KATEGORI
  • Adat & Budaya
  • Agrikultur
  • Aksi
  • Arsitektur
  • Artikel
  • Asmara
  • Autobiografi
  • autobiography
  • Bahasa & Sastra
  • Berita Alineaku
  • Bisnis
  • Branding
  • Catatan Harian
  • Cerita Anak
  • Cerita Pendek
  • Cerita Rakyat
  • Cerpen
  • Cinta
  • Cita – Cita dan Harapan
  • Dongeng
  • Drama
  • Ekonomi
  • Epos
  • Event
  • Fabel
  • Fantasi
  • Fiksi
  • Gaya Hidup
  • Hiburan
  • Hobi
  • Hubungan Antarpribadi
  • Hukum
  • Humanis
  • Humor
  • Ilmu Manajemen
  • Inspirasi
  • Istri
  • Kampus
  • Karir dan Kewirausahaan
  • Keagamaan
  • Keluarga
  • Kesehatan & Kecantikan
  • Kesehatan Mental
  • Ketenagakerjaan
  • Kisa Masa Kecil
  • Kisah Inspiratif
  • Kritik Media
  • Kuliner
  • Legenda
  • Lifestyle
  • Lingkungan Hidup
  • Manajemen
  • mengelola toko
  • Mental Health
  • Moralitas
  • Motivasi
  • Novel
  • Nutrisi
  • Nutrition
  • Opini
  • Organisasi
  • Otomotif
  • Parenting
  • Pemerintahan
  • Pendidikan
  • Pendidikan Karir
  • Pendidikan Keuangan
  • pengalaman hidup
  • Pengembangan Diri
  • Perjalanan Hidup
  • Pernikahan
  • Persahabatan
  • Pertemanan
  • Petualangan
  • Petualangan Alam
  • Pilih Kategori
  • Pilih Menu
  • Politik
  • Psikologi
  • Psikologi Sosial
  • Puisi
  • Romansa
  • Romantisme kehidupan
  • Rumah Tangga
  • Satir
  • SDM
  • Sejarah
  • Self-Acceptance
  • Self-Awareness
  • Seni & Budaya
  • Sosial
  • spiritual journey
  • Strategi
  • Teknologi
  • Tempat Wisata
  • Traveling
  • Uncategorized
  • Wanita
  • Beranda » Artikel » Dragana Chapter 3

    Dragana Chapter 3

    BY 08 Okt 2024 Dilihat: 186 kali
    Dragana_alineaku

    Summary: Wajah anak itu berpendar, garis biru yang menandakan dia berdarah penyihir, darah pemberontak. Darah yang harus diburu dan dibantai. Keturunan yang tidak diperbolehkan ada pada kerajaan saat itu.

    Moira. Seorang gadis yang memiliki mata biru Zircon, memiliki guratan biru pada pipinya seperti cakar naga, tanda bahwa dia berasal dari kaum penyihir. Rambutnya hitam legam, poni dibelah menyamping. Unik, sebab penyihir pada umumnya berambut merah. Memiliki sihir dari keturunan asal, yaitu kaum naga. Sosoknya merupakan ancaman bagi kerajaan.

     

    Chapter 3: Dravek dan Viscia

    Suara denting lonceng berbunyi. Celestio terperanjat. Dia membuka mata, terbangun dari ranjangnya. Mimpikah itu semua? Dia sudah sampai di Viscia? Dia melihat ruangan tempatnya berada, hatinya mencelos. Ini rumahnya… Bukan… Bukankah seharusnya rumahnya sudah hancur berkeping-keping? Orang tuanya…

    Hatinya berdegup kencang ketika telinganya menangkap suara piring dicuci. Dia menoleh ke arah pintu. Selimut yang masih menutupi sebagian tubuhnya disingkirkan, Celestio turun dari ranjang. Kakinya menapak ragu, sejenak berhenti sebelum memantapkan hatinya. Dia menelan ludah saat dia berdiri tepat di hadapan pintu masuk. Tangannya meraih knop pintu, sesaat gemetar sebelum dia memutar knop dan membuka pintu. Matanya membesar saat melihat punggung ibunya…

    “I…bu?” Celestio melongo, suaranya tercekat. Tenggorokannya terasa kering.

    Sosok yang mirip dengan ibunya itu menoleh. Dia tersenyum. “Celestio, Kau sudah bangun? Ibu sudah suguhkan teh hangat.”

    “D-dengan gula dan susu?” Kata Celestio ragu.

    Ibunya tertawa. “Tentu saja, sudah ibu masukkan. Kesukaanmu tidak pernah berubah. Ayo duduk.”

    Celestio menatap cangkir itu. Dia duduk dan menatap ibunya sambil mengernyitkan dahi. Mimpikah ini? Dia mencubit pipinya sendiri dan meringis. Tentu rasa sakit ini tidak bohong. Tapi rasanya ada yang salah… Mau disihir seperti apapun, orang mati tidak akan hidup kembali. Itu sihir terlarang. Penyihir dengan kekuatan besar manapun tidak akan mampu.

    Ingatannya tentang penyihir berkekuatan besar mengingatkannya pada Moira. Mata Celestio berkeliling mencari adiknya. “Moira di mana?”

    Sang ibu diam sejenak. “Sedang bermain di luar.” Sahutnya.

    “Kalau begitu, aku akan melihat keluar.”

    “Sebelum itu, tolong diminum dulu tehnya.” 

    “Ta-tapi… Aku khawatir dengan Moira.”

    “Moira bisa menunggu.” Ibunya berjalan mendekat.

    Celestio mendelik. Sepertinya ada yang salah. Ibunya sangat tahu betapa Celestio menyayangi Moira.

    “Dimana Moira?” ulangnya.

    “Celestio, kau tidak patuh pada ibumu? Seharusnya aku menghukummu karena telah membakar tubuhku dan Etushia.”

    Matanya berubah menghitam. Taring-taring mulai meruncing. Wajah ibunya berubah perlahan-lahan. Bau busuk menguar dari tubuhnya. Sekujur tubuh Celestio bergidik.

    “Daging anak itu terlihat enak…” Suara serak mencekat. Celestio teringat sekelebat peristiwa di hutan. Makhluk itu!

    “Kau!” Celestio menggeram. Dia berdiri, hendak mengingat-ingat mantra kutukan yang diajarkan ibunya.

    “Kau tidak punya batu sihir… Kau tidak akan bisa-”

    Jika Moira bisa, tentu Celestio seharusnya juga bisa. Sesaat sebelum Celestio melontarkan mantra, tubuh makhluk itu hancur berkeping-keping menjadi debu.

    Celestio menatap si naga kembar. Rumah yang dihuni perlahan berubah. Bagaikan lelehan ilusi yang tidak tersentuh. Salah satu dari mereka tersenyum.

    “Vernio? Belio?” Celestio terbatuk ketika ilusi sudah sepenuhnya hilang.

    Dia melihat sekeliling ruangan. Ruangan tersebut tidak jauh berbeda dari rumahnya yang lama, namun ada beberapa perabot unik berjejer di sekeliling ruangan. Dia melihat beberapa alat sihir tengah bergerak sendiri. Ada beberapa wajan dan panci diatas kompor yang sedang mengaduk makanan dengan sendirinya.

    “Ini di mana? Berapa lama aku tertidur?”

    “Kau sampai di Viscia sekitar pukul lima pagi ini. Jika kau ingat, sesampainya di penginapan, kau langsung beristirahat.” Vernio berlutut di hadapannya, menepuk pundaknya.

    Celestio teringat kembali peristiwa beberapa jam yang lalu. Benar, setelah mengendarai gelembung, Vernio dan Belio mengantar mereka ke penginapan yang berada di pinggiran kota Viscia.

    Penginapan tersebut cukup besar untuk dapat menampung lebih dari 30 orang. Bangunan itu memiliki lima lantai. Lantai pertama diisi dengan bar dan tempat makan. Lantai kedua sampai kelima diisi dengan kamar. Satu ruangan diisi dengan perabot lengkap sesuai dengan kebutuhan masing-masing penyihir.

    Versica, sang pemilik penginapan tersebut mengantarkan mereka ke lantai dua, menuju ruangan terdepan yang cukup besar untuk dihuni dua orang. Versica menyuruh Celestio membayangkan ruangan seperti apa yang dia inginkan saat melangkah masuk ruangan. Ruangan tersebut yang tadinya kosong dan berdinding putih, sekarang dipenuhi lantai kayu dengan tampilan menyerupai rumah mereka yang hancur. Dindingnya dilapisi cat dan batu-batuan seperti pondok sederhana. 

    Celestio takjub memandang ke sekeliling. Moira berlari ke tengah ruangan sambil melirik kanan-kiri. Dia bergumam dan tembok ruangan berubah menjadi hitam pekat. Celestio menjitak Moira. Moira cemberut dan tembok diubah menjadi biru selayaknya warna penyihir. Si Naga Kembar dan Versica tertawa. Versica menjentikkan jarinya, gelang yang dihiasi batu sihir itu menyala dan perabot-perabot bermunculan begitu saja. Wanita itu juga menyihir beberapa peralatan dapur dan keperluan memasak lainnya untuk beberapa waktu mereka tinggal di sana.

    Di ruangan itu terdapat dua kamar terpisah. Moira dan Celestio langsung beristirahat. Vernio dan Belio menetap di ruang tamu untuk mendiskusikan kebutuhan lain yang mungkin diperlukan pendatang baru mereka. Tiga jam berlalu setelah Si Naga Kembar meninggalkan ruangan untuk menuju bar di lantai satu. 

    “Kau hanya tertidur sekitar 3 jam. Aku merasakan aura yang tidak menyenangkan di lantai dua. Kemudian aku mendengar teriakan telepati Moira. Aku dan Belio langsung lari ke ruangan kalian. Kau diikuti Dravek, ya?” Vernio menyapukan tangan dan merapikan perabotan ruangan yang terlihat berantakan.

    “A-apa? Moira di mana?” Celestio tercekat, bingung mencari adiknya. Vernio menunjuk ke pintu kamar Moira. Pintu knop tersebut sepertinya hangus terbakar.

    “Moira!” Celestio bergegas menghampiri adik satu-satunya. Dia memeluk Moira erat-erat. “Kau tidak apa-apa?”

    “Aku tidak dapat keluar dari kamarku. Aku melihat kakak tadi. Ada sesuatu yang menghalangiku membuka pintu. Sepertinya, teriakanku tidak terdengar dari dalam. Aku mencoba menghancurkan gelembung dengan panah dan api tapi sihirku selalu dihancurkan. Makhluk itu lebih kuat dari yang di hutan kemarin.”

    Belio mengusap kepala Moira. “Bagus kau memanggil kami. Makhluk itu mengincarmu. Untuk mendapatkanmu, dia harus menyingkirkan Celestio terlebih dahulu.”

    Vernio tersenyum melihat mereka berdua. “Dia lebih kuat darimu, Moira.” kata Vernio terkekeh. “Di kota ini banyak yang lebih kuat darimu. Kau akan bertemu banyak penyihir lain dan belajar dari mereka. Kau akan semakin kuat di sini.”

    “Makhluk apa itu?” Celestio bertanya sambil menggendong Moira.

    “Dravek. Itu sebutan untuk pemangsa penyihir. Mereka percaya bahwa darah penyihir bisa membuat mereka hidup abadi.” Belio menjelaskan.

    Celestio perlahan berdiri, otaknya berusaha mencerna informasi yang baru saja diserap. “Jadi… Yang di hutan kemarin itu…”

    Vernio menepuk telapak tangan kirinya dengan kepalan tangan kanan tanda paham.

    “Oh, hutan belantara yang kau lewati itu memang banyak Dravek. Mereka berperangai seperti penyihir pada umumnya, namun sebenarnya sangat berbeda jauh. Mereka hanya makhluk haus darah. Bangun pada malam hari dan bertahan hidup dari alam. Banyak dari mereka yang berusaha untuk memasuki Viscia, namun telah habis dibantai oleh penjaga gerbang.”

    “Jadi… Kalian sering berhadapan dengan mereka… Ilusi apa tadi yang kulihat?”

    “Dravek berusaha mempengaruhimu. Jika dia menawarkan sesuatu, jangan diminum atau dimakan. Kau akan kehilangan kesadaran dan mati rasa. Saat itu juga kau jadi mangsa Dravek. Mereka jago menciptakan ilusi magis seperti nyata dan menipu mangsanya.” Belio menerangkan sambil menarik pakaian-pakaian yang telah selesai dijahit oleh benang dan jarum yang menari di udara.

    Dia menyambar pakaian itu begitu saja dan benang-benang tersebut berhenti bergerak, jatuh di lantai. Belio melambaikan pergelangan tangannya, gelang yang dikenakannya dihiasi batu sihir. Batu itu menyala redup dan benang-benang dan jarum tersebut meluncur ke laci terdekat. Laci tersebut membuka dan benang dan jarum tersebut masuk dengan rapi. Laci itu kemudian menutup sendiri.

    “Untuk sementara kalian bisa pakai ini,” katanya sambil menaruh beberapa helai pakaian itu di meja. 

    Celestio mengawasi semuanya dengan takjub. Tidak pernah dia melihat orang tuanya melakukan sihir sedemikian rupa seperti yang dilihatnya. Demi menyembunyikan jati diri mereka, hampir semua hal dilakukan tanpa menggunakan sihir. Mereka hidup selayaknya manusia normal. Sang ibu hanya memakai sihir ketika Moira dan dirinya terluka.

    “Terima kasih. Kenapa Dravek bisa tahu tentang kebiasaan orang? Dia menyuguhkan teh lengkap dengan gula dan susu.”

    Vernio mengernyitkan dahi. “Dravek tidak mungkin tahu. Apakah kau menyebutnya lebih dulu?” 

    Pemuda berambut cokelat itu terdiam. Benar, Dravek tidak mengatakan apapun mengenai detailnya. Celestio lah yang mengatakannya sendiri. Dravek hanya mengikuti alur percakapan yang dibukanya.

    Mengetahui bahwa Celestio telah paham, Vernio tersenyum. “Di hadapan Dravek, kau tidak usah menambahkan informasi yang tidak perlu. Itu membuka peluang mereka untuk menghabisimu. Cara menghabisi mereka cukup mudah. Hancurkan saja inti jantungnya. Tikam tepat di dada mereka dengan panah sihir atau apa pun itu yang cukup kuat untuk membuat mereka jadi debu.”

    “Kenapa makhluk tersebut bisa berkeliaran di sekitar hutan belantara?”

    “Yah, ada sejarah panjang mengenai itu. Tapi nanti akan kujelaskan lebih lanjut. Untuk saat ini… Lihatlah keluar. Kota Viscia sudah mulai hidup.” Vernio menunjuk ke balkon. 

    Celestio melihat keluar balkon dari lantai dua. Matanya membelalak melihat pemandangan di hadapannya. Dia melangkah keluar balkon sambil menggendong Moira. Mereka telah tiba di Viscia. Kota yang tidak akan ditemukan oleh siapa pun kecuali bangsa penyihir.

    Sekelebat ingatan muncul di benaknya. Ibunya pernah bercerita mengenai kota ini, namun kota yang sesungguhnya jauh lebih indah dari bayangannya.  

    Kota Viscia, kota yang penuh dengan keajaiban. Air mancur di tengah kota menyemburkan air yang entah dari mana asalnya. Pelangi-pelangi bermunculan setiap kali air mancur tersebut menyemburkan airnya. Tidak jauh dari situ terdapat rumah-rumah penyihir dengan bentuk yang unik-unik, sesuai dengan kepribadian pemilik rumah.

    Pintu-pintu dan jendela rumah mulai kembali terbuka dan orang mulai berlalu lalang. Beberapa dari mereka mulai membuka kios-kios mereka. Berbagai jualan di kios-kios menarik perhatian dengan pernak-pernik berwarna-warni, seperti tato yang dapat bergerak apabila pemiliknya merasa bosan di tempat yang sama. Atau seperti balon air yang dapat melambung tinggi dan mendarat kembali pada telapak tangan pemiliknya. Kertas-kertas perkamen berwarna-warni untuk anak kecil yang baru saja belajar menulis huruf sihir dan mantra. Beberapa sapu terbang mulai bermunculan hilir mudik. Suatu alat kendaraan yang mirip gelembung sabun membawa banyak beban berat juga melintas melalui udara. Beberapa dari mereka terbang menaiki gelembung tersebut.

    Yang lebih mengejutkan adalah adanya naga kecil yang bertengger di pundak beberapa penyihir dewasa seperti layaknya binatang peliharaan. Naga itu beberapa kali menyemburkan api dan sang penyihir berkelit menghindar dengan santai. Rambutnya terbakar sedikit dan dia menjentikkan tangannya agar rambutnya kembali seperti semula.

    Di kejauhan, terdapat menara tinggi yang dilingkari oleh naga besar. Sepertinya, daerah itu dipenuhi kabut. Letaknya dekat dengan hutan rimba, mirip dengan hutan yang telah mereka lintasi sebelumnya.

    Mata Moira berbinar-binar memandang sekeliling. Pipinya merona merah tanda luapan perasaan yang hampir tidak pernah dirasakannya. Celestio melihat adiknya dan tersenyum.

    “Kita sudah sampai di Viscia.” Dia mengusap kepala Moira.

    Moira mendongak menatap Celestio. “Aku ingin berkeliling!”, serunya.

    Vernio tertawa. “Tentu saja kau ingin! Pergilah bermain. Kau tahu kemana harus pulang,” balasnya antusias.

    Celestio mengangguk. “Benar, disini kotamu yang sesungguhnya.” Ada perasaan terharu bahwa air muka Moira berubah drastis. Dia harus berlaku layaknya anak kecil yang selalu ingin bermain. “Kau juga boleh menggunakan sihir di sini.”

    Moira membuka mulutnya, terbelalak mendengar Celestio. “Bolehkah?”

    “Sebebas yang kau inginkan.” Celestio terkekeh.

    Moira melompat dari gendongan Celestio dan berteriak. Vernio dan Belio ikut tertawa saat Moira langsung melayang, kemudian meluncur ke bawah dari balkon lantai dua dan hampir menabrak air mancur di tengah kota. Moira terjungkal di udara, meraih sisi air mancur dan basah sebagian. Dia mendarat di aspal dengan mulus. Anak berambut silver yang tampak seusianya melonjak kaget saat Moira hampir menabraknya, dia kemudian menertawai Moira. Moira ikut tertawa sambil tersipu. Anak itu mengarahkan cincin yang dihiasi batu sihir lalu menampilkan sihir ilusi di hadapannya dengan membuat seekor kelinci berwarna pink transparan. Kelinci itu menari di air dan melambai ke arah Moira. Moira tertegun dan mulai mengobrol dengan anak itu, minta diajari caranya.

    Celestio menyeka air matanya, lega karena Moira bertemu dengan anak sesama penyihir yang seumuran dengannya. Di gunung Moira hanya seorang diri. Meskipun ada yang sebaya dengannya, namun dia dilarang menggunakan sihir di hadapan anak itu. 

    Vernio tersenyum dan menepuk pundaknya. “Istirahatlah. Kau baru beristirahat selama 3 jam. Kau masih harus mengumpulkan energi untuk beraktivitas. Aku akan minta Versica dan pelayannya untuk membuatkan minuman hangat untukmu.”

    “Bukan dari Dravek, ‘kan?”

    Vernio tertawa. “Tentu saja bukan!” Dia berseru dan masuk kembali ke penginapan. Belio ikut tertawa dan menutup pintu.

    ***

    Hari sudah malam ketika pintu diketuk. Moira masuk saat Celestio menyuruhnya untuk membuka pintu. Celestio tengah berkutat dengan beberapa masakan. Dia memasak tanpa sihir sebagaimana orang tuanya melakukan. Moira terperanjat saat mengawasi kakaknya hampir tersulut api dari wajan yang dipegangnya. Senyumnya mengembang dan kemudian tertawa terbahak-bahak.

    “Moira! Jangan tertawa! Aku hampir terbakar!” Celestio mengomel. Dia mendelik kepada adiknya, namun ada perasaan girang yang berusaha disembunyikan. Akhirnya adiknya mulai tertawa lagi! “Bagaimana harimu? Menyenangkan?”

    Moira tersenyum. “Menyenangkan. Apakah kita akan tinggal di sini untuk seterusnya?”

    Celestio diam dan berpikir sejenak. “Iya, kita akan menetap di kota ini. Namun, tidak di penginapan ini. Kita butuh tempat tinggal milik kita sendiri.”

    Moira menatap roti yang baru saja ditaruh di meja. Dibenaknya terlintas sang ibu yang secara rutin melakukan hal yang sama. Dia menunduk sedih.

    “Aku ingin belajar sihir agar bisa menghidupkan kembali Ayah dan Ibu.” Moira melonjak kaget ketika Celestio hampir menjatuhkan panci berisi sup. Celestio membanting panci itu ke kompor dan mendelik ke arah Moira.

    “Tidak boleh!” Sang kakak menggertakkan giginya.

    Mata penyihir cilik itu terbelalak. Belum pernah Moira melihat saudaranya begitu marah padanya.

    “Dari semua sihir, jangan kau pelajari yang itu.” Celestio mematikan kompor, lalu berjalan mendekati Moira kemudian berlutut di hadapannya. “Tatap mataku dan berjanjilah. Jangan sekali-kali kau berpikir mengenai hal itu lagi.” Ingatannya akan Dravek pagi ini membuatnya merinding.

    “Hormati orang yang sudah beristirahat di alam sana. Aku yakin Ayah dan Ibu juga akan senang melihatmu ceria kembali. Jangan terpaku pada masa lalu, Moira.”

    Moira menatap tajam Celestio. Dia mengatupkan bibirnya sebelum menangguk. “Aku berjanji,” katanya pelan. Celestio menarik adiknya ke dalam pelukan erat dan membelai rambut hitamnya.

    “Makan malam dulu, kemudian beristirahatlah.” bisik Celestio. Dia melepaskan Moira dan berdiri untuk menyiapkan makan malam.

    Moira melihat keluar jendela. Mata birunya berpendar, tertuju lekat-lekat pada menara di ujung bukit. Menara yang dililit naga besar.

    Telinganya menangkap suara bisikan. Moira mengernyitkan dahi dan menangkup telinganya. Mendengarkan suara sayup-sayup. “Suara desis… naga?” Dia bergumam sendiri.

    “Moira?”

    Moira berkedip, kedua matanya kembali normal. Matanya bertemu dengan Celestio. Pemuda itu menatap sang adik dengan khawatir.

    “Kau tidak berpikir tentang hal itu lagi, ‘kan?”

    Gadis kecil itu menggeleng kepala. Dia melirik ke luar jendela. Sepertinya Celestio tidak dapat mendengar apapun barusan.

    “Ayo, makan.” Celestio menarik kursi agar adiknya bisa duduk manis.

    Moira buru-buru menghampiri meja dan naik ke kursi dibantu kakaknya. Celestio menuang sup yang hampir dijatuhkannya tadi ke dalam mangkok di hadapan Moira. Dia mengawasi kebiasaan adiknya yang langsung menyambar roti dan mencelupkannya ke dalam sup.

    “Bagaimana rasanya?”

    “Emm…” Kata Moira pendek. “Ada sedikit rasa hangus… Pahit.” Dia menambahkan sambil cemberut.

    Celestio terkekeh. “Makanlah dengan lahap. Kau habis bermain seharian.”

    Moira mengunyah roti dalam diam. Dia melihat beberapa luka sayatan dan sedikit luka bakar pada jemari kakaknya. Dia menelan roti yang dikulumnya.

    “Enak, kok.” Dia menunduk dan meneruskan makan tanpa komplain. Mungkin dia harus mempelajari sihir penyembuh juga.

    Celestio menarik kursi setelah mengambil piring dan menuangkan sup untuk dirinya sendiri.

    Mereka berdua menghabiskan makan malam dengan Moira bercerita seru dengan beberapa sihir baru yang dipelajari di taman Viscia. Adanya anak-anak penyihir yang seumuran dengannya membuatnya mengenal lebih banyak ilmu sihir baru. Kelinci berwarna pink transparan kini menari di tengah meja, meski gerakannya masih terlihat kaku dan telinganya seperti telinga beruang. Celestio tertawa melihat adiknya berusaha menghilangkan kumis kucing dari pipinya sendiri. Sepertinya untuk beberapa jam kedepan Moira akan tidur dengan kumis yang tidak dapat hilang itu. Celestio akan bertanya kepada Si Naga Kembar bagaimana cara untuk menghilangkannya jika besok pagi kumis itu masih ada.

    To Be Continued…

     

     

    Kreator : Alvaster

    Bagikan ke

    Comment Closed: Dragana Chapter 3

    Sorry, comment are closed for this post.

    Popular News

    • Part 15: Warung Kopi Klotok  Sesampainya di tempat tujuan, Rama mencari tempat ternyaman untuk parkir. Bude langsung mengajak Rani dan Rama segera masuk ke warung Kopi Klotok. Rama sudah reservasi tempat terlebih dahulu karena tempat ini selalu banyak pengunjung dan saling berebut tempat yang ternyaman dan posisi view yang pas bagi pengunjung. Bude langsung memesan […]

      Okt 01, 2024
    • Part 16 : Alun – Alun  Kidul Keesokan paginya seperti biasa Bude sudah bangun dan melaksanakan ibadah sholat subuh. Begitupun dengan Rani yang juga melaksanakan sholat subuh. Rani langsung ke dapur setelah menunaikan ibadah sholat subuh. Tidak lama disusul oleh Bude dan langsung mengambil bahan masakan serta mengiris bahan untuk memasak. Rani dan Bude sangat […]

      Okt 16, 2024
    • Part 14: Kopi Klotok Pagi hari yang cerah, secerah hati Rani dan semangat yang tinggi menyambut keseruan hari ini. Ia bersenandung dan tersenyum sambil mengiris bahan untuk membuat nasi goreng. Tante, yang berada di dekat Rani, ikut tersenyum melihat Rani yang bersenandung dengan bahagia. “Rani, kamu ada rasa tidak sama Rama? Awas, ya. Jangan suka […]

      Sep 18, 2024
    • Part 13 : Candi Borobudur Keesokan harinya Rama sibuk mencari handphone yang biasa membangunkannya untuk berolahraga disaat Rama berada di Jogja. Rama tersenyum dan semangat untuk bangun, membersihkan diri dan segera membereskan kamarnya. Tidak lupa Rama juga menggunakan pakaian yang Rapih untuk menemui Rani hari ini. Sementara Rani seperti biasa masih bermalas-malasan di dalam kamarnya […]

      Sep 07, 2024
    • Part 12 : Cemburu Rama langsung memukul Jaka saat Jaka baru saja masuk ke ruang kerjanya Rama. Jaka yang meringis bukannya marah namun malah tersenyum terhadap Rama karena Jaka tahu bahwa Rama lagi cemburu terhadapnya. Rama males menjawab salam dari Jaka namun sebagai orang yang punya adab Rama harus menjawab salam dari Jaka dengan sopan. […]

      Sep 05, 2024

    Latest News

    Buy Pin Up Calendar E-book On-line At Low Prices In India After the installation is complete, you’ll have the flexibility […]

    Jun 21, 2021

    Karya Nurlaili Alumni KMO Alineaku Hampir 10 bulan, Pandemi Covid -19 telah melanda dunia dengan cepat dan secara tiba-tiba. Hal […]

    Des 07, 2021

    Karya Lailatul Muniroh, S.Pd Alumni KMO Alineaku Rania akhirnya menikah juga kamu,,,  begitu kata teman2nya menggoda, Yaa,,,Rania bukan anak.yang cantik […]

    Des 07, 2021

    Karya Marsella. Mangangantung Alumni KMO Alineaku Banyak anak perempuan mengatakan bahwa sosok pria yang menjadi cinta pertama mereka adalah Ayah. […]

    Des 07, 2021

    Karya Any Mewa Alumni KMO Alineaku Bukankah sepasang sejoli memutuskan bersatu dalam ikatan pernikahan demi menciptakan damai bersama? Tetapi bagaimana […]

    Des 07, 2021