ES MENJADI BUBUR
Sudah dua bulan lamanya Ayah Atan ke Pekanbaru. Pendidikan Polisi Pamong Praja, katanya. Itu loh polisi yang suka mengatur pedagang kaki lima. Polisi yang suka marah-marah sama orang yang buang sampah sembarangan. Sudah dua bulan juga Atan bersama Ibu membanting tulang guna menyara hidup mereka.
Seperti biasanya, ibu Atan tetap membuat roti bakar. Setiap pagi sehabis subuh, Atan menjajakan roti buatan Ibu ke rumah-rumah tetangga. Begitu matahari muncul di ufuk timur, Atan segera mandi dan mengantar roti ke warung Haji Harun. Pulangnya, tidak lupa singgah di pabrik es A Chuan di Pelantar Baru. Satu termos es kemudian bergayut di stang sepeda ontel yang dibawanya. Kerja keras yang dilakukan Atan dan Ibu adalah untuk memenuhi kehidupan mereka sehari-hari. Saat berangkat, Ayah Atan tidak meninggalkan uang belanja sepeser pun buat mereka.
”Tan, nanti kalau ke sekolah jangan lupa singgah rumah Mak Tih, ya. Bawakan daun pisang yang beliau pesan semalam.”
”Ya, Mak. Berapa harganya?”
”Kasih saja. Uangnya sudah dibayar semalam.”
Kemudian Atan berangkat ke sekolah sambil menenteng termos es dan daun pisang pesanan Mak Tih.
Sesampai di halaman sekolah, teman-teman telah mengerubungi Atan dan membeli es yang dibawanya. Memang es yang dijual Atan cukup enak. Es lilin namanya. Es yang berbahan baku santan dan gula ini begitu renyah. Harganya juga tergolong murah.
Lonceng tanda dimulainya pelajaran memecah hiruk pikuk warga sekolah. Anak-anak berhamburan menuju ke pintu kelas lalu berbaris rapi. Atan sibuk membenahi jualannya dan segera mendapatkan kelasnya. Ia berbaris di belakang teman-teman lelaki di kelasnya. Satu per satu murid masuk ke kelas. Atan masuk paling belakang dan meletakkan dagangan esnya di dinding dekat pintu.
Tidak berapa lama berselang, Bapak Abdul Kadir telah muncul di depan pintu. Langkahnya sedikit terhenti. Matanya tertuju pada termos es yang ada di dekat pintu. Kemudian pandangannya menyapu ke seluruh ruangan.
”Siapa punya?” tanya Bapak Abdul Kadir.
”Saya, Pak.” jawab Atan sambil berdiri.
”Taruk di luar!”
”Taruk di luar, Pak?” Atan bertanya untuk meyakinkan dirinya.
”Ya. Mengganggu!”
Dengan langkah yang lemah, Atan bergerak menuju termos es nya dan meletakkan di sebalik dinding bagian luar kelas. Kemudian kembali ke bangkunya.
Sepanjang pelajaran Bapak Abdul Kadir, pikiran Atan tidak fokus pada pelajaran yang dijelaskan. Sesekali lehernya dipanjangkan dan melihat ke arah jendela dekat dinding dimana esnya diletakkan.
”Kumpulkan!”
Terdengar suara Bapak Abdul Kadir mengagetkan warga kelas. Atan terkejut karena soal yang diberikan Bapak Abdul Kadir baru tiga dari sepuluh soal. Tiba-tiba terdengar suara sesuatu yang terjatuh di sebalik dinding dekat pintu.
Atan menghambur keluar. Sejenak dia tertegun. Termos esnya tumbang. Atan segera membuka penutupnya. Matanya terbelalak. Esnya telah berubah menjadi bubur es yang bercampur dengan kaca termos. Atan tidak kuasa menampung air matanya. Isak tangisnya tidak tertahan lagi. Dengan sesenggukan dia meratapi jualannya yang telah hancur.
Bapak Abdul Kadir keluar mendekati Atan. Diikuti teman-temannya yang juga penasaran ingin mengetahuinya.
”Mengapa, Tan?” tanya Bapak AbdulKadir.
”Es saya, Pak.”
”Ngapa es kamu?”
”Tumbang, Pak.”
”Mengapa sampai tumbang?”
”Tidak tahu, Pak.”
”Sudah…..sudah, ayo masuk… Masuk semua.” terdengar suara Bapak Abdul Kadir memecah kerumunan.
”Ayo Tan bawa ke dalam.” lanjut Pak Abdul Kadir.
Dengan langkah lunglai, Atan membawa termos es ke dalam kelas. Ada sedikit sesal di dalam hatinya saat membawa termos pecah ke dalam kelas. Sampai sekolah selesai, pikiran Atan tidak lagi terfokus pada pelajaran. Pikirannya hanya tertuju pada termos es yang pecah.
Siangnya setelah sampai di rumah, Atan menemui ibunya. Tangisnya pun terlepas tak terkendali.
”Ada apa, Nak?” tanya Ibu Atan.
”Es Atan, Mak. Pecah.”
’Es pecah biasa lah. Mengapa pakai nangis?”
”Bukan, Mak. Bukan es yang pecah.”
”Lalu apa? Tadi bilang es yang pecah.”
”Termosnya.” jawab Atan.
”Bagaimana bisa pecah?” tanya ibunya.
”Pak Kadir.”
”Apa?? Pak Kadir yang pecah?” tanya ibunya agak terkejut.
”Bukan, Mak.” jawab Atan.
”Lalu?”
”Pak Kadir yang suruh termos Atan diletak di luar. Biasanya di dalam. Tiba-tiba tumbang begitu. Tapi tak tahu mengapa sampai tumbang,” jelas Atan.
“Mak, macam mana Atan mau bilang sama A Chuan?”
”Sudah, tenang ya. Nanti Atan jujur saja sama A Chuan. Dia tentu maklum. Jangan buat alasan yang Atan tak pasti, ya. Kalau kita jujur pasti semua akan berjalan dengan lancar.”
”Ya, Mak. terima kasih, Mak.”
”Sekarang segera antar termos tu balik. Uang es yang laku diserahkan semua pada A Chuan. Jangan kau ambil dalal-nya.”
”Ya, Mak.”Jawab Atan sambil berlalu.
”Jangan lupa ambil rotinya sekalian di warung Haji Harun.”
”Ya, Mak.” jawab Atan dari atas sepeda ontelnya.
Tidak berapa lama bayangan Atan berlalu menghilang di tikungan jalan rumahnya menuju pabrik es A Chuan.
****
menyara = membiayai
taruk =letak
dalal = upah jual
Kreator : Syafaruddin
Comment Closed: Dua Dunia Atan part 2
Sorry, comment are closed for this post.