KATEGORI
  • Adat & Budaya
  • Agrikultur
  • Aksi
  • Arsitektur
  • Artikel
  • Asmara
  • Autobiografi
  • autobiography
  • Bahasa & Sastra
  • Berita Alineaku
  • Bisnis
  • Branding
  • Catatan Harian
  • Cerita Anak
  • Cerita Pendek
  • Cerita Rakyat
  • Cerpen
  • Cinta
  • Cita – Cita dan Harapan
  • Dongeng
  • Drama
  • Ekonomi
  • Epos
  • Event
  • Fabel
  • Fantasi
  • Fiksi
  • Gaya Hidup
  • Hiburan
  • Hobi
  • Hubungan Antarpribadi
  • Hukum
  • Humanis
  • Humor
  • Ilmu Manajemen
  • Inspirasi
  • Istri
  • Kampus
  • Karir dan Kewirausahaan
  • Keagamaan
  • Keluarga
  • Kesehatan & Kecantikan
  • Kesehatan Mental
  • Ketenagakerjaan
  • Kisa Masa Kecil
  • Kisah Inspiratif
  • Kritik Media
  • Kuliner
  • Legenda
  • Lifestyle
  • Lingkungan Hidup
  • Manajemen
  • mengelola toko
  • Mental Health
  • Moralitas
  • Motivasi
  • Novel
  • Nutrisi
  • Nutrition
  • Opini
  • Organisasi
  • Otomotif
  • Parenting
  • Pemerintahan
  • Pendidikan
  • Pendidikan Karir
  • Pendidikan Keuangan
  • pengalaman hidup
  • Pengembangan Diri
  • Perjalanan Hidup
  • Pernikahan
  • Persahabatan
  • Pertemanan
  • Petualangan
  • Petualangan Alam
  • Pilih Kategori
  • Pilih Menu
  • Politik
  • Psikologi
  • Psikologi Sosial
  • Puisi
  • Romansa
  • Romantisme kehidupan
  • Rumah Tangga
  • Satir
  • SDM
  • Sejarah
  • Self-Acceptance
  • Self-Awareness
  • Seni & Budaya
  • Sosial
  • spiritual journey
  • Strategi
  • Teknologi
  • Tempat Wisata
  • Traveling
  • Uncategorized
  • Wanita
  • Beranda » Artikel » Dragana Chapter 5

    Dragana Chapter 5

    BY 13 Apr 2025 Dilihat: 57 kali
    Dragana_alineaku

    Summary: Wajah anak itu berpendar, garis biru yang menandakan dia berdarah penyihir, darah pemberontak. Darah yang harus diburu dan dibantai. Keturunan yang tidak diperbolehkan ada pada kerajaan saat itu.

    Moira. Seorang gadis yang memiliki mata biru Zircon, memiliki guratan biru pada pipinya seperti cakar naga, tanda bahwa dia berasal dari kaum penyihir. Rambutnya hitam legam, poni dibelah menyamping. Unik, sebab penyihir pada umumnya berambut merah. Memiliki sihir dari keturunan asal, yaitu kaum naga. Sosoknya merupakan ancaman bagi kerajaan.

     

    Chapter 5: Sarang Naga

    Satu tahun berganti. Malam itu pesta perayaan ulang tahun kedewasaan Celestio. Umurnya genap 16 tahun. Perayaan tersebut diadakan di kastil menara tertinggi Viscia, menara naga. Beberapa penyihir keturunan naga tersebutlah yang menyelenggarakan pesta. Tiba saatnya bagi Celestio untuk menjinakkan seekor naga. Di hari perayaan itulah puncak kedewasaan seorang penyihir diperlihatkan di muka umum.

    Cadmus yang membimbing Celestio maju melangkah, berdiri di hadapan pintu besar yang mengarah ke sarang naga terbesar di kota Viscia.

    Cadmus merentangkan tangannya dan berdeham. 

    “Ingat, naga adalah rekan, mereka akan sangat buas jika kau menyerang mereka. Naga memiliki pengetahuan akan sihir asal. Dia bisa menjadi pedang bermata dua untukmu. Bijaksanalah dalam menentukan rekanmu. Biarkan naga-naga itu yang memilihmu untuk menjadi rekan seumur hidupmu.”

    Celestio mengangguk, dia menelan ludah. Tangannya mengepal, ekspresinya gugup mengarah ke pintu besar di hadapannya.

    “Bila kau tidak mendapati sang naga yang bisa menjadi rekanmu, tidak masalah. Tidak semua penyihir dapat berinteraksi dengan mereka. Apabila sudah satu jam kau berkeliling dan tidak menemukan seekor naga yang dapat menjadi rekanmu, kau boleh kembali. Kau akan tahu bila dia sudah menjadi rekanmu dengan tanda sihir yang diberikannya kepadamu.” 

    Cadmus menunjukkan lengan kanannya terdapat tanda seperti tato berbentuk cakar naga. “Letaknya bisa dimanapun, itu tergantung naganya. Biarkan takdir yang mengatur jalannya. Jangan memaksakan diri, apalagi memaksa mereka.”

    Cadmus kemudian menyihir jam pasir raksasa di udara. 

    “Jam pasir ini akan mulai bergerak ketika kau turun.” Pria tua itu mengawasi wajah tegang Celestio dan dia tersenyum. Tangannya merangkul bahu muridnya. “Kau akan baik-baik saja,” kemudian melepaskan dia.

    Cadmus melambaikan tangan di udara dan pintu perlahan terbuka. Celestio membelalakkan matanya, melongo ke dalam hutan lebat di bawah menara. Ada beberapa naga yang terbang hilir mudik tidak jauh dari menara sambil mengepakkan sayapnya keras-keras sampai rambut-rambut penyihir tertiup angin. Boleh dikatakan bahwa tempat tersebut memiliki kawasan tersendiri. Mungkin kawasan ini lebih tepat dijuluki sebagai kota naga daripada sarang naga.

    Moira membuka mulutnya dengan takjub saat melihat seekor naga terbang melewati pintu masuk. Dia melangkah maju dengan mata berbinar namun Alusia menahan Moira. Moira mendongak dan Alusia menggeleng kepala. 

    “Belum saatnya kau kesana.” 

    Dia menahan bahu Moira sebelum gadis itu berlari ke arah sarang naga. Moira memberengut, namun dia menatap kembali ke arah sarang naga yang ada di hadapannya.

    “Majulah Celestio.” 

    Cadmus mengangguk.

    Celestio berjalan menuju perbatasan menara kemudian mengucap mantra sambil melompat turun. Kakinya dilingkari semacam lingkaran sihir yang membantunya berdiri di udara bebas. Jantungnya berdegup kencang ketika menyadari bahwa salah seekor naga tengah menatapnya. Mata reptil gigantis itu mengedip sekali dan mengarahkan moncongnya ke arah Celestio. Pria berambut coklat itu berusaha tenang saat sang naga menghembuskan nafasnya yang panas ke arah tubuhnya. Dia menggeram seperti mengejek kemudian memalingkan muka dan pergi meninggalkan Celestio. Celestio tercengang, wajahnya memerah, kesal karena tahu bahwa dia baru saja diremehkan sang naga. Dia terbang menghindar, mata hijaunya mengawasi sekitar. Celestio menarik nafas dan menghembuskannya keras-keras. Dia kemudian turun semakin rendah sambil mengawasi gerak-gerik naga-naga di sekitarnya. Beberapa dari mereka ada yang berukuran kecil sebesar Moira. Ada juga yang sangat besar, tingginya hampir setara dengan menara. Celestio mendongak menatap langit. Dia menyadari bahwa diatas langit terdapat semacam kubah transparan seperti gelembung kaca yang menyelubungi sarang hutan besar. Sekarang dia paham kenapa naga-naga tersebut jarang terlihat berkeliaran bebas di sekitar Kota Viscia kecuali dengan pemiliknya. 

    Celestio mendarat ke rumput dan melihat beberapa anak naga dengan asik menarik dan mengoyak daging segar yang diberikan induknya — hasil buruan hutan. Dia tersenyum memandang mereka.

    Celestio mengucap mantra dan menyuguhkan susu segar di dalam baskom cukup untuk tiga ekor naga kecil. Naga-naga itu tampak terkejut namun mereka dengan lahap minum susu yang diberikan. Induk itu menggeram, menatap Celestio kemudian dia menjilat pipi Celestio. Celestio tertawa. Naga, mungkin tidak seburuk itu. Dia mengusap moncong besar sang induk.

    “Aku harus menjalankan tugasku. Semoga anak-anakmu selalu sehat, ya.” Katanya sebelum lanjut berkeliling melihat naga yang cocok untuknya. 

    Dia menengok ke kiri, kanan, depan, dan belakang, bingung akan bagaimana dia harus memilih atau dipilih oleh sang naga. Celestio berjalan menyusuri semak-semak. Kakinya menyenggol sesuatu kemudian jatuh. Dia melihat ke samping dan melihat ada seekor naga yang memiliki ukuran cukup besar untuk bisa melingkari bahunya sedang melingkar kesakitan. Celestio terkejut melihat luka yang tertoreh pada punggung naga tersebut. Naga yang ekornya baru saja tersenggol mendelik marah, mengeram. Celestio mengangkat tangannya, berusaha mendekati naga itu. Naga itu meringis saat cahaya hijau hangat keluar dari tangannya Celestio. Naga itu kemudian menyadari bahwa dirinya tidak dalam bahaya.

    “Kau terluka? Apa karenaku?” 

    Celestio mengawasi luka seperti bekas cakaran. Apa naga ini disakiti rekannya sendiri? Naga hijau kecoklatan itu mengedip kepadanya. Sesaat lukanya menutup dan menghilang. Dia menyemburkan api ke arah muka Celestio dan Celestio terperanjat kaget. Api hangat itu tidak melukainya, namun cukup membuat poninya keriting sedikit. Celestio tertawa dan berdiri sambil menggendong naga itu.

    Naga itu mengulurkan moncongnya ke dahi Celestio. Celestio merasakan sakit seperti terbakar. Naga itu menghembuskan angin dingin dari mulutnya dan Celestio seperti merasakan sekujur tubuhnya dihujami berbagai pengetahuan sihir asal. Kepalanya sakit seperti mau pecah. Dia mengerang, kehilangan keseimbangan sampai jatuh berlutut. Sekelebat ingatan yang terkunci seperti terbuka begitu saja.

    “Ibu? Kenapa banyak sekali makhluk-makhluk yang tidak dikenal datang kemari? Bunyi keras apa itu barusan? Seperti lolongan monster.” Celestio menggenggam tangan ibunya yang baru saja bersalin dan tengah menggendong adiknya yang baru lahir.

    Etusha membelai kepala Celestio, bibirnya menyungging terhadap kebingungan yang terpancar di raut wajah anak sulungnya.

    “Adikmu disambut bahagia oleh berbagai makhluk sihir dan para naga. Dan dia merupakan keturunan Dragana yang akan mengubah takdir seluruh penyihir. Takdir pemersatu manusia dan penyihir.”

    Mata Celestio membesar, pupilnya bergetar. Ingatan ini… Ingatan ketika Moira lahir. Ada beberapa ingatan lain yang dikatakan oleh sang ibu yang kembali diingatnya. Pandangannya sejenak memburam, sampai dia kembali fokus ke arah naganya. Celestio mengelus kepala sang naga.

    “Terima kasih, sudah membuka kunci ingatan yang hilang.” Celestio menggendong naga itu dan mengucap mantra. Dahinya terasa panas seperti terbakar. Apa mungkin…

    Celestio menatap naga itu heran. “Apa kau… telah menandaiku?”

    “Manusia…”

    Suara seperti telepati muncul di kepalanya. Celestio terkejut dan melihat ke sekelilingnya. ‘Yang barusan itu, suara naga?’ Dia menyentuh kepalanya dan melihat berkeliling. Kemudian matanya tertuju pada naga yang baru saja membuka ingatannya. Naga itu bicara secara telepati kepadanya!

    “Kau sudah membuktikan kebaikan hatimu bagi bangsa kami. Naga yang cocok untukmu adalah naga yang senantiasa melindungi sesuatu yang berharga.”

    Celestio menatap naga tersebut dengan kagum. Dia menggendong naganya kemudian tertawa, sambil berputar-putar kegirangan. Merasa dirinya diberkahi sesuatu yang tidak bisa dimiliki semua penyihir.

    “Ayo kita kembali. Kau ikut pulang bersamaku, ‘kan?”

    Sebelum dia menggunakan sihir untuk kembali ke atas, naga tersebut mengepakkan sayapnya dan terbang di udara. Mulutnya meraih kerah belakang Celestio dan menariknya naik ke atas. Celestio tertawa saat dia merosot jatuh ke tanah, tertarik gravitasi. 

    “Kau tidak kuat.” Katanya sambil menepuk leher panjang naganya. 

    Dia melambaikan tangan dan gelembung sihir keluar dari telapak tangannya, gelembung seperti sabun itu perlahan menyelubungi mereka. Perlahan-lahan mereka naik menuju pintu menara. Saat naik, Celestio melihat naga yang ditemuinya pertama kali. Naga itu menunduk kepadanya, seolah hormat. Celestio melambai pada naga itu dengan ceria. Perhatiannya teralihkan saat dia mendengar tepuk tangan dari para penyihir-penyihir yang girang melihatnya kembali. Gelembung seperti sabun itu pecah saat Celestio memijakkan kakinya ke lantai menara. Dia meraih naganya yang baru saja menempel di pundak.

    “Kau berhasil!” Cadmus tertawa bangga. Jam pasir yang disihir Cadmus berhenti bergerak dan musnah menjadi debu.

    “Dia menandai dahiku.” Celestio memperlihatkan dahinya yang sudah ditandai tato sihir seperti goresan cakar naga.

    “Kau sudah dewasa.” 

    Cadmus mengangguk senang. 

    “Sudahkan kau memberinya nama?”

    “Namanya… Meirvolth, yang berarti melindungi kehidupan.” 

    Cadmus mengangguk paham. Naga itu mengerjap dan menghembuskan nafasnya, tampak bangga.

    Moira berlari menuju Celestio, ceria memandang naga tersebut. Naga itu melihat Moira, turun dari pundak Celestio ke lantai dan menundukkan kepala dihadapan Moira. Moira kagum padanya dan mengelus kepalanya.

    Penyihir lain menatap adegan itu terkesima.

    Pintu sarang naga kembali ditutup rapat.

    Malam itu hidangan mewah digelar sepanjang kota Viscia. Tarian dan berbagai atraksi dipertontonkan oleh penyihir-penyihir. Berbagai canda tawa dan lawakan humor disertakan. Moira dan Celestio tertawa sambil ikut melahap daging segar yang dihidangkan di hadapan mereka. Naga baru Celestio mendengus minta bagian dari pundak pemuda itu. Celestio memberinya daging sebesar kuali. Meirvolth turun ke meja, menyemburkan api pada daging itu sampai hampir gosong kemudian menyantapnya bulat-bulat.

    “Hebat sekali!” 

    Celestio bersorak girang dan mengelus naganya. Meirvolth tampak puas kemudian menyingkirkan kuali kosong itu sampai jatuh ke lantai. Dia bergulung dan tidur. Moira tertawa dan mengelus kepala naga itu.

    “Lucunya….” Moira bergumam, mengawasi Meirvolth tidur sebelum dia turun dari kursi. Sesuatu keinginan muncul di benaknya. Dia ingin menggambar Meirvolth.

    “Moira, ada puding!” Alusia memanggilnya. Moira mengangguk dan melambai pada gurunya.

    “Aku mau balik ke penginapan dulu! Mau ambil kertas gambar sihir.”

    “Jangan lama-lama!” Fricea berteriak.

    Moira melambai dan mulai berlari.

    “Apa tidak sebaiknya kamu mengajarkannya mantra pemanggil benda saja?” Alusia melirik Fricea.

    “Biarkan saja, mantra itu cepat atau lambat akan dikuasainya sendiri di kelas nanti. Biarkan dia melewati tahap pengajaran satu per satu.”

    “Hemmm…” Alusia hanya menatap arah hilangnya Moira.

    Meirvolth membuka mata, mengangkat kepalanya dan berdiri. Mata reptilnya mengawasi arah Moira pulang.

    Moira tergesa-gesa keluar dari keramaian, begitu banyak orang yang bersukacita ikut merayakan pesta kedewasaan Celestio. Gadis kecil yang memakai jubah berwarna hitam itu menyelubungi kepalanya dengan tudung, menyeruak keluar dari tengah-tengah orang banyak. Ketika sampai di tikungan yang mulai sepi, kakinya tiba-tiba tertahan oleh sesuatu sihir pengikat. Kakinya diseret dan dia jatuh dengan muka menghantam tanah. Moira meringis kesakitan, dia mengerjap untuk melihat siapa yang baru saja menyihirnya. Matanya melihat tiga orang yang tidak pernah ditemuinya sedang menyeringai, mengelilingi Moira.

    “Ini ‘kan, gadis kecil yang dibicarakan itu? Sang takdir?” Salah seorang dari mereka menarik tudung Moira untuk memeriksa wajahnya.

    Moira melotot pada pria jangkung itu. Sesaat mata birunya berpendar dan guratan biru di pipinya muncul. Pria itu ditampar oleh angin sampai jatuh ke tanah.

    “HEI! Sudah kubilang, berhati-hatilah! Sang Takdir sekalipun, dia tetaplah anak kecil!” Kata salah seorang lain berambut coklat dengan potongan rambut berantakan. Dia menarik tubuh Moira dengan kasar dan merapal mantra.

    Seketika Moira merasa nafasnya sesak, seperti ada yang menghujam tubuhnya dari atas. Dia mencoba untuk menyihir tetapi sihirnya seperti tertahan, bahkan mantra yang diajarkan oleh gurunya untuk melindungi dirinya di saat bahaya tidak dapat digunakan. Dia juga tidak dapat menggunakan telepati untuk meminta pertolongan. Moira mengerang, memaksakan dirinya menyihir. Guratan di pipinya terasa membakar kulit. Matanya panas, air matanya bercucuran. Moira merasa frustasi. Belum pernah semasa hidupnya dia merasa putus asa.

    Pria bertubuh gemuk di hadapannya meninju pipi Moira. “Diamlah! Nilaimu sangat besar jika dijual! Sebaiknya menyerah saja! Kau tidak akan bisa menyihir lagi!”

    Penculik yang diserang Moira menyihir tali dan terkekeh melihat Moira meronta saat tali tersebut melibatnya. Salah satu dari mereka berusaha menyelubungi Moira dengan kain hitam. Moira meringis dan menggerung, dia menyikut pria yang tengah melingkarkan tangannya di sekeliling pinggang Moira. Orang itu melenguh dan memegang perutnya. Moira buru-buru mencoba melarikan diri.

    “JANGAN BIARKAN DIA LARI!”

    Seekor naga meraung. Moira menengadah dan melihat Meirvolth menyerang penculik yang jangkung. Pria itu berteriak, mengibas-ngibas udara.

    “Meirvolth!” Teriak Moira dengan suara parau karena efek sihir pengikat.

    Cakar tajam Meirvolth sukses melukai lengan pria berambut coklat tersebut. “Gawat! Ada naga! DIA MELUKAIKU!!” Teriaknya histeris.

    “Serang! Masa kau takut dengan anak naga!?” Penculik bertubuh gendut itu menyihir kapak dan menyerang Meirvolth.

    Moira menjerit.

    Celestio menyemburkan darah dari mulut. Alusia dan Fricea spontan teriak. Cadmus melonjak kaget melihat anak didiknya.

    “A- Apa…?” Celestio menatap kebingungan, menyentuh mulut dan melihat telapak tangannya bersimbah darah. Dia menatap tangannya, matanya membelalak ngeri. Wajahnya pucat pasi. Dia merasa dia baru saja diserang oleh suatu sihir, namun dia tidak menemukan luka luar. Pelipis tempat tanda naga terasa membakar. Celestio mengerang sambil memegangi tanda tersebut.

    Cadmus menyadari gelagat muridnya. “Ini… Meirvolth! Dimana Meirvolth?!” Cadmus mencari Meirvolth yang menghilang.

    Alusia merentangkan tangan, dengan sigap menyembuhkan Celestio.

    Vernio yang sedang baru saja menaruh hidangan baru langsung bergegas membantu membersihkan darahnya. “Ada sesuatu yang terjadi dengan nagamu!”

    Celestio mengepal kencang. Dia mengelap darah di dagunya dan meludahkan sisa darah di mulutnya ke samping. Wajahnya tampak murka. “Siapa yang berani melukai nagaku?”

    Belio menepuk pundak Celestio. “Tutup matamu, konsentrasi. Biarkan batinmu berkaitan dengan nagamu, jadi kau tahu dia sedang dimana.” Ajarnya.

    Celestio berdiri dan menutup matanya, mencoba untuk mencari tahu keberadaan Meirvolth. Sekelebat penglihatan tentang kejadian yang tengah berlangsung membuat jantungnya hampir copot. Adiknya diikat dan diseret oleh gerombolan penculik. Naganya terluka karena serangan kapak dan jatuh terkapar di tanah.

    Mata Celestio terbuka lebar, mulutnya menganga. “MOIRA DALAM BAHAYA!” Teriakan sang kakak membuat hampir semua perhatian penyihir terpusat padanya.

    Moira berteriak, meronta dari gendongan kasar pria bertubuh kekar itu. Lututnya menendang perut sang penculik. Pria itu mengerang kesakitan, dia menjatuhkan Moira ke tanah. Moira tersengal, merangkak menjauh. Sekujur tubuhnya sakit. Sihir yang digunakan untuk menekan kekuatannya seperti membuatnya tidak dapat bergerak bebas. Dia melihat sekeliling, dirinya hampir dibawa keluar kota Viscia. Lokasi mereka tidak jauh dari gerbang tempat mereka masuk ke kota. Dia teringat akan penjaga gerbang. Rasanya mustahil membawanya keluar tanpa diketahui mereka.

    “Anak ini… HABISI SAJA DIA DAN KITA JUAL MAYATNYA!” Pria bertubuh gemuk itu berteriak tidak sabar. Dia mengayunkan palu besi ke arah Moira. Moira merintih sambil memejamkan mata, semburat kebiruan muncul di pipinya.

    Angin kencang bertiup. Moira mengangkat wajahnya, membuka mata. Mata birunya bersinar, dia melihat sosok seperti reptil berukuran gigantis berada di hadapannya. Moira membuka mulutnya, tercengang melihat sosok tersebut.

    Naga itu mengerang mengerikan di hadapan para penculik. Kibasan ekornya membuat salah seorang dari bandit tersebut terlempar sampai menabrak pohon dan jatuh pingsan. Pria bertubuh gemuk itu gemetar dan terjatuh, ngeri melihat naga berukuran raksasa di hadapannya.

    Moira lemas. Dia mencoba untuk tetap fokus pada naga tersebut, namun dirinya perlahan-lahan kehilangan kesadaran. Sayup-sayup telinganya mendengar orang-orang mulai berdatangan.

    “Moira!” Gurunya berteriak dan mengucap mantra pelindung. Dalam sekejap tubuh Moira dikelilingi cahaya biru, dinding pelindung sihir. Naga itu menyemburkan api dari hidungnya dan mengepung penculik itu dengan api. Tentara Viscia bergerak cepat, mencegah para penculik itu kabur. Beberapa dari mereka mengucap mantra dan kilauan tali mengikat penculik tersebut. Salah seorang dari mereka mengucap mantra serang balik, namun tentara Viscia lebih cepat merapal mantra pembisu.

    Sang naga berbalik dan menatap Moira. Dia menjilat luka di wajah Moira. Naga itu menyentuh moncongnya ke tubuh Moira dan dalam sekejap mantra yang membelenggu Moira hancur dan menghilang.

    Moira menarik nafas sedalam-dalamnya. Lega bahwa belenggu sihirnya telah dibebaskan. Dia mengangkat tangannya dan mencoba menggapai naga itu. Sang naga menggeram pelan dan mengusapkan moncongnya ke perut Moira sebelum Moira kehilangan kesadaran.

    Fricea menatap naga itu dan menggumam dalam bahasa naga. “Terima kasih, Melkior, anak ini tertolong berkatmu,” katanya sambil mengusap moncong naga tersebut. “Kembalilah kepada Theodorus. Biar kita yang menangani ini.” Naga itu menggeram, matanya mengerjap sebelum merentangkan sayap dan kemudian terbang meninggalkan mereka.

    Alusia mengucap mantra penyembuh. Lebam di pipi Moira perlahan menghilang. Dia menggendong Moira, lega bahwa sang takdir baik-baik saja.

    Fricea menatap kagum Moira. “Umurnya baru enam tahun dan sudah memanggil naga.”

    “Dia pingsan karena menggunakan kekuatan yang tidak diketahuinya. Mungkin dia akan bisa menuju menara naga lebih muda dari kebanyakan bangsa kita.” Alusia tersenyum.

    Tentara Viscia mulai mengikat dan menawan penculik-penculik itu. Beberapa dari mereka sudah tidak sadarkan diri terkena sihir bius. 

    Orang-orang berkerumun di sekitar Moira. “Ayo kita kembali. Celestio sudah menangis karena khawatir.” Alusia terkekeh. Fricea tertawa mendengarnya.

    Mereka mulai berjalan dan melihat Celestio berlari ke arah mereka sambil menggendong Meirvolth. Wajahnya tampak khawatir.

    ——– 

    Gadis bermata biru itu mengikat rambutnya sambil menengadah. Dia memicingkan mata. Usianya sekitar 10 tahun. Tangannya meraih bebatuan, jubahnya berkibar diterpa angin dan kabut dingin. Dia menarik jubahnya yang melilit lehernya ke arah depan, sebelum merapal mantra untuk terbang, melewati bukit terjal. Guratan pada pipinya berpendar dan gadis itu tersenyum melihat sarang naga di bawahnya. Dia meraih dahan dan duduk untuk mengamati naga-naga yang sedang berkumpul di dekat menara naga.

    Salah satu dari kawanan tersebut melihat gadis itu dan bangun, merentangkan sayapnya. Naga tersebut menunjukkan cakarnya yang tajam. Dia mendenguskan nafasnya, angin kencang menerpa sampai jubah gadis itu terhembus angin. Kedua mata reptil naga tersebut berkedip. Untuk sesaat mereka saling pandang dan naga itu menundukkan kepala.

    “Sang takdir… Akhirnya aku dapat bertemu denganmu.”

    Moira menyeringai, memperlihatkan taringnya yang kian membesar.

    To Be Continued…

     

     

    Kreator : Alvaster

    Bagikan ke

    Comment Closed: Dragana Chapter 5

    Sorry, comment are closed for this post.

    Popular News

    • Part 15: Warung Kopi Klotok  Sesampainya di tempat tujuan, Rama mencari tempat ternyaman untuk parkir. Bude langsung mengajak Rani dan Rama segera masuk ke warung Kopi Klotok. Rama sudah reservasi tempat terlebih dahulu karena tempat ini selalu banyak pengunjung dan saling berebut tempat yang ternyaman dan posisi view yang pas bagi pengunjung. Bude langsung memesan […]

      Okt 01, 2024
    • Part 16 : Alun – Alun  Kidul Keesokan paginya seperti biasa Bude sudah bangun dan melaksanakan ibadah sholat subuh. Begitupun dengan Rani yang juga melaksanakan sholat subuh. Rani langsung ke dapur setelah menunaikan ibadah sholat subuh. Tidak lama disusul oleh Bude dan langsung mengambil bahan masakan serta mengiris bahan untuk memasak. Rani dan Bude sangat […]

      Okt 16, 2024
    • Part 14: Kopi Klotok Pagi hari yang cerah, secerah hati Rani dan semangat yang tinggi menyambut keseruan hari ini. Ia bersenandung dan tersenyum sambil mengiris bahan untuk membuat nasi goreng. Tante, yang berada di dekat Rani, ikut tersenyum melihat Rani yang bersenandung dengan bahagia. “Rani, kamu ada rasa tidak sama Rama? Awas, ya. Jangan suka […]

      Sep 18, 2024
    • Part 13 : Candi Borobudur Keesokan harinya Rama sibuk mencari handphone yang biasa membangunkannya untuk berolahraga disaat Rama berada di Jogja. Rama tersenyum dan semangat untuk bangun, membersihkan diri dan segera membereskan kamarnya. Tidak lupa Rama juga menggunakan pakaian yang Rapih untuk menemui Rani hari ini. Sementara Rani seperti biasa masih bermalas-malasan di dalam kamarnya […]

      Sep 07, 2024
    • Part 12 : Cemburu Rama langsung memukul Jaka saat Jaka baru saja masuk ke ruang kerjanya Rama. Jaka yang meringis bukannya marah namun malah tersenyum terhadap Rama karena Jaka tahu bahwa Rama lagi cemburu terhadapnya. Rama males menjawab salam dari Jaka namun sebagai orang yang punya adab Rama harus menjawab salam dari Jaka dengan sopan. […]

      Sep 05, 2024

    Latest News

    Buy Pin Up Calendar E-book On-line At Low Prices In India After the installation is complete, you’ll have the flexibility […]

    Jun 21, 2021

    Karya Nurlaili Alumni KMO Alineaku Hampir 10 bulan, Pandemi Covid -19 telah melanda dunia dengan cepat dan secara tiba-tiba. Hal […]

    Des 07, 2021

    Karya Lailatul Muniroh, S.Pd Alumni KMO Alineaku Rania akhirnya menikah juga kamu,,,  begitu kata teman2nya menggoda, Yaa,,,Rania bukan anak.yang cantik […]

    Des 07, 2021

    Karya Marsella. Mangangantung Alumni KMO Alineaku Banyak anak perempuan mengatakan bahwa sosok pria yang menjadi cinta pertama mereka adalah Ayah. […]

    Des 07, 2021

    Karya Any Mewa Alumni KMO Alineaku Bukankah sepasang sejoli memutuskan bersatu dalam ikatan pernikahan demi menciptakan damai bersama? Tetapi bagaimana […]

    Des 07, 2021