Siang itu, Atan mencoba merebahkan diri di kursi malas yang terbuat dari pohon kelapa. Lelah sekali rasanya seharian mengejar berita yang harus naik besok pagi. Baru saja mata ingin terlelap, terdengar seseorang memberi salam. Dengan perasaan malas Atan bangun juga dan membuka pintu.
Seseorang yang cukup Atan kenal berdiri mematung di depan pintu. Sebetulnya Atan tidak tahu harus bergembira atau bersedih atas kedatangannya. Gembira karena sudah cukup lama tidak bertemu, sedih karena biasanya anak ini selalu bikin masalah dengan kantongnya.
Namanya Hasan. Dia baru datang dari Tembilahan Indragiri Hilir. Rencananya dia akan pulang ke Sedanau setelah sekian lama merantau. Di Indragiri Hilir, Hasan bekerja di perusahaan kayu balak.
Pada tahun 80-an pembalakan kayu di daratan Sumatera sedang giat-giatnya. Saat ini kayu sudah hampir habis. Banyak para pekerja terutama mereka yang datang dari Kalimantan pulang ke kampung halamannya.
Siang itu, Hasan mampir ke rumah Atan. Tanpa dijelaskan, Atan sudah tahu maksudnya. Pasti ada maksud tertentu. Memang tabiat saudaranya itu, bila diajak kerja seperti aur ditarik sungsang. Tapi, bila ada keperluan, tanpa disuruh, sudah ada di depan pintu.
“Bang, Aku nak balek Sedanau,” kata Hasan.
Dia memanggil Atan sebagai Abang. Memang Bapaknya dan Ibu Atan masih saudara satu Ayah. Kami berdua masih sepupu.
“Oh ya, mengapa nak balek? Dah selesai kayu di Sumatera tu?” tanya Atan.
“Tak lah begitu, tapi peraturan baru memaksa perusahaan memulangkan beberapa karyawan. Kontrak kami tak diperpanjang lagi, ya balek lah. Dah hampir 8 tahun aku merantau, Bang. Aku masuk kesana tahun 89, sekarang dah tahun 97.”
“Banyak bawa duit lah ye.” sindir Atan.
“Tak lah Bang, Aku nak balek ni nak minta dengan Abang lah.”
“Apa lah kau, San. Kau pikir Abang tukang cetak duit di Tanjungpinang ni?!” jawab Atan.
“Abang kan wartawan, tentulah dapat cari sana, sikut sini.”
“Betul sikit kau cakap, San.”
“Aku memang wartawan. Tapi, bukan perompak. Dan, kau bertahun-tahun meninggalkan Sedanau macam mane sampai tak berduit.” tanya Atan.
“Jangan-jangan kau punye bini dekat sana tak?”
“Tak lah Bang, ada-ada saja lah Abang ni.” jawab Hasan.
“Tapi Bang, pasal bini ni Aku ada hal nak cerita dengan Abang.”
“Apa tu, San?” tanya Atan.
“Tapi, Abang janji bantu duit aku balik ye.”
“Ah, kau ni pakai ngancam pulak.”
“Betul Bang, ini penting. Tentang Ayah Abang.” kata Hasan.
“Ape kena-mengena dengan Ayah Abang pula?” tanya Atan.
Hasan memperbaiki duduknya. Dengan serius dia menatap wajah Atan.
“Bang, betul kah Ayah Abang tu ada bini lain di Sumatera?” tanya Hasan.
Atan tersentak. Kurang ajar juga anak ini, pikirnya.
Merah juga telinga mendengar pertanyaannya yang tanpa basa-basi. Bagaimanapun, Ayah Atan adalah penganut monogami yang hebat. Kecik itulah istri satu-satunya yang dicintai dan disayangi. Katanya, sedetik pun tidak dapat berjauhan dengan Kecik.
Atan mencoba tenang pikirannya menerawang ke almarhum Ayahnya dan Ibunya di Sedanau. Tapi, dulu sekitar tahun 78, pernah juga terjadi ’perang’ antara Ayah dan Ibunya. Saat itu, Ayah Atan ingin jujur pada ibunya. Ceritanya ayah mendapat sepucuk surat dari Kampar. Lalu, surat itu dibawa pulang ke rumah. Entah mengapa, mungkin belum sempat untuk menceritakan hal yang sebenarnya pada ibunya, surat itu terlanjur dijumpai oleh Kecik dalam saku baju Ayah Atan. Siapapun perempuannya kalau membaca isi surat yang kira-kira seperti ini:
Abang Bujang,
Mengapa tak ada berita sejak kepulangan Abang ke Sedanau.
Westi berharap Abang baik-baik saja.
Westi merasa sangat rindu pada Abang Bujang.
Meskipun kita berjauhan, Westi selalu teringat akan Abang.
Anak kita sekarang sudah besar. Anak kita laki-laki. Gagah seperti ayahnya. Dia Westi beri nama Yurnalis. Sekarang sudah pandai berjalan.
Abang Bujang, bagaimana Westi mau memberitahukan pada anak kita tentang ayahnya jika nanti dia bertanya tentang Abang.
Westi bingung, Bang. Westi harap Abang dapat sekali-sekali datang ke Rumbio menengok kami.
Demikian yang dapat Westi sampaikan.
Tertitip cium sayang dari anak kita Yurnalis. Salam rindu dari Westi
Rumbio, Kampar, 2 Juni 1978.
Tentu panas baran jadinya.
Bujang adalah panggilan untuk Ayah Atan. Pada waktu itu, Ibu Atan pernah menghilang dari rumah selama tiga hari. Tapi, Ayah Atan tak kurang akal. Beliau pura-pura sakit. Ibu Atan menyerah lalu pulang ke rumah.
“Hoi Bang, malamun pula.” sergah Hasan.
“Oh ya, apa tadi?” Atan tergagap, mungkin pertanyaan Hasan ada kaitan dengan perang tahun 1978 itu.
“Begini Bang,” lanjut Hasan.
“Di tempat kerjaku dulu, dekat sungai Pakning, ada seorang pengawas yang umurnya sekitar dua puluhan. Waktu itu kami istirahat. Sambil istirahat, kami berbincang-bincang. Dia bertanya padaku tentang asal usul. Maka, Aku bilang kalau Aku dari Sedanau. Mendengar nama Sedanau dia sedikit terperanjat, lalu katanya dia juga orang Sedanau, Bapaknya tinggal di sana. Namanya Pak Bujang.”
“Stop! siapa nama budak tu?” tanya Atan tak sabar.
”Lengkapnya Aku tak tau, Bang. Tapi, kami memanggilnya Pak Yur.” jawab Hasan.
Atan terkesiap.
Pasti Yurnalis, pikirnya.
Tapi belum tentu juga, bisa saja Yurisman, Yusrizal atau Yuryuryur, atau Yur tapi nama panjangnya Yuuuuuuur, akh.
Atan berdiri.
Ditatapnya foto Ayahnya yang sengaja dipasang di dinding rumahnya, berdampingan dengan foto Ibunya.
Sekilas hilang kepercayaan pada Ayahnya. Ditatapnya lagi foto itu. Dilihatnya wajah Ayahnya.
Memang gagah orang tua ini, gumamnya dalam hati.
Jika semua rangkaian cerita itu benar, berarti ibunya Atan, yang fotonya terletak di samping foto Ayahnya, telah tertipu oleh lelaki itu. Namun, Ayah Atan tidak bisa disalahkan jika itu memang terjadi. Bukankah tidak ada larangan bagi seorang laki-laki untuk menikah dan memiliki lebih dari satu istri? Ayah Atan tidak salah.
”Bang, mengapa diam?” terdengar suara Hasan kembali menyela dalam lamunan Atan.
”Dia tak cerita mengapa Ayahnya berada di Sedanau?” tanya Atan.
”Siapa, Bang?”
”Ya Si Yurnalis itu.” jawab Atan
“Betul, Bang! Itu, Yurnalis namanya.” teriak Hasan.
“Macam mana Abang tahu kalau namanya Yurnalis?”
Kembali Atan tersudut, tersentak dan agak gugup.
”Tak, anu, mungkin namanya Yurnalis. Abang sembarang sebut saja.”
“Betul, Bang. Baru Aku ingat, namanya memang Yurnalis.” jawab Hasan.
“Merapek kau, San. Kalau tadi Aku bilang Yurisman, kau bilang betul juga.”
“Tak, Bang. Memang betul, Yurnalis. Jadi, Abang tahu ya saudara Abang tu?” Hasan mencoba menebak.
Atan mencoba bersikap lebih tenang. Sebagai wartawan kawakan, Atan mencoba berdiri pada posisi seolah-olah tidak ada kena mengena dengan dirinya.
“Engkau jangan mengambil kesimpulan seperti itu. Langsung menyebut dia itu saudara Abangmu ini. Kita perlu cek and ricek. Aku tanya mengapa Bapaknya sampai ke Sedanau sana?”
“Bapaknya memang orang Sedanau. Dia bilang, dulu tahun 74, Bapaknya pernah ke Pekanbaru. Katanya, latihan Polisi Pamong Praja. Sewaktu mencari kerabatnya di Kampar, jumpa dengan ibunya Yurnalis, cucu dari saudara kakeknya Yurnalis yang ada di Sedanau. Oleh kerabat di Kampar sana mereka dinikahkan. Katanya takut putus garis kekeluargaan. Jadi, mereka ini kawin dua pupu, Bang.”
Badan Atan semakin lemas. Semua cerita Hasan tidak ada salahnya lagi. Semua mengarah pada sosok Ayahnya. Kakek Ayahnya orang Kampar, tepatnya Rumbio. Kedua, Ayahnya seorang Polisi Pamong Praja. Ketiga, Ayahnya pernah pendidikan enam bulan di Pekanbaru. Tapi, tunggu dulu, Polisi Pamong Praja di Sedanau ada tiga orang yang memakai nama Bujang. Ada Bujang Sa’ari, Bujang Muhidin, dan Ayahku, Bujang Matdun.
Kalau lah betul cerita Hasan, jangankan Ibunya, Atan sendiri pastilah kecewa. Sewaktu Ayahnya pergi ke Pekanbaru, pendidikan Polisi Pamong Praja, mereka tidak ditinggal duit sepeserpun. Setiap hari Ibunya membuat jualan roti bakar. Setiap hari Atan memancing sepulang dari sekolah untuk memenuhi lauk pauk makan sehari-hari. Sementara Ayahnya di Pekanbaru enak-enak kawin lagi. Akh, semoga tak betul.
”San, siapa pastinya nama Ayah Yurnalis itu?” tanyAtan pada Hasan.
”Tak jelas Atan, Bang.”
”Akh, macam mana kau ni, Polisi Pamong Praja di Sedanau tu dulu ada tiga orang yang pakai gelar bujang tu. Nah, bujang yang mana satu disebut sama budak Yurnalis itu!” Atan mulai sedikit geram.
”Bujang Ayah abang tak?”
”Apa pasal kau tebak-tebak macam tu?!”
”Aku tak asal tebak, Bang. Kan keluarga Ayah Abang asalnya dari Kampar.” jawab Hasan.
Betul juga, pikir Atan.
Keluarga Atan memang berasal dari Kampar. Tepatnya Rumbio. Bujang Muhidin tak mungkin karena keluarga mereka dari Kalimantan, Bujang Sa’ari apalagi, tak tahu asal usulnya, mungkin dari Vietnam sana. Tapi waktu ’perang’ tahun 1978, Ayah Atan pernah mengatakan pada ibunya bahwa surat yang diterima dari Kampar adalah pekerjaan iseng dari teman-temannya itu, Bujang Muhidin dan Bujang Sa’ari. Maksud mereka hanya bergurau saja. Memang orang dulu permainannya kasar.
”Bang, jadi betul ya, Ayah Abang punya istri di sana?” Hasan coba memancing Atan lagi.
”Betul gundulmu!” seru Atan.
“Begini, San. Ini rahasia kita berdua. Kalau nanti kau sampai ke Sedanau, jangan kau cerita pada Mamak saudara kau tu, ya!”
”Siapa, Bang?” tanya Hasan berlagak bodoh.
”Ibuku lah, bahlol!” kata Atan sedikit membentak.
”Tergantung, Bang.” jawab Hasan.
”Tergantung apanya?” tanya Atan.
”Tergantung berapa duit yang akan Abang berikan padaku untuk ongkos pulang ke Sedanau.” jawab Hasan dengan muka selambe.
”Sial!” kata Atan sambil meremas kepala Hasan.
Hasan tertawa terpingkal-pingkal melihat kekesalan Atan.
”Kalau kau tak mau janji jangan harap ku kasih duit untuk pulang.”
”Ya Bang, Aku janji.” jawab Hasan. Agaknya dia takut juga dengan ancaman Atan.
Sekilas terbayang wajah Ibunya yang sudah mulai keriput. Terbayang juga oleh Atan wajah Yurnalis, adiknya itu, meskipun belum pernah dilihatnya. Lucu juga membayangkan wajah seseorang yang selama ini belum pernah kita kenal. Atan tersenyum sendiri. Dan, yang terpenting, ternyata Ayahnya bukan penganut monogami. Sama seperti kakeknya dari sebelah Ayah yang beristri dua, serta kakek di sebelah Ibunya yang beristri empat. Hanya Atan yang harus menjaga agar …. ah, Atan tersenyum sambil merogoh dompet di saku celananya dan mengeluarkan uang lima ratus ribu untuk Hasan. Dan, Hasan nampak tersenyum puas.
*****
merapek = berbicara semaunya
bahlol = bodoh
selambe = sekenanya
Kreator : Syafaruddin
Part 15: Warung Kopi Klotok Sesampainya di tempat tujuan, Rama mencari tempat ternyaman untuk parkir. Bude langsung mengajak Rani dan Rama segera masuk ke warung Kopi Klotok. Rama sudah reservasi tempat terlebih dahulu karena tempat ini selalu banyak pengunjung dan saling berebut tempat yang ternyaman dan posisi view yang pas bagi pengunjung. Bude langsung memesan […]
Part 16 : Alun – Alun Kidul Keesokan paginya seperti biasa Bude sudah bangun dan melaksanakan ibadah sholat subuh. Begitupun dengan Rani yang juga melaksanakan sholat subuh. Rani langsung ke dapur setelah menunaikan ibadah sholat subuh. Tidak lama disusul oleh Bude dan langsung mengambil bahan masakan serta mengiris bahan untuk memasak. Rani dan Bude sangat […]
Dalam dunia pendidikan modern, pendekatan sosial emosional semakin banyak dibahas. Salah satu model yang mendapatkan perhatian khusus adalah **EMC2 sosial emosional**. Namun, apa sebenarnya yang dimaksud dengan Definisi EMC2 sosial emosional? Mengapa pendekatan ini penting dalam pembelajaran? Mari kita bahas lebih lanjut untuk memahami bagaimana EMC2 berperan dalam perkembangan siswa secara keseluruhan. Definisi EMC2 Sosial […]
Part 14: Kopi Klotok Pagi hari yang cerah, secerah hati Rani dan semangat yang tinggi menyambut keseruan hari ini. Ia bersenandung dan tersenyum sambil mengiris bahan untuk membuat nasi goreng. Tante, yang berada di dekat Rani, ikut tersenyum melihat Rani yang bersenandung dengan bahagia. “Rani, kamu ada rasa tidak sama Rama? Awas, ya. Jangan suka […]
Part 13 : Candi Borobudur Keesokan harinya Rama sibuk mencari handphone yang biasa membangunkannya untuk berolahraga disaat Rama berada di Jogja. Rama tersenyum dan semangat untuk bangun, membersihkan diri dan segera membereskan kamarnya. Tidak lupa Rama juga menggunakan pakaian yang Rapih untuk menemui Rani hari ini. Sementara Rani seperti biasa masih bermalas-malasan di dalam kamarnya […]
Buy Pin Up Calendar E-book On-line At Low Prices In India After the installation is complete, you’ll have the flexibility […]
Karya Nurlaili Alumni KMO Alineaku Hampir 10 bulan, Pandemi Covid -19 telah melanda dunia dengan cepat dan secara tiba-tiba. Hal […]
Karya Lailatul Muniroh, S.Pd Alumni KMO Alineaku Rania akhirnya menikah juga kamu,,, begitu kata teman2nya menggoda, Yaa,,,Rania bukan anak.yang cantik […]
Karya Marsella. Mangangantung Alumni KMO Alineaku Banyak anak perempuan mengatakan bahwa sosok pria yang menjadi cinta pertama mereka adalah Ayah. […]
Karya Any Mewa Alumni KMO Alineaku Bukankah sepasang sejoli memutuskan bersatu dalam ikatan pernikahan demi menciptakan damai bersama? Tetapi bagaimana […]
Comment Closed: Dua Dunia Atan part 10
Sorry, comment are closed for this post.