Summary: Wajah anak itu berpendar, garis biru yang menandakan dia berdarah penyihir, darah pemberontak. Darah yang harus diburu dan dibantai. Keturunan yang tidak diperbolehkan ada pada kerajaan saat itu.
Moira. Seorang gadis yang memiliki mata biru Zircon, memiliki guratan biru pada pipinya seperti cakar naga, tanda bahwa dia berasal dari kaum penyihir. Rambutnya hitam legam, poni dibelah menyamping. Unik, sebab penyihir pada umumnya berambut merah. Memiliki sihir dari keturunan asal, yaitu kaum naga. Sosoknya merupakan ancaman bagi kerajaan.
Moira tengah berkutat dengan sihir penyembuh. Keringatnya membasahi pipi. Dia menyeka dan menghela nafas panjang.
Alusia — sang guru untuk sihir penyembuh — tersenyum menatap Moira. Dia langsung tahu bahwa Moira terlahir dengan bakat lain.
“Moira, kau memiliki sihir tipe penyerang. Kamu tidak dapat menggunakan sihir penyembuh.”
Alusia tahu Moira diliputi rasa kecewa.
“Jadilah dirimu sendiri. Kamu tidak harus mengikuti ibumu. Sihirmu adalah sihir mandiri. Kau bisa melakukan sihir tanpa bergantung dengan batu sihir seperti kami. Dirimu lahir dengan kekuatan khusus. Sihir itu kekuatan dalam diri yang murni. Dia ada karena tahu bahwa kamu akan mampu menggunakannya.”
Moira jatuh berlutut dengan nafas tersengal. Tangan Moira mencengkeram tanah dan rumput, paru-parunya berkutat menghirup oksigen sebanyak-banyaknya. Sekujur tubuh Moira gemetar, pandangannya memburam.
Wanita berambut biru dan bermata ungu itu berlutut di hadapan Moira dan menyentuh punggung Moira. Dia menggumamkan sihir penyembuh, seketika tubuh Moira dikelilingi oleh cahaya berwarna hijau. Moira mendongak menatap Alusia saat merasakan sensasi hangat sihir itu. Moira menatap telapak tangannya yang dikelilingi cahaya kehijauan yang perlahan menghilang. Dia teringat ibunya. Air mata Moira mengalir. Alusia merangkul Moira.
“Menangislah. Kau gadis yang kuat.”
“Ibu… Selalu menyembuhkanku. Setidaknya aku ingin sihir itu menurun padaku. Aku ingin ada kenangan tentang ibu di hidupku.”
“Mungkin sihir itu tidak menurun padamu, tapi pada kakakmu. Itulah takdirnya dalam hidupmu. Kau akan punya takdir yang lebih besar dari sekedar penyembuh, Moira.”
Alusia menyentuh dada Moira dengan telunjuknya.
“Dan ibumu akan selalu ada di hatimu.”
Moira hanya mengangguk pelan tanpa berkata-kata.
Alusia menggendong Moira dan beranjak pergi menuju kastil terdekat. Menuju kastil dimana anak-anak penyihir belajar menguasai sihir sesuai dengan kemampuan mereka. “Ayo kita ke tempat Fricea untuk mengajarimu sihir penyerang.”
—
Celestio menatap beberapa pecahan batu sihir di tangannya. Batu itu berwarna biru, peninggalan Asuza yang dibawa oleh Moira. Seharusnya batu itu diwariskan kepada Moira. Namun, karena sekarang Moira tidak memerlukan batu sihir Celestio menyimpan pecahan batu itu. Celestio menggenggam pecahan batu tersebut dan batu itu bersinar, menyatu dan berubah warna. Warna batu tersebut berubah menjadi hijau terang. Bentuknya menyerupai perisai. Warna mata Celestio perlahan berubah menjadi hijau terang menyerupai batu sihirnya.
Cadmus mengangguk ketika batu sihir tersebut selesai di apresiasi oleh pemilik yang baru.
“Kau bukan penyihir seperti Moira yang dapat menggunakan sihir murni. Meskipun ada beberapa sihir ringan yang dapat kau ucapkan tanpa bantuan batu sihir, kau tetap membutuhkan batu ini.” Cadmus menerangkan. Dia memilin jenggotnya yang tebal dan tersenyum mengawasi Celestio.
“Kau akan dapat menggunakan sihir dengan bantuan batu tersebut. Kekuatan sihirmu adalah sihir pelindung. Sihir itu sendirilah yang memilihmu.”
“Pelindung…” Celestio menggenggam batu tersebut.
Cadmus menjentikkan jari dan batu tersebut dihiasi tali kulit.
“Ikatkan batu itu pada pergelangan tanganmu. Kau akan merasakan getaran kekuatannya mengalir perlahan-lahan ke dalam dirimu. Itulah kekuatan sihirmu.”
Celestio melakukan apa yang diperintahnya. Dia merasakan hawa panas melingkar di sekeliling pergelangan tangan kiri. Batu itu seperti hidup. Pemuda berambut coklat itu mengucap mantra pelindung paling dasar yang sering dia gunakan. Batu sihir tersebut bersinar dan mantra itu langsung aktif, membungkus Celestio dengan lingkaran seperti kaca transparan dan sejenak menghilang. Cadmus merapal mantra dan menyerang Celestio tiba-tiba. Celestio terperanjat, dia menyilang tangan di hadapannya, seketika lupa bahwa dia sedang mencoba pelindung sihir. Pelindung tersebut efektif, sihir Cadmus hancur ketika mengenai pelindung sihirnya. Celestio terkekeh gugup dan kemudian tertawa sambil memandang sihir pelindung di sekitarnya lenyap, runtuh akibat serangan. Cadmus terkekeh. “Dengan ini… Aku bisa mulai menguasai banyak sihir?”
“Tentu tidak semudah itu, anak muda. Kau masih harus banyak belajar. Sihir pelindung seharusnya tetap bertahan meski kena serangan.”
Dia mengangguk senang saat Celestio terlihat antusias belajar sihir lebih banyak.
“Etusha akan bangga melihat dirimu yang sekarang.”
Celestio tersenyum.
“Harus…” Katanya.
“Jika kau ingin pedangmu diasah juga, akan lebih baik jika pedang itu dihiasi dengan batu sihir agar semakin gagah rupanya. Kau juga dapat menyalurkan sihir menggunakan medium pedang itu. Itu pedang yang dibuat Etusha, bukan?” Cadmus menunjuk ke arah pedang yang dibawa Celestio.
Celestio mengangguk. “Iya, tapi tidak begitu tajam.”
Dia mencabut pedangnya dan memperlihatkan pedang itu kepada Cadmus.
Cadmus memegang pedang itu dan meneliti ketajamannya. Ada beberapa cacat yang tampak di bagian sisi kiri. Celestio harus belajar banyak untuk menguasai pedang.
“Kita bisa mengasah pedang ini dan membuatkan soket untuk batu sihir di tengahnya.”
Celestio tersenyum.
“Akan kulakukan!”
Cadmus mengangguk senang. Di hadapannya, kedua anak Etusha mulai tumbuh menjadi dewasa. Dia merasa bangga untuk bisa bertemu dengan mereka dan mendapat kesempatan untuk mendidik mereka.
—
Malam itu Celestio dan Belio tengah berbincang di lantai dua, menatap ke bawah mengawasi Moira. Segelas bir dan minuman soda melayang ke lantai dua. Belio menyambar kedua gelas tersebut. Dia menyerahkan soda buat Celestio dan langsung meneguk bir miliknya.
“Waaah! Enaknya bir ini!” Seru Belio puas setelah menenggak bir hampir setengah gelas.
Penyihir-penyihir lain tengah berdansa dan menikmati santapan makan malam yang meriah di bar penginapan. Moira sedang berlarian dengan teman-teman yang juga tinggal di penginapan yang sama.
“Sang Takdir memang hebat…” Belio menatap Moira sambil tertawa.
Moira melayang dengan setengah tubuhnya menghilang separuh dari pinggang sampai kaki. Vernio yang duduk di lantai satu tepuk tangan keras-keras.
“TERUSKAN!”
Seru salah satu dari si kembar sambil meraih segelas bir dingin yang disajikan pelayan di atas meja.
Celestio menatap Belio cemas.
“Aku kerap mendengar kalian mengatakan Sang Takdir. Sebenarnya, apa maksudnya?”
“Apakah orang tuamu tidak pernah memberitahukan sesuatu padamu?”
Celestio menatap kembali Moira. Pemuda berambut cokelat itu menyender pada pembatas beranda.
“Bukannya aku tidak tahu. Aku hanya diceritakan sekilas mengenai kelahiran Moira. Saat Moira lahir, ada sosok naga yang mengeluarkan geraman lantang. Aku melihat beberapa siluet peri-peri hutan, roh dan beberapa makhluk sihir lain ikut menyambut kehadirannya. Ayah dan Ibu mengatakan bahwa aku harus menjaganya sampai suatu hari Moira menginjak usia dewasa. Kemudian setelah itu aku tidak ingat apapun.”
“Mereka mengunci ingatanmu sebagian mengenai keberadaan Sang Takdir.”
“Mungkin… Benar juga.” Celestio mengangguk.
“Biasanya ingatan yang terkunci itu akan terbuka saat kau menginjak usia dewasa, 16 tahun.”
Celestio terdiam sejenak.
“Kuharap begitu…”
Dia tidak sabar untuk menuju ulang tahunnya yang ke-16 tahun.
—
Moira menatap beberapa lukisan digantung. Hari ini dia dan beberapa anak-anak penyihir diajak untuk keliling Viscia sekaligus mengenal seluk beluk kota tersebut. Celestio yang juga baru memasuki Viscia diikutsertakan. Saat tibanya mereka di galeri tertua kota itu, mereka mengenali beberapa lukisan.
“Itu lukisan naga!”
Eve yang bergandengan-tangan dengan Moira menunjuk lukisan itu.
Fricea dan Alusia tersenyum kepada kedua anak itu. Alusia maju dan menunjuk naga pada lukisan itu.
“Naga tersebut adalah nenek moyang kita. Sihir asal yang kau miliki semuanya berasal dari naga. Ada penyihir dengan kasta tertinggi, yang diciptakan memiliki kekuatan asal, sihir mereka berasal dari bangsa naga itu sendiri. Mereka tidak membutuhkan batu sihir untuk menyihir karena kekuatan mereka tidak memiliki batas. Mereka dinamakan Dragoa untuk laki-laki dan Dragana untuk perempuan. Istilah tersebut bisa disebut sebagai ‘bangsawan’ bagi rakyat kerajaan biasa. Dan yang saat ini layak dan pantas disebut sebagai Dragoa adalah Theodorus. Sang panglima tertinggi yang menjaga gerbang Viscia. Theodorus bukan satu-satunya Dragoa yang tinggal di Viscia. Ada berbagai Dragoa dan Dragana di berbagai belahan negeri. Dan untuk sebutan seorang Dragana adalah…” Alusia memandang Moira.
“Moira, kaulah Sang Takdir.”
Alusia berlutut di hadapan Moira.
“Gunakanlah sihir sesuai dengan arahan dan kemampuanmu. Jadikanlah sihir itu hal yang baik.”
Celestio tersenyum bangga menatap adiknya. Moira balas tersenyum.
“Apakah aku akan bisa melebihi ibuku yang pandai menggunakan sihir?”
“Tentu saja!” Fricea muncul di belakang Alusia, menatap lekat Moira.
“Aku akan banyak mengajarimu berbagai sihir agar kau melampaui batasmu sendiri!”
Fricea mengedipkan mata birunya, dan merapikan rambut orange-nya selagi berdiri tegak.
“Kak Fricea! Kenapa penyihir harus menggunakan warna biru?” Salah seorang anak laki-laki di belakang barisan mengangkat tangannya.
“Pertanyaan yang bagus, Efram! Biru adalah sebutan untuk darah naga. Itu karena kita keturunan naga. Meskipun nyatanya saat terluka kita tetap memiliki darah merah. Naga asli memiliki darah biru.” Fricea menjelaskan.
“Ibuku bilang, katanya itu warna terlarang bagi manusia biasa.” Effe angkat bicara, tampak sedih.
Alusia menaruh tangannya pada rambut silver Effe.
“Itu karena manusia tidak dapat memproduksi warna biru. Terlalu sulit untuk diproduksi oleh mereka. Warna biru ada karena darah naga. Warna yang sulit pudar meskipun mereka berusaha untuk menghancurkannya. Itulah juga kita merupakan bangsa yang tidak terkalahkan.” Alusia menyelesaikan kalimatnya dengan rasa bangga.
Effe tidak menjawab namun dia tersenyum.
“Aku akan jadi kuat.” Efram, yang tadi bertanya sekarang berdiri di samping Effe.
“Kalian akan jadi kuat.” Fricea mengangguk.
“Ingatlah bahwa kalian memiliki darah keturunan naga. Darah bangsawan bagi kaum kita.”
Alusia kemudian berjalan menuju tangga yang mengarah ke ruang bawah tanah. Alusia menyihir bola api dan menuruni tangga. Anak-anak mengikuti Alusia dan berhati-hati untuk melangkah turun. Beberapa anak malas untuk turun menggunakan tangga dan terbang ke bawah. Moira adalah salah satunya. Dia meluncur turun dengan mulus, sudah jago mengontrol sihir terbang.
Setelah semuanya telah turun dengan aman, Fricea mengecek satu persatu anak-anak di ruangan tersebut. Alusia menyihir api pada telapak tangannya. Dia meniup api tersebut dan api itu terpecah menjadi bola-bola api kecil, menyebar di udara, kemudian berjejer rapi menerangi sebuah peta kuno terbesar di dinding. Peta itu seperti telah dirobek dengan kasar pada ujung kiri atas. Kota yang dirobek itu adalah Viscia. Sisanya merupakan peta kerajaan inti.
“Kalian bisa melihat bahwa kota Viscia telah terpisah dari kerajaan inti. Tentunya Celestio dan Moira sangat kenal dengan kota Kerajaan Barbatos.”
Celestio mengangguk.
“Benar, kota Viscia tidak dapat dikunjungi oleh manusia biasa. Bukan karena tempat yang yang curam dan berbahaya, namun karena memang kota ini dianggap tidak ada.”
“Benar.” Fricea menatap kota yang bernama Barbatos tersebut dengan pandangan dingin.
“Mereka dengan sengaja melenyapkan kota Viscia dari peta.
Anak-anak yang mendengar hal tersebut mengeluarkan suara terkejut.
“Kalian harus tahu bahwa manusia yang bukan penyihir menginginkan kita untuk lenyap.” Fricea meneruskan.
“Kota ini dianggap kota terlarang, sehingga Raja Barbatos melenyapkan kota ini dari peta. Robekan yang kalian lihat itulah kota Viscia. Kota lahir kalian. Kota dimana sihir asal berada. Kota dimana para Dragoa dan Dragana secara turun menurun bersatu dan hidup berdampingan dengan sihir dan naga.”
Celestio tiba-tiba terperanjat. Dia langsung menatap Moira, menyadari kekuatan sihir adiknya tiba-tiba menguar. Energi yang dirasakannya sama seperti saat Moira bersembunyi di ruang bawah tanah. Mata gadis itu berubah dingin. Persis saat dia menghadapi Dravek di hutan waktu itu. Mata birunya berpendar. Fricea dan Alusia menatap Moira terkejut, tidak satupun dari mereka mengucap sepatah kata. Mereka bisa merasakan kekuatan Moira yang seolah menumbuk dada. Anak-anak lain tidak merasakan apapun. Mereka sibuk berceloteh mengomentari daerah-daerah Viscia yang mereka ketahui. Khawatir, Alusia menepuk lembut kepala Moira. Gadis kecil itu mengerjap dan sinar matanya kembali normal. Guratan biru di pipi Moira perlahan sirna. Alusia mengenali guratan tersebut. Cakar naga. Dia meneguk ludah.
“Kau akan baik-baik saja disini, Moira.” Alusia berlutut, menunduk di hadapan Moira. ‘Kekuatan anak ini melampaui perkiraanku.’
Fricea mencoba mengalihkan perhatian yang lain dan kembali menuju tangga.
“Inilah kota tercinta kalian. Sekarang mari kita kembali ke atas.”
Dia menjentikkan jarinya dan api-api yang mengelilingi peta itu pindah mendekati tangga sebagai penerangan untuk menuntun anak-anak menaiki tangga.
Alusia berdiri saat Fricea sibuk membantu anak-anak kembali ke atas. Moira terbang melayang dan pergi meninggalkan ruang bawah tanah. Celestio memandang Alusia saat dia menepuk pundak Celestio.
Alusia berbisik kepada Celestio.
“Kekuatan Sang Takdir melebihi dugaanku. Luapan energi sihirnya bukan main besarnya. Anak itu harus dilatih dengan baik. Aku takut akan apa yang bisa dilakukannya bila jatuh ke tangan yang salah. Apakah sebelumnya dia menyihir menggunakan batu sihir?”
“Moira ada batu sihir dari Ibu dan batu itu hancur saat kekuatan Moira meluap. Dia… menyaksikan kedua orang tua kami meninggal di hadapannya. Dia teriak dan bola sihir yang menyelubungi tubuhnya membesar, semua yang disekitarnya berubah menjadi debu. Jika aku tidak menggunakan sihir pelindung pada diriku, aku tidak akan ada di sini sekarang.”
Wajah Alusia berubah pucat pasi.
Celestio meneruskan.
“Moira tetap bisa menggunakan sihir meski tanpa batu sihir.”
“Karena dia seorang Dragana.” Fricea yang selesai mengawasi anak-anak menaiki tangga menimpali pembicaraan.
“Aku senang kau membawanya kemari. Suatu kehormatan bagiku untuk dapat menjadi guru Sang Takdir.”
“Memang sudah takdirnya untuk pulang kemari.” Alusia mengangguk.
Celestio naik keluar ruang bawah tanah. Fricea meraih tangga sebelum Alusia menyambar tangan gadis sebayanya.
“Fricea.”
Fricea menoleh ke belakang dan menatap Alusia. Alusia diam sejenak sebelum angkat bicara.
“Moira memiliki sihir asal. Ada guratan cakar naga di pipi Moira. Emosinya belum stabil untuk anak seusianya. Sihir anak itu juga masih berantakan. Kau harus hati-hati mengajar Sang Takdir. Amarahnya seperti bom waktu. Dia tidak tahu cara mengendalikan luapan sihirnya.”
Fricea mengangguk dan tersenyum, meski tampak tegang.
“Aku mengerti. Aku juga merasakan luapan kekuatannya tadi.” Dia balas menggenggam tangan Alusia. “Aku akan baik-baik saja.”
—
Sang Takdir…
Moira…
Moira menoleh ke belakang. Dia mendengar seseorang memanggil namanya. Dia menatap ke luar jendela. Apakah ada orang di sana? Suara itu terdengar jelas seperti telepati. Moira menekan kaca jendela dengan telapak tangannya sambil mengernyitkan dahi.
Apakah ada seseorang yang butuh pertolongan? Mata biru Moira mencari-cari seseorang di luar sana. Tidak ada seorangpun yang tampak memanggilnya. Dia memicingkan mata, menatap di kejauhan malam. Moira melihat menara tertinggi yang selalu tertutup kabut tidak jauh dari galeri kastil.
“Sang Takdir?” Alusia memanggilnya.
Moira menoleh dan menatap ke arah Alusia.
“Boleh kutahu menara apa itu?” Moira bertanya sambil menunjuk ke arah menara yang dililit naga.
“Itu menara tempat naga berada. Kau baru boleh ke sana saat sudah menginjak usia dewasa. Hutan rimba di sekeliling menara itu juga merupakan sarang naga. Hanya bangsa naga dan penyihir terpilih yang dapat menuju tempat itu.”
Alusia menarik tangan Moira dan menuntunnya untuk bergabung dengan anak-anak lain.
“Aku yakin suatu saat kau juga akan bisa kesana dan berkomunikasi dengan naga-naga di sana.”
“Apakah kau dapat berkomunikasi dengan naga?” Moira bertanya.
Alusia menggeleng.
“Tidak semua penyihir dapat berkomunikasi dengan naga. Bangsa keturunan naga dapat berbicara dengan para naga. Aku tidak bisa, tapi penyihir lain bisa. Ada juga yang memelihara naga.”
Moira mengangguk. “Begitu…”
Alusia menatap Moira, berharap bahwa Moira tidak meneruskan pembicaraan. Moira menatap menara tinggi itu kembali.
‘Apakah yang memanggilku barusan adalah naga?’
To Be Continued…
Kreator : Alvaster
Part 15: Warung Kopi Klotok Sesampainya di tempat tujuan, Rama mencari tempat ternyaman untuk parkir. Bude langsung mengajak Rani dan Rama segera masuk ke warung Kopi Klotok. Rama sudah reservasi tempat terlebih dahulu karena tempat ini selalu banyak pengunjung dan saling berebut tempat yang ternyaman dan posisi view yang pas bagi pengunjung. Bude langsung memesan […]
Part 16 : Alun – Alun Kidul Keesokan paginya seperti biasa Bude sudah bangun dan melaksanakan ibadah sholat subuh. Begitupun dengan Rani yang juga melaksanakan sholat subuh. Rani langsung ke dapur setelah menunaikan ibadah sholat subuh. Tidak lama disusul oleh Bude dan langsung mengambil bahan masakan serta mengiris bahan untuk memasak. Rani dan Bude sangat […]
Part 14: Kopi Klotok Pagi hari yang cerah, secerah hati Rani dan semangat yang tinggi menyambut keseruan hari ini. Ia bersenandung dan tersenyum sambil mengiris bahan untuk membuat nasi goreng. Tante, yang berada di dekat Rani, ikut tersenyum melihat Rani yang bersenandung dengan bahagia. “Rani, kamu ada rasa tidak sama Rama? Awas, ya. Jangan suka […]
Part 13 : Candi Borobudur Keesokan harinya Rama sibuk mencari handphone yang biasa membangunkannya untuk berolahraga disaat Rama berada di Jogja. Rama tersenyum dan semangat untuk bangun, membersihkan diri dan segera membereskan kamarnya. Tidak lupa Rama juga menggunakan pakaian yang Rapih untuk menemui Rani hari ini. Sementara Rani seperti biasa masih bermalas-malasan di dalam kamarnya […]
Part 12 : Cemburu Rama langsung memukul Jaka saat Jaka baru saja masuk ke ruang kerjanya Rama. Jaka yang meringis bukannya marah namun malah tersenyum terhadap Rama karena Jaka tahu bahwa Rama lagi cemburu terhadapnya. Rama males menjawab salam dari Jaka namun sebagai orang yang punya adab Rama harus menjawab salam dari Jaka dengan sopan. […]
Buy Pin Up Calendar E-book On-line At Low Prices In India After the installation is complete, you’ll have the flexibility […]
Karya Nurlaili Alumni KMO Alineaku Hampir 10 bulan, Pandemi Covid -19 telah melanda dunia dengan cepat dan secara tiba-tiba. Hal […]
Karya Lailatul Muniroh, S.Pd Alumni KMO Alineaku Rania akhirnya menikah juga kamu,,, begitu kata teman2nya menggoda, Yaa,,,Rania bukan anak.yang cantik […]
Karya Marsella. Mangangantung Alumni KMO Alineaku Banyak anak perempuan mengatakan bahwa sosok pria yang menjadi cinta pertama mereka adalah Ayah. […]
Karya Any Mewa Alumni KMO Alineaku Bukankah sepasang sejoli memutuskan bersatu dalam ikatan pernikahan demi menciptakan damai bersama? Tetapi bagaimana […]
Comment Closed: Dragana Chapter 4
Sorry, comment are closed for this post.