SAMPAN PERKASA
Sampan kecil itu terus melaju ke tengah laut di depan dermaga Sedanau. Terdengar kecipak air laut menepuk pinggiran sampan. Tiga orang anak dalam sampan itu sibuk dengan tugas mereka masing-masing. Sukijo anak jawa transmigrasi sibuk dengan dayungnya mengayuh dengan kuat. Khairul memperbaiki tali pancing yang masih kusut. Sementara Atan kebahagian tugas menimba air sampan.
Seperti biasanya mereka bertiga memancing di setiap hari minggu. Memancing ikan merupakan kegiatan rutin mereka untuk memenuhi lauk-pauk di rumah. Biasanya ikan yang dipancing cukup memenuhi kebutuhan ikan selama seminggu.
”Khairul…lah lom?” tanya Sukijo pada Khairul.
Khairul berdiri dan berjalan menuju ke haluan sampan. Tangan kanannya diangkat ke atas kening seperti orang menghormat. Lalu melihat ke kiri dan ke kanan.
”Lom Jo, kanan sedikit ya.”
Sukijo memperkuat dayung kiri dan menahan dayung kanan sehingga sampannya berputar mengarah ke kanan. Kemudian perlahan menuju pada posisi yang diinginkan khairul.
“Up…..up cukup. Kemarenkan kita disini ya yang dapat ikan cermin?” tanya Khairul sambil menurunkan sauh batu karang yang diambil di dekat tembok bak air rumah Kek Wha.
Sukijo hanya mengangguk, sebab dia sendiri kurang memahami dalam menentukan posisi yang tepat di tengah laut yang luas itu. Sementara Atan hanya mengikuti saja. Karena memang dia paling kecil dan tidak mengetahui apa-apa tentang keahlian memancing. Selanjutnya mereka sibuk mempersiapkan tali pancing mereka masing-masing.
Tidak berapa lama kemudian mereka telah sibuk dengan ikan yang menyambut umpan dari tali pancing yang mereka lempar. Khairul yang terlihat sangat ahli memasang dua tali pancing, satu di tangan kanan dan satu lagi dililit di jempol kaki kiri. Sekali-kali terlihat kaki kirinya bergerak ke dalam membalas pagutan ikan. Tangan kanannya juga sibuk menarik ikan yang memakan umpannya.
Sukijo yang berada di belakang juga tidak kalah sibuknya. Seekor ikan ketambak bara telah naik ke sampan. Wajahnya sumringah karena ikan ketambak merupakan ikan yang besar nilainya bagi pemancing di Sedanau.
Sementara Atan nampak tenang saja di tengah. Tali pancingnya terlihat kusut tak beraturan. Padahal baru dua ekor kerapu yang diperolehnya.
”Cik… Ada tali lain tak?” Tanya Atan pada Khairul.
Atan memanggil Khairul dengan sebutan Cik karena Khairul adalah Pakcik-nya, adik Bapaknya yang paling kecil.
”Ini ni, yang ini aja.” Jawab Khairul sambil menyerahkan tali di kaki kirinya.
”Terima kasih, Cik.”
Selanjutnya, suasana kembali hening. Sesekali terdengar suara gelombang menepuk dinding sampan. Sampan pun mengangguk-angguk bergerak kekiri dan ke kanan. Gerakan sampan yang dimainkan gelombang ternyata telah mengocok perut Atan. Sepertinya Atan mabuk laut. Sesekali kepalanya keluar di bibir sampan dan mencoba mengeluarkan isi perutnya.
”Khairul, liat tu.” terdengar Sukijo sambil menunjuk kearah belakang Khairul. Terlihat langit barat mulai menghitam.
”Tak apa. Takkan jadi tu.” jawab Khairul santai.
”Atan, buang tu air sampan. Nanti tau-tau penuh saja air tu.”
”Baik, Cik.” jawab Atan sambil membuka palkah dan mengambil gayung yang terbuat dari tempurung kelapa.
”Khairul! Lihat tu, awan hitam semakin tinggi.”
”Ya… Ya sudahlah, ayo kita berlindung dekat pulau itu.” jawab Khairul sambil menunjuk ke arah Pulau Selungus.
Belum selesai Khairul menarik sauh batu karangnya, suara angin telah menderu kencang. Angin barat telah mengucak air laut sehingga terlihat memutih.
” Ayo, Jo. Lekas dayungnya. Atan, kau tetap duduk di situ ya!” pekik Khairul.
“Sukijo, kita ke arah pelabuhan saja!”
”Apa?! Pelabuhan?! Tapi, pelabuhan tak nampak.” jawab Sukijo,
“Kita ke Selungus saja.”
”Jangan! Bahaya! Sampan kita nanti dihempas gelombang!”
Sementara Atan hanya berdiam mematung. Tangannya memegang bibir sampan. Mulutnya komat kamit seperti membaca mantra. Ya, dia memang membaca mantra.
“Tuk, Tuk. Anak cucu Atuk numpang lalu.”
Sebuah mantra turun temurun yang didapat dari kawan-kawan sekampung. Mantra yang dibaca jika melewati tempat angker.
Tiba-tiba sebuah ombak besar menghantam lambung sampan. Sukijo terpental ke belakang, tercebur ke laut. Dayung kanan patah. Khairul terlihat panik. Dilemparnya tali sampan ke arah Sukijo. Sukijo menggapai tali dan menarik dirinya ke arah sampan. Lalu kembali naik dan mencoba mendayung dengan menggunakan papan palkah sampan.
Atan ketakutan, wajahnya pucat. Mabuk laut yang dirasakan telah lenyap, tertutup oleh rasa takutnya.
“Mak. Ampun Atan, ya. Atan salah, tak dengar cakap Mak.”
Terlihat penyesalan di wajahnya. Memang Atan telah dilarang Mamak ikut karena cuaca yang tidak menentu.
Sukijo dan Khairul terus mencoba mengendalikan sampan mereka. Papan palkah sampan menjadi harapan satu-satunya mencapai dermaga. Khairul mendayung di depan, Sukijo di belakang. Atan masih tetap di tengah seolah-olah ingin menjaga keseimbangan sampan.
Ribut mulai reda. Perlahan matahari senja mulai menampakkan diri. Tidak terasa lebih dari satu jam mereka berjuang menyelamatkan hidup mereka. Samar-samar pelabuhan Sedanau terlihat dihadapan. Sebuah keajaiban mereka mampu mengatasi badai yang cukup besar.
”Atan, kau naik ke pelabuhan saja, ya.” kata Khairul pada Atan.
”Ya, Cik,” jawab Atan.
“Tapi, ngapa Cik?”
”Biar orang di rumah cepat tahu kalau kita selamat. Mak tentu gundah menunggu kabar kita. Sukijo dengan Cik langsung ke pian sampan.”
”Ya lah, Cik.”
Sampan merapat di pelabuhan. Atan naik melalui tangga pelabuhan. Kemudian berlari menuju rumahnya. Setelah berlari selama lebih kurang sepuluh menit, di ujung jalan terlihat seorang perempuan paruh baya terlihat berjalan cepat menyongsong ke arah Atan. Ya, itu ibunya Atan yang cemas menanti kabar dari laut. Atan menghambur ke dalam pelukan Emaknya. Rasa takut yang tadi terus menumpuk terlepas bersama suara isak tangis dalam pelukan ibunya.
”Sudahlah, Nak.” Ibu Atan mencoba menenangkan anaknya sambil mengusap rambut Atan yang semrawut.
”Maaf Atan ya, Mak.”
”Ya. Mana Cik dan Kijo?”
”Mereka ngantar sampan ke pian.”
Kemudian dua beranak itu pun berlalu. Suara adzan Maghrib mengikuti langkah mereka menuju rumah. Atan nampak gembira. Segala ketakutan yang dialami telah sirna dalam pelukan ibunya.
***
lom = belum
pian= bibir pantai
Kreator : Syafaruddin
Comment Closed: Dua Dunia Atan part 4
Sorry, comment are closed for this post.