KATEGORI
  • Adat & Budaya
  • Agrikultur
  • Aksi
  • Arsitektur
  • Artikel
  • Asmara
  • Autobiografi
  • autobiography
  • Bahasa & Sastra
  • Berita Alineaku
  • Bisnis
  • Branding
  • Catatan Harian
  • Cerita Anak
  • Cerita Bersambung
  • Cerita Pendek
  • Cerita Rakyat
  • Cerpen
  • Cinta
  • Cita – Cita dan Harapan
  • Dongeng
  • Drama
  • Ekonomi
  • Epos
  • Event
  • Fabel
  • Fantasi
  • Fiksi
  • Gaya Hidup
  • Hiburan
  • Hobi
  • Hubungan Antarpribadi
  • Hukum
  • Humanis
  • Humor
  • Ilmu Manajemen
  • Inspirasi
  • Istri
  • Kampus
  • Karir dan Kewirausahaan
  • Keagamaan
  • Keluarga
  • Kesehatan & Kecantikan
  • Kesehatan Mental
  • Ketenagakerjaan
  • Kisa Masa Kecil
  • Kisah Inspiratif
  • Kritik Media
  • Kuliner
  • Legenda
  • Lifestyle
  • Lingkungan Hidup
  • Madhoe Retna
  • Manajemen
  • mengelola toko
  • Mental Health
  • Moralitas
  • Motivasi
  • Novel
  • Nutrisi
  • Nutrition
  • Opini
  • Organisasi
  • Otomotif
  • Parenting
  • Pemerintahan
  • Pendidikan
  • Pendidikan Karir
  • Pendidikan Keuangan
  • pengalaman hidup
  • Pengembangan Diri
  • Perjalanan Hidup
  • Pernikahan
  • Persahabatan
  • Pertemanan
  • Petualangan
  • Petualangan Alam
  • Pilih Kategori
  • Pilih Menu
  • Politik
  • Psikologi
  • Psikologi Sosial
  • Puisi
  • Romansa
  • Romantisme kehidupan
  • Rumah Tangga
  • Satir
  • SDM
  • Sejarah
  • Self-Acceptance
  • Self-Awareness
  • Seni & Budaya
  • Sosial
  • spiritual journey
  • Strategi
  • Teknologi
  • Tempat Wisata
  • Traveling
  • Uncategorized
  • Wanita
  • Beranda » Artikel » Dua Dunia Atan part 12

    Dua Dunia Atan part 12

    BY 31 Des 2024 Dilihat: 108 kali
    Dua Dunia Atan_alineaku

    TERSEBAB GONGGONG

    Seperti biasa jalanan tepi laut kota Tanjungpinang selalu dipenuhi kendaraan para pengunjung. Badan jalan hanya disisakan pas untuk satu mobil. Kondisi ini terus dibiarkan seolah-olah sudah dianggap benar. Kursi-kursi berjejer menghadap ke arah laut. Anak-anak muda bercengkerama seakan tidak memiliki beban hidup. 

    Atan terus menelusuri jalan tepi laut kemudian berbelok di Jalan Pos dan berhenti di sebuah penginapan megah, tapi sayang tidak ada tempat parkirnya. Atan coba menepi lalu menelpon temannya yang menginap di penginapan itu. Sebenarnya dia bukan teman akrab, tapi karena tugas dari kantor maka mereka menjadi sering bertemu. 

    Teman Atan yang satu ini baru datang dari Pekanbaru.  Namanya Saharman, selalu dipanggil Harman, atau Har saja.  Katanya sudah dua hari. Tapi baru pagi tadi dia menelepon Atan. 

    “Tan, kawan di Pinang ni.” kata kawannya diujung telepon.

    “Sudah dua hari.”

    “Celaka punya budak! Hei, Har. Mengapa baru telepon sekarang?” Tanya Atan lewat  telepon yang dipegangnya.

    “Kalau begitu malam ini habis magrib kita jumpalah ya!” 

    Makanya malam ini Atan menjemput Har di penginapan. Tidak berapa lama mobil kijang kotak kebanggaan Atan itu meluncur menelusuri jalan pasar ikan terus berbelok ke Jalan Gambir.

    “Kemana kita ni bagusnya, Har?” tanya Atan pada Saharman. 

    “Manalah aku tahu, yang bawa mobil kan kau.” Jawab Saharman.

    “Yalah ke akau aja ya, kalau ke tepi laut tidak enak sama anak-anak muda itu. Rambut kita dah nampak putihnya. Nanti dibilang apa-apa pulak.” 

    Mobil kemudian diarahkan ke akau Potong Lembu. Memasuki jalan yang sempit, ditambah tidak adanya tempat parkir sekali lagi membuat Atan merasa berat ke tempat ini. Tetapi mau bagaimana lagi kuliner murah meriah dan banyak pilihan cuma ada di sini.

    Beberapa meja nampak masih kosong. Mungkin karena bukan malam Minggu, pikir Atan. Lalu Atan mengambil meja di bawah lampu. Cukup terang, pikirnya. Tapi, Suharman menginginkan tempat yang agak gelap. Lalu mereka mengambil meja sedikit di tengah, Cahayanya agak temaram karena memang tidak ada lampu di sekitar meja itu. Ini memang sesuatu yang membuat pertanyaanku selama ini menggunung. Setiap kali kami keluar, Suharman selalu seperti orang ketakutan dan seakan tidak ingin diketahui keberadaannya kalau dia berada di Tanjungpinang. Tapi, aneh juga. Kalau takut, mengapa tempat menginapnya tidak pernah berpindah? Seolah-olah penginapan yang ditempatinya ini telah menjadi rumahnya di Tanjungpinang. 

    Sebenarnya tak perlu juga Atan curiga macam-macam dengannya. karena dia memang selalu berkeliling di serantau Riau ini. Dia memang dikenal sebagai penulis handal. Sebagai seorang penulis agaknya penginapan ini mampu memberi inspirasi dalam merangkai kata-kata.

    Sejurus setelah mereka duduk, seorang pelayan menghampiri meja mereka.

    “Aku minta teh tarik saja.”

    “Ai tak makan ke?” tanya Atan padanya. 

    Dia menggeleng sambil menunjuk perutnya sebagai isyarat bahwa dia sudah kenyang.

    ”Dah makan tadi. Habis kalau menunggu engkau matilah aku kelaparan.”

    ”Ya sudahlah, kita makan gonggong saja kalau begitu.” 

    Lalu, Atan memesan satu porsi gonggong dan dua gelas teh tarik.

    Setelah cukup menunggu akhirnya datang juga pesanan kami. Selanjutnya, mulailah mereka menarik kaki-kaki gonggong yang menyembul dari cangkangnya. 

    ”Seharusnya makanan ini dilarang dijual di Tanjungpinang.” 

    Atan terperanjat mendengar pernyataan kawannya itu. Tapi, Atan kembali sadar bahwa temannya itu selalu memiliki inspirasi terhadap sesuatu.

    “Apa pasal pula?” tanya Atan bodoh.

    ”Tan, awak tau kan apa jadinya kalau kita makan gonggong ini.”

    ”Ya, dapat menyebabkan tensi kita naik.” jawab Atan.

    ”Bukan!” jawab Suharman.

    ”Apa pula, coba kalau yang makan tu darah tinggi, lalu tiba-tiba kumat, tensinya naik,  jatuh pingsan, kan semua orang susah.” jelas Atan sekenanya.

    ”Bukan itu, yang lebih parah lagi, kalau libido naik, mau kemana orang pendatang seperti aku ini?”

    “Ah, kau ada-ada saja. Kalau libido naik ya cari saja,” jawab Atan seenaknya.

    “Memang ada di Tanjungpinang?” 

    “Yang legal tak ádalah, tapi yang ilegal banyak.” 

    “Dapat kau cari untukku?” pinta Suharman  pada Atan. 

    “Menyanyah ajalah. Sejak kapan aku jadi mucikari, ah sial kau lah!” 

    Mereka tertawa sehingga orang-orang yang duduk di meja sekitar mereka memandang ke arah mereka berdua. Mereka berlagak tidak tahu  saja, seolah-olah tidak terjadi apa-apa. Tangan-tangan Atan dan Suharman masih tetap menarik kaki-kaki gonggong. Sekali-sekali mencongkel dengan penusuk gigi yang disediakan jika kakinya putus dan daging gonggong tertinggal di dalam.

    “Tahu tak mengapa nama makanan ini gonggong?” kembali Suharman dengan pertanyaan baru sambil mengunyah daging gonggong yang ada di mulutnya.

    “Manalah aku tahu, sudah dari dulu namanya begitu.”

    “Tapi itu kan hanya sebutan di Tanjungpinang ini saja. Di tempat asal kau, Natuna sana, kan lain namanya,” kata Suharman seolah-olah lebih tahu dari Atan.

    “Ya di sana namanya kuyong siuk,” jawab Atan singkat.

    “Nah, di Tanjungpinang namanya gonggong karena meniru sifat anjing musim utara.”

    ”Memang ada hubungannya?” tanya Atan penasaran.

    ”Ya adalah, kan aku bilang tadi kalau kita makan gonggong, maka libido kita naik. Kalau dah naik kita …”

    ”Ups, cukup aku tahu, lalu kita nak itu kan?”  potong Atan.

    ”Ya, mirip anjing musim utara, kerjanya menggonggong kalau mau kawin.”

    Ketawa mereka kembali pecah.

    Sekali lagi orang-orang melihat ke arah mereka berdua. 

    ”Makanya orang Tanjungpinang banyak yang kawin dua, karena suka makan gonggong. Satu istri tak cukup,” kata Suharman.

    ”Mengacau sajalah kau, Har. Mana ada orang Tanjungpinang seperti itu. Mau makan saja susah. Kalau pendatang seperti kau tu ya lah, ada istrinya di mana-mana. Setiap bulan kau datang kemari seperti ada kewajiban yang nak kau penuhi.” 

    ”Tak adalah aku begitu,” jawab Suharman mengelak.

    “Katanya, pejabat di sini banyak yang punya simpanan, ya?” Kembali Suharman mencoba mengalihkan pembicaraan.

    “Hati-hati sikit kalau bercakap tu,” kataku.

    “pejabat Tanjungpinang tak ada lah macam tu, semua baik-baik. Tak ada yang masuk dalam kelompok Portugal.”

    “Apa tu Portugal.” tanya Suharman penasaran.

    “Persatuan Orang Tua Gatal.”

    Sekali lagi ketawa mereka kembali memecah suasana. Tiba-tiba handphone Suharman berdering, sejurus kemudian dia nampak sedikit gugup. Tapi dicobanya untuk bersikap biasa saja. Aku tau ada sesuatu yang coba disembunyikannya. Dia tidak menjawab telepon itu, tapi jari-jarinya terlihat menekan huruf-huruf di-handphone-nya, lalu diletaknya kembali di meja tanpa ekspresi.

    ”Siapa?” tanya Atan.

    ”Oh, itu dari Pekanbaru,” jawab Suharman singkat.

    ”Sudahlah, kita besurai, ya.”

    ”Lah, cepat betul. Habiskan dulu tu gonggong-nya,” kata Atan.

    Kebetulan gonggongnya memang tinggal dua lagi. Atan mengambil satu dan Suharman satu. Setelah mengelap mulut dengan tisu yang juga telah disediakan, mereka pun berlalu. Dengan mengendarai mobil tua milik Atan, mereka  menuju ke penginapan tempat Suharman menginap. Sebagai penghormatan, Atan ingin mengantarnya sampai ke depan lobi penginapan.

    ”Sudahlah, jangan pula kau nak mengantarku sampai ke dalam. Macam orang besar pula aku ni,” kata Suharman.

    ”Tak apalah, bila lagi aku dapat bersikap sedikit sopan pada tamu agungku ini.”

    Tapi kawan Atan itu bersikeras melarangnya. Akhirnya Atan mengalah juga.

    “Ya lah kalau begitu.”

    Lalu, Atan masuk kembali ke mobil. Kawannya pun masuk ke dalam, ke arah lobi hotel. Tiba-tiba dari dalam meskipun samar, nampak seseorang berdiri dari kursi dan bergerak ke arahnya. Kalau orang laki-laki mungkin Atan tidak terlalu terkejut, dan kalau Hamidah, istrinya yang selama ini Atan kenal, tidaklah heran sangat. Tapi, ini perempuan cantik yang dua bulan lalu pernah dilihat Atan berjalan dekat dengan Suharman saat Atan menjemputnya dari Batam. 

    Suharman memang selalu lewat Batam kalau mau ke Tanjungpinang. Katanya, tiket pesawat agak murah. Waktu itu Atan tidak terlalu peduli dengan perempuan cantik yang ada di dekat Suharman. Karena mungkin saja orang yang baru datang dari Batam  dan kebetulan berjalan bersama dengannya. Mereka pada saat itu memang tidak bercakap satu sama lain. Dan, berpisah di pangkal pelabuhan tanpa ada tegur sapa dan basa-basi layaknya orang yang saling mengenal. 

    Sial, pasti simpanannya, pikir Atan. Ini pasti gara-gara gonggong. Lalu, Atan pergi meninggalkan penginapan dengan hati yang puas karena terjawab sudah pertanyaannya yang menggumpal selama ini. Dan, itu alasan mengapa Suharman selalu ingin tidak diketahui keberadaannya. Agaknya takut tingkah lakunya disoroti orang dan sampai pula ceritanya ke telinga Hamidah di Pekanbaru.

    *****

    besurai=bubar

     

     

    Kreator : Syafaruddin

    Bagikan ke

    Comment Closed: Dua Dunia Atan part 12

    Sorry, comment are closed for this post.

    Popular News

    • Part 15: Warung Kopi Klotok  Sesampainya di tempat tujuan, Rama mencari tempat ternyaman untuk parkir. Bude langsung mengajak Rani dan Rama segera masuk ke warung Kopi Klotok. Rama sudah reservasi tempat terlebih dahulu karena tempat ini selalu banyak pengunjung dan saling berebut tempat yang ternyaman dan posisi view yang pas bagi pengunjung. Bude langsung memesan […]

      Okt 01, 2024
    • Part 16 : Alun – Alun  Kidul Keesokan paginya seperti biasa Bude sudah bangun dan melaksanakan ibadah sholat subuh. Begitupun dengan Rani yang juga melaksanakan sholat subuh. Rani langsung ke dapur setelah menunaikan ibadah sholat subuh. Tidak lama disusul oleh Bude dan langsung mengambil bahan masakan serta mengiris bahan untuk memasak. Rani dan Bude sangat […]

      Okt 16, 2024
    • Dalam dunia pendidikan modern, pendekatan sosial emosional semakin banyak dibahas. Salah satu model yang mendapatkan perhatian khusus adalah **EMC2 sosial emosional**. Namun, apa sebenarnya yang dimaksud dengan Definisi EMC2 sosial emosional? Mengapa pendekatan ini penting dalam pembelajaran? Mari kita bahas lebih lanjut untuk memahami bagaimana EMC2 berperan dalam perkembangan siswa secara keseluruhan. Definisi EMC2 Sosial […]

      Okt 02, 2024
    • Part 14: Kopi Klotok Pagi hari yang cerah, secerah hati Rani dan semangat yang tinggi menyambut keseruan hari ini. Ia bersenandung dan tersenyum sambil mengiris bahan untuk membuat nasi goreng. Tante, yang berada di dekat Rani, ikut tersenyum melihat Rani yang bersenandung dengan bahagia. “Rani, kamu ada rasa tidak sama Rama? Awas, ya. Jangan suka […]

      Sep 18, 2024
    • Part 13 : Candi Borobudur Keesokan harinya Rama sibuk mencari handphone yang biasa membangunkannya untuk berolahraga disaat Rama berada di Jogja. Rama tersenyum dan semangat untuk bangun, membersihkan diri dan segera membereskan kamarnya. Tidak lupa Rama juga menggunakan pakaian yang Rapih untuk menemui Rani hari ini. Sementara Rani seperti biasa masih bermalas-malasan di dalam kamarnya […]

      Sep 07, 2024

    Latest News

    Buy Pin Up Calendar E-book On-line At Low Prices In India After the installation is complete, you’ll have the flexibility […]

    Jun 21, 2021

    Karya Nurlaili Alumni KMO Alineaku Hampir 10 bulan, Pandemi Covid -19 telah melanda dunia dengan cepat dan secara tiba-tiba. Hal […]

    Des 07, 2021

    Karya Lailatul Muniroh, S.Pd Alumni KMO Alineaku Rania akhirnya menikah juga kamu,,,  begitu kata teman2nya menggoda, Yaa,,,Rania bukan anak.yang cantik […]

    Des 07, 2021

    Karya Marsella. Mangangantung Alumni KMO Alineaku Banyak anak perempuan mengatakan bahwa sosok pria yang menjadi cinta pertama mereka adalah Ayah. […]

    Des 07, 2021

    Karya Any Mewa Alumni KMO Alineaku Bukankah sepasang sejoli memutuskan bersatu dalam ikatan pernikahan demi menciptakan damai bersama? Tetapi bagaimana […]

    Des 07, 2021