’N’ MASIH TETAP KATUT
Lama sekali Atan tidak bertemu dengan N temanku. Terakhir sekali waktu Atan tertipu menonton film di bioskop Mutiara jalan Temiang Tanjungpinang. Janji dia ingin membalas untuk nonton lagi tidak pernah terwujud. Sejak saat itu, lama mereka tak pernah berjumpa. Hampir 25 tahun, lama sekali. Sampai pada era reformasi, barulah nama N kembali terngiang di telinga Atan.
Tidak hanya sekedar terngiang tapi benar-benar berada di hadapanku duduk di tembok teras rumahku. Berkali-kali ku tatap wajahnya. Seolah-olah tidak percaya kalau di depanku ini adalah N yang dulu menipu ku. Tapi sudahlah, itukan cerita masa remaja yang penuh keceriaan.
Sebenarnya pernah sekali kami berjumpa di Sedanau. Tetapi ketika itu N sedang asik berbagi ilmu dengan masyarakat. Katanya ilmu tasawuf.
”Banyak murid awak N?” tanya ku ketika itu.
”Ada lah, Yang paling muda si Gafur.”
”Wah mantap, yang tua siapa?” tanya ku.
”Said Sunni.” jawab N seperti tidak ada beban.
”Apa N? Said Sunni itu murid awak? Sudah-sudah Atan tak nak dengar lagi, merapek sajalah awak tu.”
Itu saja pertemuan terakhir yang tanpa kesan mendalam kecuali kesan pemborak saja. Sebab selama ini Said Sunni terkenal orang alim dan memang tidak banyak mengajar agama kepada masyarakat. Tetapi kalau menjadi murid N itu namanya menyanyah.
Dan, hari ini dia muncul setelah sekian lama menghilang. Di era reformasi ini dia hadir kembali. Kami berbicara kesana-kemari menceritakan berbagai pengalaman yang hampir 25 tahun potong pertemuan sekitar 15 menit itu. N yang ada di depan hari ini sangat berbeda, pikir Atan. Masalah agama dari hablumminallah sampai hablumminannas. Masalah politik dikupas tuntas.
”Kawan sebenarnya nak balik Ranai,” kata N memulai pembicaraan waktu itu.
”Kawan nak bentuk partai baru di sana, sekarang kawan dapat mandat dari Sri Bulan Pamungkis,” kata N semangat.
Sri Bulan Pamungkis adalah salah seorang pendiri partai baru di Jakarta. Beliau adalah salah seorang pejuang reformasi tahun 1998.
”Mantap awak sekarang, N.” kata Atan.
”Tak sembarang orang dapat mandat untuk mendirikan partai di daerah ni, sementara awak dapat mandat tu dari Sri Bulan Pamungkis pula.”
”Rezeki yau, tapi anak bini kawan lagi sakit ni, sekarang di rumah….sakit,” kata N sambil memperlambat kata antara rumah dan sakit, ”jadi terkendala kawan nak balik ke Ranai.”
”Sudah di Rumah Sakit atau di rumah lagi sakit. Yang betul sikit lah cakap tu, awak bukan dapat dipercaya sangat,” kata Atan pada N.
”Masih di rumah,” jawab N tergagap.
”Mengapa tak bawa ke dokter?” tanyaku.
”Ayo kita ke rumah awak, bawa tu anak bini awak ke dokter.”
”Tak, tak usah lah. Dah nak sembuh,” kata N mengelak.
”Sial betul engkau ni, N!”
”Bukan begitu, rencana kawan nak bawa ke Rumah Sakit, tapi menunggu transfer uang dari Sri Bulan Pamungkis.”
”Apa? Sri Bulan Pamungkis mau mentransfer uang ke awak N?”
”Ya, untuk buat partai tu lah. Kawan dah jumpa Hajrin, beliau sangat menyokong, Abdul Kahar juga. Kemaren kawan jumpa Samat Abdillah, beliau siap membantu.”
Merinding juga bulu kuduk mendengar nama-nama orang yang dikenal N. Tapi, seingat Atan tak ada seperti itu. Siapa yang ingin membuat partai di daerah maka orang daerah yang menanggung biayanya. Tapi, ini Sri Bulan Pamungkis mau mentransfer uang untuk N guna membiayai pembentukan partai di Ranai. Wah hebat betul Sri Bulan Pamungkis, atau N yang hebat mampu menipu Sri Bulan Pamungkis. Atau sama-sama penipu saling tipu, atau, ah sudahlah.
”Katanya dua hari lagi uang itu akan ditransfer. Hari ini Senin, berarti Rabu nantilah uang tu datang,” kata N.
”Bagus lah, nanti obati dulu anak bini awak tu jika dapat duit tu,” kata Atan mencoba mengingatkan.
”Ya lah kawan pulang dulu,” kata N, ”Tapi, pinjamkan kawan duit dulu lah.”
”Duit apa lagi?” tanya Atan.
”Anak kawan nak bayar uang sekolah lah.”
”Berapa?”
”Tak banyak, seratus ribu saja.” kata N.
”Hah??!! Uang sekolah anak seratus ribu??!! Mana ada lagi bayaran sekolah dasar sekarang ini sebesar itu?! Mengacau lah awak ni, N. Sudah lah. ini sepuluh ribu.” kata Atan sambil mengambil selembar uang sepuluh ribuan dari dompet,
”Kawan tak minta dibalikkan kalau tak ada duit. Tapi kalau awak nak balikkan, tak apa lah, pasti kawan terima.”
Akhirnya, N keluar juga setelah menerima uang sepuluh ribu rupiah dari Atan. Dalam hati, Atan berkata, mengapa sifat N tak berubah dari dulu. Kalau mau merendah sedikit, tak apa juga lah. Tetapi, ini tidak. Cerita setinggi gunung, kenal orang sana, orang sini, sama Hajrin yang Bupati, Samat Plt Gubernur, Abdul Kahar yang pejabat tinggi di kantor Walikota, dan entah siapa lagi. Ujung-ujungnya masih pinjam duit dengan awak yang tak kenal dengan satu orang pun pembesar di tanah ini, pikir Atan. Pembual dan pembohong, katut tak pernah hilang dari dirinya. Mana lah mungkin nak selamat hidup.
Pemilu telah berlalu, tapi tak ku dengar N menjadi wakil rakyat. Atan sudah menduga N hanya membual saja. Manalah mungkin orang seperti N, tidak selesai SMP-nya dapat membohongi Sri Bulan Pamungkis yang guru besar. Seandainya itu terjadi pasti Indonesia telah heboh oleh berita besar, “INDRA PUTRA ALIAS N, SEORANG RAKYAT BIASA TIDAK TAMAT SMP MAMPU MEMBOHONGI SRI BULAN PAMUNGKIS’.
yau =kawan
pemborak =pembual penuh kebohongan
menyanyah = merenyeh
katut = kawan tukang tipu
Kreator : Syafaruddin
Comment Closed: Dua Dunia Atan part 7
Sorry, comment are closed for this post.