
Summary: Wajah anak itu berpendar, garis biru yang menandakan dia berdarah penyihir, darah pemberontak. Darah yang harus diburu dan dibantai. Keturunan yang tidak diperbolehkan ada pada kerajaan saat itu.
Moira. Seorang gadis yang memiliki mata biru Zircon, memiliki guratan biru pada pipinya seperti cakar naga, tanda bahwa dia berasal dari kaum penyihir. Rambutnya hitam legam, poni dibelah menyamping. Unik, sebab penyihir pada umumnya berambut merah. Memiliki sihir dari keturunan asal, yaitu kaum naga. Sosoknya merupakan ancaman bagi kerajaan.
Seorang menarik tudungnya menutupi muka. Dia berdiri pada lingkaran sihir pengaman, tepat di samping hutan lebat. Botol yang dipegangnya berisi cairan berwarna merah darah, berpendar di bawah pantulan sinar bulan. Dia meminum cairan itu sebelum menjatuhkan botol keramik tersebut. Sosok itu terbatuk-batuk, merasakan tenggorokannya terbakar. Dia mengerang, perasaan membara itu menyerang sekujur tubuhnya. Merasa dirinya telah tertipu, dia merintih kesakitan, menatap sosok Dravek di hadapannya dengan murka. Tubuhnya mengejang, tulang-tulangnya seperti ditarik paksa untuk memanjang. Sosok tersebut menarik rumput-rumput di bawahnya, berusaha menahan rasa sakit pada sekujur tubuhnya. Untuk beberapa saat dia merasakan jantungnya berdetak lebih cepat. Dia tetap pada posisi tersebut sampai semua rasa sakit itu berhenti. Dia mengerjap, menatap tangannya yang tampak membesar. Sosok itu menjadi tinggi jangkung. Dia menarik tudungnya yang merosot, menyelubungi muka sepenuhnya, sambil menyeringai senang.
“Obatnya bekerja sempurna… Sihirku juga mengalami peningkatan pesat.”
Di hadapannya berdiri sosok Dravek, mengawasi tindak tanduknya. Tangan berbau busuk itu menyerahkan artefak sihir kuno.
“Ini artefak naga yang kau inginkan. Bila kau menguasainya, kau akan dapat menguasai naga merah.”
Pemuda itu menyeringai senang. Dia mengambil artefak itu, memeriksa keaslian benda tersebut. Senyum puas mengetahui itu barang asli, dia merapal mantra, menyihir panah api dan menikam sang Dravek tepat di jantung.
Dravek tersebut menjerit bengis, penuh kebencian karena dikhianati. “Kau akan menyesali tindakanmu…” katanya sebelum hancur berkeping-keping.
“Terima kasih sudah membantuku.” Dia terkekeh sambil mengenakan artefak pada pergelangan tangannya. Artefak tersebut menjalar pada kulit dan membuat pola merah pada punggung tangannya. Matanya berubah merah berkilat.
—
“Moira…” Effe memanggil sahabatnya yang sekarang berusia 12 tahun. Dia sedang naik di tangga, tengadah melihat jejeran tembikar berbagai macam herbal, sesekali menunduk ke bawah sela-sela rak perlengkapan obat-obatan yang disiapkan Mynard. Matanya mencari bahan-bahan untuk membuat obat.
Moira menutup buku sihirnya dan melihat ke arah Effe yang tengah melakukan tugas pelatihan sebagai penyembuh. Moira senang menemani Effe melakukan pelatihan. Dia jadi bisa tahu bagaimana ibunya belajar menjadi seorang penyembuh dari kecil.
Effe membetulkan posisi kacamatanya setelah menunduk dari salah satu cawan herbal. Gadis itu mengambil sejumput bubuk mint yang kemudian berpendar hijau kebiruan sebelum menaruhnya ke dalam mangkuk yang dipegangnya di tangan kiri. Effe melompat turun dari tangga sambil menjentikkan jarinya ke arah kuali besar di tengah meja. Sendok kecil terbang ke arahnya, Effe langsung menyambar sendok itu dan mengaduk larutan mint yang tengah dibuatnya.
“Apa belakangan ini kau melihat Efram?” Effe meneruskan percakapan setelah keduanya diam.
Moira sudah tahu sifat Effe, dia menunggu dalam diam saat obrolan mereka terputus sesaat sementara gadis itu meracik obat. “Hampir tidak pernah. Dia juga sudah jarang ke kelas.” Moira berdiri turun dari kursinya dan menonton Effe sibuk dengan obatnya.
Effe menunduk dan mencium wangi herbal yang dibuatnya. “Mungkin ini cukup untuk menyembuhkan luka bocah-bocah itu.” Effe bergumam, mengingat sekarang mereka kelimpahan adik kelas penyihir yang berusia jauh lebih muda dari mereka. Dia kehabisan akal untuk menghentikan bocah-bocah tersebut menggunakan sihir terbang sembarangan dan penuh luka. Dia menaruh mangkuk itu dan menarik kantong kecil untuk menyimpan herbal yang berpendar itu, sebelum membalas obrolan Moira.
“Aku sudah lama tidak bertemu dengannya. Sejak terakhir kali dia mengantar kita melihat naga. Dia bukan tipe yang berhenti hanya karena dimarahi Fricea. Aneh… Tampaknya dia jadi lebih rajin latihan sihir. Dia jadi yang pertama mahir sihir penangkal.”
Moira tidak berkata apa pun. Effe tidak tahu bahwa terakhir kali Efram mengantar Moira ke sana, Moira bertanya mengenai gua. Sejak saat itu Efram menjauhinya.
Saat Moira tidak menyahut, Effe meneruskan. “Dia sekarang mahir sihir terbang. Apa menurutmu dia akan ada di kompetisi mendatang untuk menjadi pemimpin selanjutnya?”
“Memang itu tujuannya ‘kan? Entah kenapa sejak saat itu, bila aku mahir sesuatu, dia juga harus mahir.” Moira melihat ke arah lain. Sejujurnya dia tidak terlalu tertarik dengan kompetisi tersebut. Dia merasa semua penyihir di negeri ini melimpahkan berbagai tanggung jawab kepadanya. Entah apa yang harus dilakukannya untuk menjadi seorang pemimpin yang diharapkan negeri ini…
“Apa kau masih sering datang ke tempat naga itu? Apa kau pernah melihatnya di sana?”
“Aku ingin melihat naga yang seharusnya ditakdirkan bersamaku. Itu saja. Kalau aku bisa hanya sekedar untuk berkomunikasi padanya, mungkin aku akan merasa lebih baik. Aku tidak pernah melihat Efram di sana.”
Effe menatapnya sejenak. “Kita masih punya waktu 4 tahun lagi sebelum kompetisi menjadi pemimpin. Mungkin aku akan ada di urutan terakhir.”
Moira tidak menyahut. Keduanya diam tidak melanjutkan pembicaraan.
–-
Malam itu cukup cerah untuk bisa piknik di rerumputan tempat mereka biasa berkumpul. Kali ini tanpa Efram. Effe setuju untuk ikut dan menikmati bintang-bintang. Dia terbang menggunakan tongkat sihir yang sudah diberikan untuknya sebagai seorang penyembuh. Tongkat tersebut mampu membawa berbagai peralatan penyembuh, tembikar-tembikar dan cukup kokoh untuk membawa seorang pasien. Maksimal bobotnya akan bertambah seiring dengan naiknya sihir Effe. Effe dengan bangga meluncur di kegelapan malam, menatap ke langit yang dipenuhi berbagai kilauan bintang cantik. Gadis berambut silver itu menoleh dan melihat Moira terbang di sampingnya. Moria nyengir lebar, senang bahwa Effe terlihat lebih seperti penyihir penyembuh handal. Dia juga kagum melihat kilauan sihir yang bermunculan diterpa angin selagi tongkat tersebut melaju ke arah tujuan mereka. Kali ini hanya dengan membawa keranjang piknik.
Sesampainya di dekat sarang naga, Moira mendarat dengan mulus, menatap sekeliling sarang naga tersebut. Effe mendarat di sampingnya dan langsung menyihir peralatan untuk piknik keluar dari keranjang piknik mereka. Ikatan pada tongkat tersebut sirna dan keranjang piknik itu mendarat lembut di atas tikar piknik. Effe menyandarkan tongkatnya di bebatuan tinggi di samping mereka.
Moira duduk bersila dan mengambil beberapa roti yang dibuat Effe. “Sudah lama kita tidak berkumpul di sini. Sepertinya Fricea sengaja memberi kita banyak tugas agar kita tidak ada waktu kemari lagi.”
“Sudah sewajarnya sebagai guru. Aku ingat betapa murkanya dia saat tahu kita ke tempat ini waktu kita berumur sembilan tahun.” Effe terkekeh.
Moira tertawa dan melahap habis roti yang dipegangnya. “Telingaku sampai sakit dijewernya. Dia langsung membuat pelindung sihir di sekitar sini agar kita tidak masuk.” Moira nyengir lebar, memperlihatkan telinganya yang mulai meruncing. Dia mengambil lagi sambil melihat berkeliling untuk menonton sang naga. “Sepertinya keadaan sarang tidak terlalu ramai seperti biasanya ya?” Moira menelan rotinya dan merangkak ke tepi tebing, menunduk ke arah sarang naga di bawah mereka. Dia memicingkan mata di kegelapan.
Effe berdiri, ikut melihat ke arah sarang. Dia menoleh ke kiri, kanan dan kemudian tengadah ke atas. Matanya membelalak kaget melihat lubang besar di atas kubah sarang.
“M-Moira… Itu…” Telunjuknya menunjuk ke arah lubang tersebut dengan ngeri.
Moira melihat ke atas, kemudian ke arah sarang tersebut. “Apa yang terjadi?” Moira kemudian terbang dan mendekati dinding transparan sarang. Dia menyentuh dinding transparan tersebut, sihir pelindung bekerja. Dinding tersebut seperti kilauan kaca saat disentuh sebelum menghilang. Fricea dan Cadmus membuat pengaman ekstra. Namun sepertinya ada sebagian dinding yang pecah.
“Siapa yang bisa mematahkan sihir Cadmus? Penyihir terkuat di kota ini?” Effe gemetar. Dia buru-buru meraih tongkat sihirnya.
“Effe, sebaiknya kau kembali ke kota dan melaporkan ini pada Cadmus dan Fricea. Kau bisa terbang lebih cepat dengan tongkatmu. Kalau bisa, Celestio tidak usah tahu aku di sini.” Moira menaruh telunjuknya ke depan mulut.
Effe hanya tersenyum janggal, tidak mungkin Celestio tidak tahu. Effe bukan seseorang yang begitu saja pergi sendiri kemari bila tidak ada salah satu dari duo berandal: Efram atau Moira. “A-Aku akan kembali. Jangan gegabah…” Effe memperingatkan sambil duduk menyamping pada tongkat sihirnya.
Moira mengangguk. Saat Effe terbang kembali ke inti kota, Moira terbang ke atas pecahan pelindung itu dan mengintip ke dalam. Dia menyentuh pecahan itu, tangannya menyihir bola cahaya untuk melihat detail pecahannya.
‘Sepertinya diserang penyihir kelas atas…’ Moira terbang masuk ke dalam. Gadis berambut hitam itu memicingkan mata untuk melihat keadaan sekitar gua. Dia menyadari bahwa ada beberapa naga yang tampak terluka dan berbaring lemas. Dia terbang mendekati naga tersebut. Naga itu sudah tidak bernapas. Moira melihat sekeliling dan ada beberapa bangkai anak-anak naga tergeletak. Beberapa telur naga tampak pecah berantakan, namun isinya tidak diketahui dimana. Moira melongo ke jalan menuju gua. Jelas bahwa beberapa naga mencoba menghadang seseorang untuk masuk ke dalam gua tersebut. Gadis berambut hitam itu terbang mendarat tepat di hadapan gua. Dia merasakan energi sihir yang cukup kuat, padahal dia masih berada di mulut gua. Dia melihat ke belakang, kiri dan kanannya. Tidak ada seekor naga yang mencoba menghentikannya masuk lebih dalam.
Moira menyihir bola api di udara sebagai penerangan. Dia melangkah masuk ke gua diikuti bola api tersebut. Suasana sekitar tampak lebih hening dari biasanya. Di hadapannya terdapat dua lubang yang saling berhadapan, kiri dan kanan. Masing-masing gua tersebut tertoreh artefak sihir. Terlalu gelap untuk mengecek artefak tersebut. Pandangan Moira teralihkan pada seekor naga tengah berbaring. Bukan… Naga tersebut bersimbah darah. Moira buru-buru berlari ke arah naga tersebut, mengecek tubuhnya.
“Siapa yang melakukan ini…?” Moira gelisah, berpikir apa sebaiknya dia balik ke kota untuk melaporkan hal ini pada Cadmus. Telinganya menangkap langkah kaki yang sedang menuju keluar gua. Dia menoleh, melihat sosok yang sama sekali tidak disangkanya. Mata Moira membesar.
“Efram?” Dia mengenali sosok tersebut.
Pemuda itu keluar dari gua dan dia tersenyum melihat Moira. Efram tumbuh menjadi lebih tinggi, jangkung dan tampak lebih tua jauh dibandingkan Moira. Dia terlihat hampir berusia lebih dari 18 tahun.
“Kau terlambat. Naga terkuat sudah kudapatkan. Kali ini aku yang menang.”
Moira mendelik menatap sosok Efram. “Mendapatkan?”
Semakin Efram berjalan keluar gua, sosoknya semakin jelas. Moira melihat sekelebat warna merah. Warna kematian… Tidak hanya itu, dia juga melihat beberapa darah ungu milik naga. Tubuhnya bergetar, mundur selangkah menatap Efram. Dia menggeleng kepalanya. “Kau bercanda… ‘kan? Berapa naga yang kau lukai dan kau tundukkan dengan paksa?”
“Kali ini aku lebih kuat darimu, Moira.” Dia tersenyum, menunjukkan artefak sihirnya pada punggung tangan. Moira langsung mengenali tanda artefak tersebut dari buku sihir yang dipelajarinya tentang naga. Seketika emosinya memuncak.
“KAU MENGGUNAKAN RAMUAN TERLARANG PENAMBAH UMUR? MENGGUNAKAN SIHIR PANGGIL UNTUK NAGA MERAH!? HANYA UNTUK MENJADI LEBIH UNGGUL DARIKU!?” Moira berteriak tidak percaya. Dia paham Efram lebih berambisi untuk jadi lebih kuat, namun ini diluar dugaan. Keinginan itu sudah menjadi suatu obsesi. Menjadi lebih kuat pun sepertinya tidak akan membuatnya puas. “APA YANG SUDAH KAU TUKARKAN DEMI MENDAPAT SEMUA INI, EFRAM?”
Moira merapal mantra, menyerang Efram dengan sihirnya. Pengguna artefak merah harus dibunuh. Sabit besar tersebut dipatahkan dalam sekejap. Moira mengerang, memegangi lengan kanannya. Darah segar mengucur deras sampai membasahi tanah. Sabit itu terlepas dari genggaman Moira, jatuh menancap pada tebing gua, berpendar kemudian menghilang. Sesaat, nafas Moira tampak terhenti, Efram bergerak cepat, meninju ulu hatinya. Moira jatuh berlutut, meringis sakit.
Efram menatapnya dingin. “Sebaiknya kau berhenti. Lenganmu bisa putus bila kau menyerangku sekali lagi. Nagaku tidak suka ada yang menyerangku tiba-tiba.”
Moira menggeram rendah. Jelas naga Efram adalah naga api. Lengannya terasa seperti membara. Dia tidak melihat naga itu, namun naga itu cukup cepat untuk menangkis senjata sihirnya. “Apa tujuanmu? Kau segitu inginnya menjadi pemimpin Viscia?”
“Viscia tidak membutuhkan pendatang baru yang bahkan tidak tahu apa pun tentang negeri ini. Manusia akan binasa. Tidak akan ada lagi yang dapat memburu penyihir. Kita tidak akan sembunyi di dalam kabut selamanya. Aku akan berlatih lebih keras lagi dan menolong negeri ini.” Efram menyeringai, mengusap artefak sihirnya. Dia mengepal tangannya di udara sebagai tanda kemenangan telah melampaui Moira dan berjalan keluar gua. “Ayo, Xienoilth.”
Moira mengerang sakit, melihat darah yang telah membasahi kakinya. “Tunggu… Ef-ram…” Dia terpeleset dan jatuh ke permukaan kasar gua. Pandangannya mulai kabur.
Efram tidak menggubrisnya dan terbang sebelum dia menghilang dari pandangan. Sihir teleportasi. Moira menggeram kesal dan meninju permukaan tanah gua. Dia memicingkan mata, memaksakan dirinya untuk tetap sadar. Dia merasakan kesakitan yang mulai memanas, seperti api yang menjalar perlahan ke dalam tubuhnya. Moira mengerang, tersengal. Buku-buku jarinya mengepal, tubuhnya mulai gemetar hebat. Sekelebat angin kencang meniup tubuh Moira. Moira menoleh ke belakang dan dia melihat makhluk gigantis menuju keluar gua. Matanya membesar menatap naga itu. Naga itu melihatnya terkapar. Moira menelan ludah. Sekelebat ingatan akan amarah Fricea membuatnya tersenyum. Dia bahkan tidak bisa menolong dirinya sendiri saat ini.
Moira merapal mantra untuk berkomunikasi dengan naga tingkat tinggi. Mantra itu buyar seketika dan runtuh di atas muka Moira, menimpanya seperti butiran es dan menguap saat mengenai kulit wajahnya. Moira langsung paham bahwa kekuatan sihirnya belum mampu merapal mantra tersebut. Sesaat naga itu menatapnya lekat-lekat, mendengus nafas dingin yang mampu membekukan setiap makhluk yang mendekatinya. Moira mengulurkan tangannya, berusaha menggapai moncong naga itu. Naga itu menunduk, mendekati tubuh Moira.
Mata Moira membelalak kaget ketika suatu pengetahuan yang tidak pernah diterima menyeruak masuk begitu saja. Luka yang membara kini terasa membeku. Darahnya berhenti, namun masalah baru muncul. Kepalanya pusing, rasanya seperti mau meledak. Moira membuka mulutnya untuk berkata-kata, namun yang keluar hanyalah erangan dan teriakan parau. Dadanya membusung, luapan kekuatan itu seperti menyerangnya dari dalam. Untuk pertama kalinya Moira merasakan kesakitan yang hebat. Moira mengepal tangannya, jari-jarinya menusuk telapak tangannya hingga berdarah. Dia berguling, berteriak, sebelum menelungkup, menekan kepalanya ke tanah yang terasa lebih dingin dari es. Air matanya mengalir di pipi dan membasahi tanah. Air matanya yang jatuh ke tanah memunculkan puluhan benih bunga kecil. Beberapa tetesan memunculkan cairan asam yang membakar potongan jubahnya. Sihirnya seperti runtuh dan berantakan di luar kendali. Tubuh Moira gemetar hebat, dia menatap telapak tangannya, artefak sihir yang biasa muncul dan menghilang terasa membakar telapak tangannya. Di bawahnya dia melihat pada genangan darah bercampur air, refleksi wajahnya, guratan biru bersinar terang pada pipinya, guratan itu seperti berasap. Dia teringat saat dia menggunakan sihir di rumah orang tuanya, meledakkan satu rumah. Itu terakhir kalinya pipinya terasa seperti terbakar. Namun kali ini bukan seperti api, tapi seperti radang beku.
“C-Cukup-” Moira terengah-engah, dia memegangi kepalanya yang berdenyut-denyut, melihat ke arah sang naga, memohon pada naga tersebut untuk berhenti. Dia tidak mampu untuk berteriak lagi. Mata reptil naga itu berkedip, kemudian Moira mendengar suara yang dikenalnya sejak kecil. Suara yang kian memanggilnya. Rasa kalut mulai menguap, dia menatap naga tersebut dalam keadaan setengah sadar. Tahu bahwa ini naga yang selama ini ingin ditemuinya.
“Akhirnya… Kita bertemu…” Moira mengangkat tangannya untuk menyentuh naga tersebut. Naga itu menunduk di hadapan Moira. Artifak batu sihir di dahi naga tersebut mirip milik Moira. Bukan seperti ini yang dia harapkan saat bertemu dengan naga yang senantiasa memanggilnya itu.
“Takdir sudah berjalan… Dan kau akan melampaui takdirmu bersamaku.”
Takdir…? Untuk kesekian kalinya Moira muak dengan kata-kata itu. Dia berani bersumpah, takdirnya tidak lebih dari sebuah wacana belaka. Dipaksa menjadi harapan bagi sebuah bangsa yang bahkan tidak tahu bagaimana bisa berperang melawan sebuah kerajaan besar. Dilimpahi tanggung jawab yang dia tidak ketahui.
Tubuh Moira melemah. Dia merebahkan dirinya dalam posisi telentang, ingin mengakhiri rasa sakit yang bertubi-tubi. Apakah semua orang yang mendapatkan naga merasakan rasa sakit yang sama seperti ini? Apakah ini penyebab tubuhnya yang masih terlalu kecil untuk menerima luapan sihir awal?
Diluar dari batas kemampuannya, Moira telah mendapatkan sang naga. Naga yang selama ini memanggilnya. Naga yang memang ditakdirkan untuknya.
Erliontuss, yang memiliki arti “Yang Berbakat”.
Moira menutup matanya setelah menggumam nama sang naga. Kepalanya masih sakit, dia ingin tidur nyenyak di ranjang hangat. Dia berharap Effe cepat balik. Sejenak setelah dia memikirkan hal tersebut, Erliontuss menggeram rendah, Moira merasakan tubuhnya melayang, dia membuka matanya dan melihat dirinya dibaringkan dengan lembut pada tepi luar gua.
Erliontuss mengeluarkan suara menggelegar disaat dia keluar dari gua tempatnya bersemayam, bersamaan dengan merekahnya fajar dini hari. Sang pemimpin itu sendiri telah keluar menyambut naga-naga kawanannya. Naga-naga yang masih berada di sarang tersebut ikut menyambut keluarnya naga tertinggi dari sihir asal.
‘Pemimpin… ya…’ Moira menatap naganya. Di saat yang sama, Moira mempertanyakan kualitas dirinya sebagai pemimpin.
Tidak lama setelah Erliontuss keluar dari gua, Effe kembali ke sarang naga diikuti oleh Cadmus dan Fricea. Ada beberapa penyihir bangsa naga yang mengikuti di belakang, siap untuk bertempur dengan naga-naga yang mencoba keluar kawasan sarang mereka.
Moira tersenyum melihat Effe mendarat di sampingnya. “Kau punya kesempatan untuk mengangkut aku dengan tongkat barumu.” Moira terkekeh, kemudian berjengit sakit saat mencoba bangun.
“Sihirku akan menjadi lebih baik berkat dirimu, Moira.” Katanya sarkastik. Tatapan Effe tampak kesal. Effe merapal mantra, kain yang membalut sebagian tongkat sihirnya membuka dengan sendirinya, membentang dan menjadi kaku seperti busa matras. Kain tersebut menyesuaikan diri dengan ukuran tubuh Moira. Effe melambaikan tangannya, batu sihir di pergelangan tangannya berpendar, mengangkat tubuh Moira ke atas kain itu. Seutas tali perak menjahit kain tersebut, untaian itu mengikat kuat pada masing-masing ujung tongkat sihir Effe.
Sebelum naik ke tongkat sihirnya, Effe menatap Erliontuss.
Erliontuss membungkuk pada Moira.
“Aku belum dapat kawasan ini sampai kau berusia 16 tahun. Tapi kau bisa datang kemari kapan saja. Pelindung artefak sudah dipatahkan.” Naga tersebut menggeram rendah.
Moira mengangguk dan melambai pada naganya dengan lemas. Effe menaiki tongkat sihirnya dan mulai terbang menjauhi kawasan, naik menuju menara Mynard.
Di sekeliling mereka, Cadmus dengan beberapa penyembuh termasuk Alussia dan Celestio sibuk mencari naga-naga yang terluka. Meirvolth menunjukkan jalan menuju gua, secara naluriah menggiring mereka menuju rekan-rekan naganya.
Fricea mengecek kubah pelindung yang diperkuat. Dia, Belio dan Vernio bersiap dengan kemungkinan beberapa naga yang keluar dari pelindung tersebut.
“Ditakutkan naga-naga tersebut pergi ke kawasan tinggal manusia.” Fricea berkata dengan cemas dan ngeri. “Mengingat sejarah kita dengan bangsa mereka tidak begitu baik, dendam yang siap meledak kapan saja.”
“Kita akan berperang dengan mereka bila itu terjadi.” Belio meneruskan.
“Takdir yang tidak dapat dihindari…” Vernio melihat ke arah Erliontuss yang menggeram kencang di depan gua. Pemimpin dari para naga di kawasan sarang naga ini. “Dia sudah keluar. Artinya… Naga yang bertolak belakang dengan dirinya sudah keluar lebih dulu.”
“Sang naga penghancur…” Fricea bergumam ngeri.
To Be Continue…
Kreator : Alvaster
Pancasila sebagai dasar negara Indonesia tidak lahir begitu saja. Di balik perumusan lima sila yang menjadi pondasi bangsa ini, ada pemikiran mendalam dari para tokoh pendiri bangsa, salah satunya adalah Soekarno. Pemikiran Soekarno dalam merumuskan Pancasila sebagai dasar negara menjadi salah satu tonggak penting dalam sejarah Indonesia. Lalu, apa saja pemikiran Soekarno tentang dasar negara […]
Dalam dunia pendidikan modern, pendekatan sosial emosional semakin banyak dibahas. Salah satu model yang mendapatkan perhatian khusus adalah **EMC2 sosial emosional**. Namun, apa sebenarnya yang dimaksud dengan Definisi EMC2 sosial emosional? Mengapa pendekatan ini penting dalam pembelajaran? Mari kita bahas lebih lanjut untuk memahami bagaimana EMC2 berperan dalam perkembangan siswa secara keseluruhan. Definisi EMC2 Sosial […]
Part 15: Warung Kopi Klotok Sesampainya di tempat tujuan, Rama mencari tempat ternyaman untuk parkir. Bude langsung mengajak Rani dan Rama segera masuk ke warung Kopi Klotok. Rama sudah reservasi tempat terlebih dahulu karena tempat ini selalu banyak pengunjung dan saling berebut tempat yang ternyaman dan posisi view yang pas bagi pengunjung. Bude langsung memesan […]
Part 16 : Alun – Alun Kidul Keesokan paginya seperti biasa Bude sudah bangun dan melaksanakan ibadah sholat subuh. Begitupun dengan Rani yang juga melaksanakan sholat subuh. Rani langsung ke dapur setelah menunaikan ibadah sholat subuh. Tidak lama disusul oleh Bude dan langsung mengambil bahan masakan serta mengiris bahan untuk memasak. Rani dan Bude sangat […]
Rumusan dasar negara yang dikemukakan oleh Mr. Soepomo memiliki peran sangat penting dalam pembentukan dasar negara Indonesia. Dalam sidang BPUPKI, Mr. Soepomo menjelaskan gagasan ini dengan jelas, menekankan pentingnya persatuan dan keadilan sosial. Dengan demikian, fokusnya pada teori negara integralistik membantu menyatukan pemerintah dan rakyat dalam satu kesatuan. Lebih lanjut, gagasan ini tidak hanya membentuk […]
Buy Pin Up Calendar E-book On-line At Low Prices In India After the installation is complete, you’ll have the flexibility […]
Karya Nurlaili Alumni KMO Alineaku Hampir 10 bulan, Pandemi Covid -19 telah melanda dunia dengan cepat dan secara tiba-tiba. Hal […]
Karya Lailatul Muniroh, S.Pd Alumni KMO Alineaku Rania akhirnya menikah juga kamu,,, begitu kata teman2nya menggoda, Yaa,,,Rania bukan anak.yang cantik […]
Karya Marsella. Mangangantung Alumni KMO Alineaku Banyak anak perempuan mengatakan bahwa sosok pria yang menjadi cinta pertama mereka adalah Ayah. […]
Karya Any Mewa Alumni KMO Alineaku Bukankah sepasang sejoli memutuskan bersatu dalam ikatan pernikahan demi menciptakan damai bersama? Tetapi bagaimana […]
Comment Closed: Dragana Chapter 7
Sorry, comment are closed for this post.