’N’ KATUT
Nama kawan Atan yang satu ini cukup pendek, ”N” (en). Begitulah dia dipanggil. Tapi nama sebenarnya cukup panjang, Indra Putra Kelana Jaya. Tak tahu juga mengapa nama panggilannya sependek itu. Walaupun panggilannya sependek itu, pikirannya sangat panjang. Hampir semua kawan-kawan mereka kena tipu olehnya. Sehingga ada kawan yang ingin mengganti namanya menjadi ”katut” alias kawan tukang tipu. Tapi tidak sesuai karena nama astuti cocok untuk perempuan. Mohon maaf, tidak ada maksud menyinggung seseorang.
Atan dan N pertama kali masuk sekolah dasar pada tahun yang sama yakni 1972. Mereka bersekolah di SD Negeri I Sedanau. Dari kelas 1 sampai kelas 3 SD mereka masih bersama. Pada saat kenaikan kelas, Atan naik ke kelas 4, tapi sayang N tinggal kelas. Lalu oleh orang tuanya dia dipindahkan ke SD Negeri II Sedanau. Lama Atan tak berteman dengan N, karena sekolah mereka berbeda.
Pada bulan Januari tahun 1978 seharusnya Atan sudah duduk di SMP. Tapi gara-gara pernah tidak naik kelas 5, Atan masih di kelas enam. Dalam perjalanan kelas 6 SD, muncul kebijakan Daoed Joesoef, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan zaman Pak Harto yang menambah waktu belajar selama enam bulan, sehingga bulan Juli 1979 baru Atan masuk ke SMP.
Waktu Atan mendaftar kelas 1 SMP Si N kawan nya itu tidak ada dalam deretan siswa baru. Padahal SMP Cuma itulah satu-satunya di Sedanau. Tapi mungkin dia masuk MTs, pikir Atan. Ah, tak mungkin anak bandel seperti itu masuk sekolah agama. Selidik punya selidik rupanya N masih belum tamat SD-nya. Berarti sudah tahun ke delapan dia di SD.
Tahun berikutnya, N baru menjadi siswa baru di SMP Sedanau. Mereka kembali berteman. Atan kelas 2 dan N kelas 1. Meskipun berbeda kelas, pertemanan mereka berjalan dengan baik. Pada saat Atan naik ke kelas 3 ternyata N tidak naik kelas. Sebenarnya dia tidak terlalu bodoh. Tetapi malasnya itu tidak terkirakan. Setiap minggu pasti ada bolosnya.
Karena tidak naik kelas lalu dia pindah ke MTs. Kembali pertemanan mereka mengalami masalah. Jarang Atan berkumpul bersamanya. Itupun karena peringatan Ibu Atan yang takut Atan tertular penyakit malasnya N itu. Maka tidak banyak cerita tentang N setelah mereka berpisah sekolah.
Akhirnya, setelah menyelesaikan pendidikan SMP, Atan melanjutkan sekolah ke Tanjungpinang. Sekolah Pendidikan Guru atau SPG menjadi tempat selanjutnya Atan menimba ilmu. Kata Ayah Atan, kalau masuk SPG cepat kerja, cepat dapat membantu adik-adik yang berderet di belakang. Nasib anak tertua, pikir Atan. Namun, Atan menerima saran Ayahnya karena dia termasuk anak yang patuh pada orang tua. Jika patuh pada orang tua, maka akan selamat dalam mengarungi hidup ini.
Tidak terasa lima bulan sudah Atan berada di Tanjungpinang. Pada suatu hari, saat itu hari Minggu, Atan pergi mengambil jatah uang belanja bulanan dari Ayahnya di rumah Pak Ijaz di komplek SDN 8 Jalan Teuku Umar. Mereka, anak-anak Sedanau yang bersekolah di Tanjungpinang, biasanya mengambil uang dengan Pak Ijaz. Uang itu adalah gaji pegawai Sedanau yang dipotong di Tanjungpinang. Nantinya, di Sedanau, orang tua mereka akan menggantikannya pada bendahara gaji.
Tanpa diduga, Atan bertemu dengan N, kawannya di Sedanau itu. Ada rasa heran dalam benak Atan saat memandangnya. Apa N melanjutkan pendidikan di Tanjungpinang atau hanya sekedar jalan-jalan, pikir Atan. Tak mungkin dia melanjutkan pendidikan karena pasti belum tamat MTs. Ternyata benar, N dipindahkan orang tuanya ke Tanjungpinang dan masih bersekolah di SMPN 2 jalan Teuku Umar.
Pertemuan itulah pertama kali Atan ditipu oleh N. Waktu masih di Sedanau dia tidak dapat menipu Atan karena tak ada yang dapat dimanfaatkannya dari Atan, karena Atan memang tidak punya apa-apa.
”Tan, piwang rasanya kawan dengan awak ni,” kata N sambil memeluk Atan ketika itu, ”Dah berapa lama ya kita tak jumpa?”
”Apa pula, baru lima bulan.” kata Atan. Memang lima bulan, terakhir bulan Juni saat Atan mau berangkat ke Tanjungpinang. Sekarang bulan November. Dasar N pikir Atan.
”Oh ya, tapi rasanya lama betul.” kata N,
”Untuk merayakan pertemuan kita, kawan nak ajak awak nonton film.”
”Betul ni, dimana?” tanya Atan.
Selama di Tanjungpinang sekalipun Atan tak pernah nonton film. Padahal sejak di Sedanau dulu ingin sekali ia menonton film di bioskop. Di Sedanau sering juga menonton film, tapi layar tancap. Paling-paling ceritanya Pocong Benyamin. S, atau Begadang-nya Rhoma Irama sama Yati Octavia. Sekarang N kawannya itu mengajak menonton, kebetulan sekali, perai lagi pikir Atan.
Kemudian mereka menuju bioskop Mutiara dekat jalan Temiang. Kain reklame dapat dibaca dengan jelas film yang akan diputar siang Minggu itu, ’IRON OF FLAG’, itulah judul yang tertulis. Sebuah film silat cina yang dibintangi Chen Kuan Tai. N menuju loket, lalu memesan dua tiket. Disini proses penipuan terjadi.
”Aduh Tan, awak ada duit dulu tak?” tanya N pada Atan.
”Duit kawan tertinggal, kawan pikir tadi ada dalam kocek ni, atau pinjam dulu lah, bulan depan pakai duit kawan untuk kita nonton lagi.”
Atan bingung waktu itu, tiket sudah dipegang, keinginan menonton sudah memuncak, akhirnya duit yang tadi baru diambil di rumah pak Ijaz dikeluarkan juga sebesar Rp.1000,- untuk membayar dua tiket. Artinya, uang Atan sekarang tinggal Rp.14.000,-
Setelah selesai menonton akhirnya mereka pulang, eh belum. Masih ada penyiksaan batin selanjutnya. Atan dipaksa traktir makan lagi Rp.1000,-. Berkuranglah kini uangnya, dan tersisa Rp.13.000,-. Sesudah makan barulah mereka pulang. Sampai di tempat kos, Atan langsung membayar sewa kos, Rp. 10.000,-. Sisa uang Atan sekarang Rp.3000,- itulah yang akan Atan gunakan untuk sekolah selama sebulan. Sial benar Si N, pikir Atan. Setelah itu tak pernah lagi Atan bertemu N. Janji nonton ’bulan depan’ memakai uang N tak pernah terpenuhi.
*****
piwang =rindu, kangen
perai = gratis
Kreator : Syafaruddin
Comment Closed: Dua Dunia Atan part 6
Sorry, comment are closed for this post.