ATAN PENJUAL ROTI
Hari masih pagi sekali, langit mulai memerah di ufuk timur tanda waktu subuh sudah sampai. Nampak seorang ibu muda sibuk mempersiapkan sesuatu di dapur. Sebuah pembakaran yang terbuat dari kaleng bekas telah bertengger di atas tungku. Sebenarnya sejak pukul dua dini hari ibu muda ini telah bangun untuk mencetak roti. Kemudian ditata di sebuah nampan kaleng, selanjutnya didiamkan lebih kurang dua jam. Setelah mengembang, roti siap untuk dibakar.
Setelah selesai membakar roti, ibu muda yang dikenal dengan nama panggilan ‘‘Kecik” membangunkan anak lelakinya untuk sholat Subuh. Ibu muda ini dipanggil Kecik oleh keluarga dan masyarakat sekitar karena memiliki postur tubuh yang kurus dan kecil.
“Bujang!! Bangun, Nak. Dah subuh!”
Itulah kata-kata yang diucapkan oleh Ibu Kecik setiap kali membangunkan anaknya.
Bujang adalah panggilan kesayangan orang tua untuk anak laki-laki di kampung. Nama sebenarnya adalah Muhammad Atan. Di lingkungan sekitar tempat tinggalnya, ia biasa dipanggil Atan. Panggilan bujang hanya digunakan Ibu Atan. Kalau tidak, biasanya akan muncul tambahan di belakang nama bujang. Di Kampung Atan banyak sekali nama panggilan bujang, seperti Bujang Lampu karena jidatnya lebar, Bujang Katai karena tubuhnya pendek, Bujang Hitam karena kulitnya hitam. Bujang Kurit, dan Bujang Nini. Pokoknya ada saja gelaran yang diberikan.
Sepertinya Atan sudah tahu rutinitas yang harus dijalani setiap subuh. Bangun dari tempat tidur, yang sebenarnya lantai rumah ruang tengah, lalu bergegas ke sumur untuk berwudhu dan kemudian sholat Subuh. Selanjutnya, seperti biasa, dia menghampiri Ibu lalu mengambil keranjang yang berisi roti bakar. Tidak lupa, Atan akan meminta jatah rotinya. Roti jatah itu dimasukkan ke dalam keranjang dengan harapan ikut terbeli juga.
Tidak berapa lama orang-orang kampung akan mendengar suara Atan yang khas di subuh itu.
“Rooooooti……….rooooooti, roti bakar.”
Kemudian Atan akan menyinggahi rumah-rumah langganannya. Setelah satu jam menyusuri rumah pelanggan, roti yang dijual biasanya tidak tersisa, termasuk roti jatahnya. Jika demikian, maka hasil berjualannya itu adalah uang jajan Atan di sekolah. Sebab jangan harap Atan mendapat uang jajan dari orang tuanya.
Rutinitas ini telah dilakukan Atan sejak kepergian Ayahnya ke Pekanbaru. Di Pekanbaru, Ayahnya mengikuti pendidikan Polisi Pamong Praja. Ayah Atan memang tidak meninggalkan apa-apa. Untuk menyeberang ke Pekanbaru saja harus meminjam sana-sini. Sudah dua bulan Ayahnya berangkat ke sana. Sejak keberangkatan ayahnya itulah mak Atan kembali menjual roti bakar yang dulu pernah ditekuninya.
Setelah berkeliling ke tetangga untuk menjual roti, Atan pulang ke rumah, kemudian mandi dan bersiap ke sekolah.
“Jang, nanti antarkan roti ini dulu ke kedai Pak Haji Harun ya.” kata Ibu Kecik.
“ Ya, Mak.” jawab Atan.
Setelah berpakaian, Atan bergegas ke dapur dan mengambil keranjang roti yang telah disiapkan ibunya.
“Berapa ni, Mak?”
“Empat puluh buah. Cepat sedikit ya, sebab semalam ada kapal bersandar di pelabuhan. Tentu banyak tu kelasinya yang ngopi pagi ini.”
“Ya Mak.“ jawab Atan.
Kemudian, Atan mengeluarkan sepeda ontel tua dari bawah rumah panggungnya. Keranjang roti diikatkan di belakang di atas tempat boncengan di belakang. Jika dilihat, sebenarnya badan Atan tidak sesuai dengan sepeda yang besar itu. Tapi, karena terbiasa, sepertinya tidak ada keraguan pada wajah Atan setiap kali mengayuh sepeda ontelnya tersebut.
Dengan pasti, Atan menelusuri jalan tembok yang menuju ke arah laut. Jalan tembok ini sudah ada sejak zaman Belanda. Jalan dengan lebar dua meter ini dibuat agar memudahkan untuk membuat pelabuhan. Jika tidak akan sangat jauh dan panjang jembatan yang akan dibuat untuk mencapai alur kapal. Di kiri kanan jalan tembok berjejer rumah penduduk yang didirikan di atas laut. Maka jadilah rumah penduduk sepanjang tembok seperti rumah terapung.
Atan nampak terus melaju. Bagian belakang baju seragam sekolahnya melambai-lambai diterpa angin laut. Sesekali matanya melihat ke depan dan ke samping. Biasanya banyak kucing yang lagi buang hajat di pagi hari. Nampak kucing belang berbulu lebat sedang mengais-ngais tanah untuk menutupi kotorannya. Atan melihat keberadaan kucing tersebut. Akan tetapi, dengan tiba-tiba, kucing itu melompat karena terkejut dengan kehadiran sepeda Atan. Atan gugup dan sedikit oleng. Dia berusaha untuk turun dan menjaga keseimbangan. Atan berhasil menghindari kecelakaan tersebut namun beberapa buah roti melompat dari keranjang dan jatuh ke tanah.
Atan nampak bingung. Kemudian sepeda diparkir di pinggir jalan. Lalu, dia memungut roti yang jatuh tadi. Ditiup dan dibersihkannya kotoran pasir yang menempel di roti dan diletakkan kembali ke dalam keranjang. Kemudian kembali meluncur menuju ke kedai Pak Haji Harun.
“Pak Haji, ni roti, empat puluh ya.”
“Ya Tan taruk saja di meja tu ya.” kata Haji Harun.
Atan keluar dari kedai Pak Haji Harun. Wajahnya sebenarnya menyimpan kegundahan. Namun, mau diapakan lagi. Tidak mungkin dia bercerita kepada Haji Harun tentang kejadian rotinya yang jatuh ke tanah. Alamat tak lakulah roti emaknya itu. Dengan gontai akhirnya Atan mengendarai sepedanya menuju ke sekolah.
Di sekolah, Atan terlihat kurang semangat. Hatinya begitu gundah. Menunggu berakhirnya jam pelajaran terakhir terasa sangat lambat. Hari ini dia merasa telah membuat kesalahan yang sangat besar. .
Sepulang sekolah, Atan langsung menemui ibunya. Lalu, diceritakannya kejadian pagi tadi. Ibu Atan tampak terkejut.
“Apa, Jang? roti jatuh?!” tanya Ibu Atan.
“Ya Mak.”
“Lalu kau apakan roti tu?”
“Atan letakkan lagi dalam keranjang tu, Mak.”
“Haaaaa, berpasir lah tu roti.” Sergah Ibuk Atan.
“Sudah Atan tepis-tepis Mak, Atan tiup-tiup tu pasirnya, lalu Atan letak di dalam keranjang bagian bawah, Mak.”
“Itu nipu namanya, Naaaak. Sekarang juga kau ambil semua roti di kedai Pak Haji Harun tu, lekas!”
Atan terkejut melihat ibunya begitu marah. Tanpa berpikir panjang lagi Atan mengambil sepeda ontelnya dan langsung menuju ke kedai Pak Haji Harun. Setelah memarkir sepedanya, Atan langsung menemui Pak Haji Harun.
“Pak Haji, Mak suruh ambil roti.”
“Ai cepat betul, biasanya jam empat. Ni baru jam dua, masih banyak tu sisa rotinya.” Kata Pak Haji Harun.
“Tak apalah Pak Haji, kata Mak untuk sedekah Masjid saja sisanya ini.” Jawab Atan.
“Oh begitu. Ya lah, berapa sisanya?“ tanya Pak Haji Harun.
“Lima belas, Pak Haji.”
“Jadi laku dua puluh lima ya. Ni uangnya.”
“Terima kasih, Pak Haji. Saya pulang ya.”
“Ya. Eh, Tan. Kata orang yang makan roti kau tu, katanya agak berpasir. Apa hal?“ tanya Pak Haji.
“Apa, Pak Haji?“ Atan kembali bertanya.
Sebenarnya hati Atan saat itu begitu bergemuruh. Berterus terang tidak mungkin.
“Oh, itu pagi tadi angin agak kencang, Pak Haji. Debu jalan kita itu beterbangan, minta maaf lah ya, nanti saya sampaikan ke Mak.“ jawab Atan mengelak untuk menutupi kesalahannya. Tapi, dia tetap merasa berdosa karena telah banyak berbohong hari ini.
Sepanjang perjalanan pulang, Atan mencoba kembali merenungi kesalahan yang telah diperbuatnya. Dia begitu menyesal telah berbuat curang. Dia telah menghianati ibunya, melanggar ajaran moral yang dicontohkan oleh kedua orang tuanya.
*****
lekas = cepat, segera
Kreator : Syafaruddin
Comment Closed: Dua Dunia Atan part 1
Sorry, comment are closed for this post.