sambil sibuk membolak-balik berkas dan catatan.
Aku yang kebetulan masuk ke ruang guru, refleks bertanya, “Ada apa ini, Bu?” Murni penasaran. Namanya juga satu lingkungan kerja, aku pikir wajar saja kalau ingin tahu, siapa tahu bisa bantu atau sekadar dengar.
Tapi yang aku dapat justru kalimat yang rasanya langsung nyelip di hati. “Udah, guru pengabdi gak usah ikut campur. Gak ada urusannya sama kamu.”
Aku tercekat. Diam. Cuma bisa senyum kecut.
Di situ aku baru benar-benar paham bahwa di sekolah kecil ini, walaupun di papan nama kita sama-sama disebut guru, tapi di keseharian ada sekat-sekat tak terlihat yang membuat kami beda. Kadang aku merasa status sebagai ‘guru pengabdi’ itu semacam stempel sosial, yang membuat kami hanya layak diikutkan kalau soal piket, suruh ngawas ujian, atau jadi pelengkap upacara.
Aku tak marah. Mungkin kalau dipendam terus-terusan, hati ini bisa lelah. Tapi waktu itu, aku memilih diam. Bukan karena setuju, tapi karena tahu tak semua hal harus diperjuangkan saat itu juga.
Yang aku pegang, selama anak-anak di kelas masih menyambutku dengan senyum, meneriaki namaku ketika mendengar deru motor buntutku. Selama Tyson masih berusaha mengucap “How are you”, dan Kody masih semangat maju ke depan kelas meski lidahnya terpeleset, itu sudah cukup.
Aku belajar, jadi guru pengabdi itu memang harus kuat. Kuat mental, kuat hati, dan kalau bisa kuat finansial, meski yang terakhir ini agak sulit. Karena kadang bukan cuma tugas mengajar yang berat, tapi ucapan dan perlakuan orang-orang di sekitar yang tanpa sadar menyisakan luka kecil.
Namun justru dari luka-luka kecil itulah aku ditempa. Belajar lebih sabar, belajar lebih dewasa, dan belajar bahwa tak semua hal perlu dibalas, cukup disimpan dan dijadikan alasan untuk terus jadi versi diriku yang lebih baik.
Begitulah, jadi guru pengabdi di desa kecil ini bukan cuma soal mengajar di kelas atau mengurus administrasi. Tapi juga soal belajar menerima kenyataan, bahwa di mana pun kita berada, akan selalu ada batas-batas tak kasat mata yang memisahkan kita. Entah soal jabatan, soal status, soal isi dompet, atau sekadar soal siapa yang dianggap berhak bicara dan siapa yang tidak.
Aku tak ingin mengutuk keadaan. Tidak juga ingin menyalahkan siapa-siapa. Karena bagaimanapun, aku datang ke sini atas pilihanku sendiri. Dan di balik luka-luka kecil yang pernah aku rasakan, ada banyak hal yang jauh lebih berharga: anak-anak yang berani bicara meski terbata, tawa lepas saat salah menyebut angka, hingga senyum malu-malu ketika mereka bisa menyanyikan lagu dalam bahasa asing untuk pertama kalinya.
Dari situ aku belajar, bahwa harga diri seorang guru tidak ditentukan oleh statusnya, tidak diukur dari isi dompetnya, dan tidak ditentukan oleh seberapa banyak orang lain menganggapnya penting. Tapi, dari seberapa tulus ia bertahan, seberapa ikhlas ia berbagi ilmu, dan seberapa besar ia mencintai profesinya, meski seringkali tak ada yang tahu. Aku pernah berada di posisi paling bawah, tapi di sanalah aku belajar paling banyak.
Kreator : Kade Restika Dewi
Comment Closed: Dompet Kosong, Hati Penuh (Chapter 10)
Sorry, comment are closed for this post.