KATEGORI
  • Adat & Budaya
  • Agrikultur
  • Aksi
  • Arsitektur
  • Artikel
  • Asmara
  • Autobiografi
  • autobiography
  • Bahasa & Sastra
  • Berita Alineaku
  • Bisnis
  • Branding
  • Catatan Harian
  • Cerita Anak
  • Cerita Pendek
  • Cerita Rakyat
  • Cerpen
  • Cinta
  • Cita – Cita dan Harapan
  • Dongeng
  • Drama
  • Ekonomi
  • Epos
  • Event
  • Fabel
  • Fantasi
  • Fiksi
  • Gaya Hidup
  • Hiburan
  • Hobi
  • Hubungan Antarpribadi
  • Hukum
  • Humanis
  • Humor
  • Ilmu Manajemen
  • Inspirasi
  • Istri
  • Kampus
  • Karir dan Kewirausahaan
  • Keagamaan
  • Keluarga
  • Kesehatan & Kecantikan
  • Kesehatan Mental
  • Ketenagakerjaan
  • Kisa Masa Kecil
  • Kisah Inspiratif
  • Kritik Media
  • Kuliner
  • Legenda
  • Lifestyle
  • Lingkungan Hidup
  • Manajemen
  • mengelola toko
  • Mental Health
  • Moralitas
  • Motivasi
  • Novel
  • Nutrisi
  • Nutrition
  • Opini
  • Organisasi
  • Otomotif
  • Parenting
  • Pemerintahan
  • Pendidikan
  • Pendidikan Karir
  • Pendidikan Keuangan
  • pengalaman hidup
  • Pengembangan Diri
  • Perjalanan Hidup
  • Pernikahan
  • Persahabatan
  • Pertemanan
  • Petualangan
  • Petualangan Alam
  • Pilih Kategori
  • Pilih Menu
  • Politik
  • Psikologi
  • Psikologi Sosial
  • Puisi
  • Romansa
  • Romantisme kehidupan
  • Rumah Tangga
  • Satir
  • SDM
  • Sejarah
  • Self-Acceptance
  • Self-Awareness
  • Seni & Budaya
  • Sosial
  • spiritual journey
  • Strategi
  • Teknologi
  • Tempat Wisata
  • Traveling
  • Uncategorized
  • Wanita
  • Beranda » Artikel » Dragana Chapter 1

    Dragana Chapter 1

    BY 12 Okt 2024 Dilihat: 126 kali
    Dragana_alineaku

    Summary: Wajah anak itu berpendar, garis biru yang menandakan dia berdarah penyihir, darah pemberontak. Darah yang harus diburu dan dibantai. Keturunan yang tidak diperbolehkan ada pada kerajaan saat itu.

    Moira. Seorang gadis yang memiliki mata biru Zircon, memiliki guratan biru pada pipinya seperti cakar naga, tanda bahwa dia berasal dari kaum penyihir. Rambutnya hitam legam, poni dibelah menyamping. Unik, sebab penyihir pada umumnya berambut merah. Memiliki sihir dari keturunan asal, yaitu kaum naga. Sosoknya merupakan ancaman bagi kerajaan.

     

    Chapter 1: Awal

    Bunyi derap kaki kuda pada kegelapan malam diiringi dengan obor-obor yang menyala membuat suasana semakin mencekam. Beberapa prajurit membawa bendera istana, menuju ke bukit terpencil dari kota inti sebuah kerajaan. Rombongan itu membuat banyak rumah-rumah penduduk yang sudah tertutup rapat satu per satu menyalakan kembali lampu rumah mereka. Beberapa membuka gorden untuk melihat keluar, tidak banyak yang membanting pintu rapat-rapat, tidak ingin mencari perkara dengan kerajaan.

    Raja saat itu sudah mengumandangkan perintah untuk mencari sosok seorang gadis yang berumur sekitar lima tahun. Diadakannya sayembara mendadak membuat rakyat takut. Barangsiapa yang berani menyembunyikan anak itu, satu keluarga akan dihukum mati.

    Malam itu, para prajurit mengetahui bahwa ada asap yang sering muncul di tengah-tengah hutan, tidak jauh dari kota inti. Di tempat itu tampaknya tinggal beberapa warga dekat perbatasan kota. Rumor mengatakan bahwa mereka sudah hidup beberapa tahun lamanya, dan tidak pernah ada desas-desus aneh terhadap warga yang tinggal di daerah perbatasan. Hingga pada hari saat festival berlangsung dan mereka mendapati artefak sihir terlarang yang telah lama dikubur dalam-dalam kini muncul kembali ke permukaan. Tanda itu menggores batu marmer panggung, tempat diadakannya pertunjukkan resmi untuk para bangsawan. Tidak hanya itu, terdapat tulisan yang seolah-olah mengancam keluarga raja.

    Kerajaan ini akan jatuh. Tidak lama lagi, kita bebas!

    Entah siapa yang telah menorehkan goresan pada marmer tersebut. Beberapa saksi mata melihat seorang gadis berselubung kain biru khas melewati panggung tersebut. Pada kala itu, warna biru merupakan warna terlarang yang tidak boleh digunakan oleh penjuru kota. Itu menunjukkan bahwa dia merupakan seorang penyihir.

    Biru, pada zaman itu, sangat sulit diproduksi, dan rakyat percaya bahwa warna tersebut merupakan warna mewah. Tidak jarang, banyak yang mengatakan bahwa warna itu sudah disihir. Itu sebabnya, warna tersebut menjadi warna terlarang. Tidak menutup kemungkinan bahwa warna biru dianggap membawa petaka. Yang mengenakan warna biru dianggap memiliki kekuatan yang tidak layak, tidak pantas dan dianggap kotor. Orang-orang menyebut mereka sebagai ahli sihir karena mengenakan pakaian yang sulit diciptakan, nyata bahwa mereka menyihir suatu warna terlarang yang lambat laun dijadikan simbol yang ditujukan bagi penyihir. Penyihir disebut sebagai seorang yang berdarah biru, bukan berarti mereka bangsawan, namun dianggap memiliki darah terlarang. Darah pemberontak. Darah yang harus diburu dan dibantai. Keturunan yang tidak diperbolehkan ada pada kerajaan saat itu. Penyihir tidak diperbolehkan untuk bersatu dengan yang bukan penyihir, demi terciptanya darah murni, anti-penyihir.

    Dalam sekejap para prajurit tersebut sudah sampai pada penghujung kota. Mereka membuka gerbang untuk menuju ke hutan, ke tempat yang diyakini telah tinggal penyihir. Derap kaki kuda menerobos jalur setapak menuju pondok-pondok penduduk yang bermukim dekat dengan aliran sungai yang memasuki kerajaan.

    Seorang pemuda berusia sekitar 15 tahun memungut kapak. Dia mengecek keseluruhan alat itu dan mengawasi tindak-tanduk ular yang baru saja dibunuhnya.

    “Bagus. Ini bisa jadi obat yang berguna.” Gumamnya pada diri sendiri. Dia tersenyum senang dengan hasil kerjanya, sebelum memungut kepala ular itu.

    “Kak Celestio!”

    Seorang gadis kecil berusia lima tahun berlarian menuju Sang Kakak. Wajahnya terlihat ceria. Rambut hitamnya tampak berantakan. Gurat merah muda mewarnai pipinya. Dia terlihat sangat ceria. Mata biru zircon-nya terlihat cemerlang dan bersinar.

    “Lihat! Aku bisa melakukan ini!” Teriaknya dan mulai menunjukkan kepada Sang Kakak bahwa kakinya melayang kira-kira satu centimeter dari tanah.

    Celectio melihatnya dan tertawa. “Hei, Moira. Sudah kubilang jangan terlalu sering menggunakan kekuatanmu.” Dia terkekeh melihat adiknya berusaha menyeimbangkan diri di udara, naik semakin lama semakin tinggi.

    “Apa kakak bisa melakukan ini?” Tanya Moira, berputar dan menari di udara.

    “Yah, aku tidak diberi kekuatan sebesar dirimu. Kau mirip dengan Ibu. Dia bisa melakukan hal-hal ajaib dan hebat! Aku iri padamu!”

    Moira tertawa, kemudian dengan sigap dia melayang mendekati kakaknya. Dia buru-buru meraih kaki Celestio saat dirinya kehilangan keseimbangan dan hampir jatuh. Celestio dengan sigap menangkap adiknya.

    “Hati-hati!” Katanya cemas.

    “Aku tidak apa-apa. Jika aku terluka, Ibu bisa menyembuhkanku!” Moira tertawa.

    “Hei, kau harus menjaga dirimu. Mentang-mentang Ibu bisa sihir penyembuh, kau jadi seenaknya!”

    Moira memberungut, kemudian menjulurkan lidahnya. Celestio mencubit pipi adiknya.

    “Sikap macam apa itu?”

    Moira kemudian berlari menghindari kakaknya, berteriak dan tertawa, kembali menuju ke rumahnya.

    “IBU! KAKAK NAKAL!” Serunya.

    “APA KAU BILANG?!” Celestio balas teriak sebelum dia mengejar adiknya.

    Telinganya menangkap suara derap kuda, dia berhenti mengejar Moira dan melihat ke belakang, ke daerah semak-semak. Dahinya mengernyit, entah mengapa perasaannya tidak enak. Celestio diam, tidak memperhatikan siapapun, namun dia bisa memastikan bahwa ada sekelompok pengendara kuda yang sedang menuju pondok tempat tinggal mereka. Jantungnya berdebar cepat mengawasi.

    “CELESTIO!”

    Celestio melihat ke pondok, Ibu memanggilnya untuk segera masuk ke dalam rumah. Dia melihat ke arah semak-semak.

    “Cepat masuk!”

    Celestio langsung berlari masuk ke dalam rumah.

    Moira memandang keramaian dari dalam rumahnya. Dia melihat para prajurit kerajaan berbondong-bondong menuju pondok terpencil dari semua pondok. Tetangga mereka kini sedang dalam perkara penggeledahan paksa. Pandangannya terhalang tirai saat Ibu menarik Moira.

    “Moira! Menjauhlah dari jendela!” Sang Ibu berlutut di hadapannya.

    “Dengar, Moira. Kau harus menyembunyikan jati dirimu. Di saat Ayah dan Ibu tidak lagi di sisimu, kau ingat apa yang selalu ibu katakan.”

    “Asuza, kecilkan suaramu.” Ayahnya berbisik sambil memicingkan mata, mengawasi prajurit dari balik gorden.

    Moira menatap ayahnya dan balik memandang ibunya sambil mengernyitkan dahi. Dia menggeleng kepala. “Tapi Ibu dan Ayah akan baik-baik saja, kan?”

    “Tentu saja. Kami akan baik-baik saja.” Asuza memeluk anak bungsunya, membelai rambut hitamnya dengan penuh kasih.

    “Sekarang, bersembunyilah di dalam ruang bawah tanah.” 

    Patuh, Moira buru-buru mengangkat kayu-kayu lapuk di bawah karpet. Tubuh mungilnya bersembunyi di dalam dan mengintip ke atas. Sang Ibu tersenyum dan menekan kayu itu agar tertutup rapat.

    Pintu dibuka paksa, Celestio mencoba untuk melindungi keluarganya.

    “Apa-apaan ini?!” Teriak Celestio, berusaha untuk menahan mereka masuk ke ruang tamu. “Kalian tidak sopan!”

    “Kau tahu siapa kami dari jubah hijau kami! Kami prajurit istana! Titah kerajaan untuk menggeledah pondok-pondok yang ada di sini! GELEDAH! JANGAN ADA YANG LUPUT!” Prajurit bertubuh besar itu mendorong Celestio sampai dia terjungkal ke lantai.

    “Tunggu! Kami telah hidup di sini bertahun-tahun!” Sang Ayah mencoba menghentikan mereka. “Tidak pernah ada perlakuan kasar seperti ini dari kerajaan. Mau apa kalian?!”

    “Kalau tidak ada apa-apa, kenapa kau takut?!” Salah satu dari mereka menghardik. Para prajurit itu menendang kasar tumpukan kotak-kotak peralatan. Beberapa dari kotak tersebut rusak dan terjatuh, isinya berhamburan keluar.

    “Barang apa ini?!” Teriak prajurit yang menendang kotak itu.

    “Itu obat! Saya adalah dokter di daerah ini!”

    “Siapa namamu?! Tidak ada dokter yang memiliki izin praktek kecuali dokter istana dan di dalam kota kerajaan inti!”

    Dia memungut seonggok serbuk berwarna putih bercampur dengan kebiruan. Biru. Prajurit itu menggeram.

    “Dokter mana yang bisa meracik obat seperti ini?! Kau mencurinya? SIAPA NAMAMU?!”

    Sang Ayah berhenti sejenak. “Etusha.” Dia menggumam, sesaat matanya berubah kuning keemasan dan bubuk yang dipegang oleh prajurit itu meledak.

    “PENYIHIR! DIA MUSUH KERAJAAN!”

    “DIA SANG PEMBANGKANG, ETUSHA! DIA MENGGUNAKAN SIHIR!”

    “Asuza! Larilah dari sini dan bawa Moira bersamamu!” Etusha berteriak sambil meraih kantong bubuk sihir lainnya.

    “Tunggu! Aku tidak mungkin meninggalkanmu begitu saja!” Istrinya teriak, dia melambaikan tangannya dan beberapa prajurit kerajaan yang mencoba menangkapnya terlempar menabrak dinding.

    “Kau tahu Moira sangat penting bagi kita!”

    “APA YANG KAU BICARAKAN?!” Prajurit yang membawa pedang itu menghunuskan pedangnya ke arah Asuza. Celestio menangkis pedangnya dengan pisau, menggeram bengis ke arah prajurit itu.

    “Beraninya kau menghunuskan pedang itu pada ibuku!”

    “Celestio!” Azusa menjerit panik.

    Dia meraih salah satu batu yang tergeletak pada tumpukan obat. Batu kristal itu bersinar terang bersamaan dengan mata Asuza, dia menggumam sesuatu sebelum batu kristal itu melayang ke udara dan puluhan sinar menyembur ke segala arah. Para prajurit berusaha menghindari serangan. Beberapa dari mereka terkena serangan itu dan jatuh pingsan.

    “Kerahkan pasukan! Hancurkan kristal itu!” Teriak prajurit dari pintu masuk. Rombongan prajurit menyeruak masuk dari pintu, jendela dipecahkan dan beberapa melompat ke dalam rumah.

    “Asuza! HENTIKAN! Kau sudah lama tidak menggunakan sihir!” Etusha berusaha menghindari serangan dari batu kristal itu, menggumamkan sihir pelindung agar dia tidak terkena serangannya. 

    Asuza tidak menggubrisnya, nafasnya memburu, sekelebat asap mengepul dari batu kristal itu.

    Anak panah melesat masuk melalui jendela, untuk sesaat keadaan hening. Panah itu mengenai kristal tersebut, kemudian kristal itu retak dan hancur berkeping-keping. Sinar mata Asuza hilang, beberapa anak panah menghujam tubuhnya. Asuza kehilangan kesadaran, jatuh ke lantai dan meninggal dunia. Etusha berteriak lantang, meraih tombak terdekat, menggumam sesuatu sebelum tombak di tangannya membara. Dia mengayunkan tombak itu dan mulai menyerang membabi buta.

    “AYAH!”

    Celestio menarik pedang prajurit yang baru saja meninggal akibat tikaman tombak Etusha. Dia mengayunkan pedangnya dan membantu ayahnya menyerang prajurit lain. Celestio lega karena dia berhasil menumbangkan beberapa prajurit yang berlarian ke arahnya.

    Moira yang mengintip dari bawah pintu bawah tanah menyaksikan ibunya meninggal. Dia terisak, berusaha menekan suaranya agar tidak terdengar. Buku-buku kukunya memutih, mencengkeram tangga kayu tempatnya berpijak. Suara kayu berkelotak di atas kepalanya, sihirnya bekerja di luar kendali. Beberapa garis biru muncul pada permukaan pipi Moira, kiri dan kanan. Bentuknya seperti cakar naga.

    Telinga Celestio menangkap suara bising tersebut, dia buru-buru berlari, berdiri membelakangi pintu rahasia bawah tanah, memasang kuda-kuda, siap menyerang siapa saja yang mencoba mendekati ruang rahasia tersebut.

    Etusha menyadari kekuatan sihir yang makin lama semakin membesar. Dia menatap ke arah Moira berada, ia bergidik sejenak.

    “Asuza, anak kita akan semakin kuat. Dia yang akan mengubah dunia.” Katanya.

    Matanya melihat prajurit berlari ke arah Celestio, hendak menebas dari belakang. Etusha berlari ke arah anak sulungnya. Celestio terkejut saat ayahnya mendorongnya ke lantai, dia melihat ayahnya menerima tikaman tepat pada jantungnya.

    “AYAH!”

    Celestio berteriak, tubuhnya gemetar hebat.

    “Celestio… Jangan lengah.” Etusha muntah darah saat pedangnya ditarik keluar. Dia jatuh telungkup ke lantai, bersimbah darah.

    “Habisi anak-anaknya! Jangan ada yang tersisa!” teriak prajurit yang baru saja berhasil membunuh Etusha.

    Moira berteriak lantang. Sihirnya meledak. Celestio melompat kaget, melihat adiknya melayang di tengah kayu-kayu yang rusak berhamburan. Dia menatap adiknya melayang terangkat di atas lubang pintu masuk bawah tanah. Di tangan Moira tergenggam pecahan batu Zircon kecil yang diberikan ibunya. Batu itu retak dan hancur akibat luapan sihir Moira.

    Prajurit bingung menatap anak yang baru saja meluapkan kekuatan sihirnya. Batu Zircon Moira pecah, dan dia masih dapat menggunakan sihir. Mereka menyadari bahwa dia bukan penyihir biasa. Kekuatannya tidak memiliki keterbatasan. Sebuah ancaman terbesar bagi seluruh negeri.

    “BUNUH DIA! BUNUH ANAK ITU!” Seru salah satu prajurit dengan ngeri.

    Moira terisak, dengan nafas tersengal, pipinya terasa melepuh. Dia menatap jasad orang tuanya, kemudian berteriak lantang. Kekuatannya meluap semakin besar. Sihir yang mengelilingi tubuh Moira seperti bola semakin lama semakin besar.

    “MOIRA!”

    Sang Kakak berteriak, berusaha meraih adiknya. Tangannya terkena sihir dan terasa panas membakar. Celestio menarik tangannya yang memerah.

    Seluruh rumah porak-poranda. Seperti bom waktu, para prajurit bergegas menghindar dan melarikan diri, namun dalam sekejap, luapan sihir Moira menghantam seisi rumah.

    Celestio buru-buru menggumamkan pelindung sihir dan menyelubungi tubuhnya dan jasad orang tuanya dari serangan Moira. Sedetik kemudian, dia terlempar beserta para prajurit, beberapa hilang menjadi debu dalam sekejap.

    Untuk beberapa saat, kekuatan Moira perlahan menghilang. Semburat sinar biru mengelilingi tubuh Moira seperti kilat, lalu menghilang. Moira mengerjap beberapa saat dan kehilangan kesadaran. Dia jatuh menghantam lantai, tidak bergeming.

    “Moira!”

    Celestio beranjak bangun dan menghampiri adiknya, kemudian dengan lembut memeriksa Moira, sekujur tubuhnya gemetar. Dia meletakkan telinganya pada dada Moira, mendengarkan detak jantungnya.

    “Pingsan…” Celestio menghela nafas lega. 

    Tubuhnya seketika lemas. Dia menatap adiknya sejenak, kemudian memeriksa kondisi sekitar.

    Rumah mereka hancur, porak-poranda. Para prajurit istana kehilangan nyawa mereka. Beberapa sudah hilang menjadi debu.

    Celestio meringis menatap jasad kedua orang tuanya. Dia perlahan menggendong Moira, berdiri dan menuju jasad Etusha dan Asuza.

    “Ayah, Ibu… Moira selamat. Aku… akan menjaganya.” Celestio membungkuk kepada orang tuanya. Hatinya pedih, air matanya mengalir deras, menangis sejadi-jadinya.

    “AKU AKAN MELINDUNGINYA SAMPAI SAATNYA TIBA!” Dia berteriak lantang.

    Celestio memandang jasad Ibu dan Ayah yang telah dibersihkan sedemikian rupa. Sudah lebih dari 15 menit sejak kejadian tersebut, Moira belum juga siuman. Celestio menggumamkan mantra sihir. Seketika jasad orang tuanya terbakar api. 

    “Selamat tinggal.” Celestio bergumam menatap sejenak kepada orang tuanya.

    Dia menyeka air matanya dan berjalan membelakangi mereka. Pemuda berambut coklat itu mengangkat ransel besar berisi pakaian dan beberapa bahan makanan. Dia menyarungkan pedang yang diambilnya dari salah satu prajurit. Celestio menggendong Moira, keluar dari puing-puing rumah mereka. Mata birunya menatap puing-puing rumahnya untuk terakhir kalinya. Memantapkan hati, dia menatap ke jalan setapak menuju ke kota lain. Kakinya mulai melangkah, pergi dari tempat mereka tinggal, pergi merantau ke daerah yang jauh dari kota kerajaan. Ke tempat yang kental dengan sihir asal. Viscia.

    To Be Continued…

     

     

    Kreator : Alvaster

    Bagikan ke

    Comment Closed: Dragana Chapter 1

    Sorry, comment are closed for this post.

    Popular News

    • Part 15: Warung Kopi Klotok  Sesampainya di tempat tujuan, Rama mencari tempat ternyaman untuk parkir. Bude langsung mengajak Rani dan Rama segera masuk ke warung Kopi Klotok. Rama sudah reservasi tempat terlebih dahulu karena tempat ini selalu banyak pengunjung dan saling berebut tempat yang ternyaman dan posisi view yang pas bagi pengunjung. Bude langsung memesan […]

      Okt 01, 2024
    • Part 16 : Alun – Alun  Kidul Keesokan paginya seperti biasa Bude sudah bangun dan melaksanakan ibadah sholat subuh. Begitupun dengan Rani yang juga melaksanakan sholat subuh. Rani langsung ke dapur setelah menunaikan ibadah sholat subuh. Tidak lama disusul oleh Bude dan langsung mengambil bahan masakan serta mengiris bahan untuk memasak. Rani dan Bude sangat […]

      Okt 16, 2024
    • Part 14: Kopi Klotok Pagi hari yang cerah, secerah hati Rani dan semangat yang tinggi menyambut keseruan hari ini. Ia bersenandung dan tersenyum sambil mengiris bahan untuk membuat nasi goreng. Tante, yang berada di dekat Rani, ikut tersenyum melihat Rani yang bersenandung dengan bahagia. “Rani, kamu ada rasa tidak sama Rama? Awas, ya. Jangan suka […]

      Sep 18, 2024
    • Part 13 : Candi Borobudur Keesokan harinya Rama sibuk mencari handphone yang biasa membangunkannya untuk berolahraga disaat Rama berada di Jogja. Rama tersenyum dan semangat untuk bangun, membersihkan diri dan segera membereskan kamarnya. Tidak lupa Rama juga menggunakan pakaian yang Rapih untuk menemui Rani hari ini. Sementara Rani seperti biasa masih bermalas-malasan di dalam kamarnya […]

      Sep 07, 2024
    • Part 12 : Cemburu Rama langsung memukul Jaka saat Jaka baru saja masuk ke ruang kerjanya Rama. Jaka yang meringis bukannya marah namun malah tersenyum terhadap Rama karena Jaka tahu bahwa Rama lagi cemburu terhadapnya. Rama males menjawab salam dari Jaka namun sebagai orang yang punya adab Rama harus menjawab salam dari Jaka dengan sopan. […]

      Sep 05, 2024

    Latest News

    Buy Pin Up Calendar E-book On-line At Low Prices In India After the installation is complete, you’ll have the flexibility […]

    Jun 21, 2021

    Karya Nurlaili Alumni KMO Alineaku Hampir 10 bulan, Pandemi Covid -19 telah melanda dunia dengan cepat dan secara tiba-tiba. Hal […]

    Des 07, 2021

    Karya Lailatul Muniroh, S.Pd Alumni KMO Alineaku Rania akhirnya menikah juga kamu,,,  begitu kata teman2nya menggoda, Yaa,,,Rania bukan anak.yang cantik […]

    Des 07, 2021

    Karya Marsella. Mangangantung Alumni KMO Alineaku Banyak anak perempuan mengatakan bahwa sosok pria yang menjadi cinta pertama mereka adalah Ayah. […]

    Des 07, 2021

    Karya Any Mewa Alumni KMO Alineaku Bukankah sepasang sejoli memutuskan bersatu dalam ikatan pernikahan demi menciptakan damai bersama? Tetapi bagaimana […]

    Des 07, 2021