KARENA KIBLAT BERUBAH ARAH
Menurut keterangan ahli geologi, kerak bumi lempeng pasifik terus bergerak sekian sentimeter setiap tahunnya. Pergerakan itu telah menyebabkan arah kiblat wilayah Indonesia bergerak sedikit kekanan. Pernyataan itu telah menghebohkan masyarakat akan arah kiblat masjid di kampung mereka. Karena masyarakat terlihat gelisah, muncul kebijakan Kementerian Agama untuk menata kembali arah kiblat di setiap masjid di Indonesia. Begitu juga dengan masjid di kampungnya Sedanau, Natuna sana.
Menurut Adan, seorang teman yang tinggal di Sedanau, di masjid mereka telah terjadi kekacauan dalam setiap sholat berjamaah. Dalam satu shaf terdapat dua macam arah kiblat. Ada yang menghadap agak ke kanan sedikit kira-kira dua puluh derajat dari arah semula, dan ada pula yang tetap pada arah yang lama. Kan aneh kelihatannya. Adan tidak dapat berbuat banyak karena dia tidak begitu paham dengan pendapat orang-orang tersebut. Dia sendiri terpaksa mengikut orang tua-tua yang tetap pada pendiriannya menghadap ke arah yang lama jika yang shalat itu banyak orang tuanya. Sekali-sekali agak ke kanan mengikut orang-orang muda.
Adan, kawan Atan ini, memang hebat. Dulunya dia cukup terkenal di kampung karena pandai main gitar dalam salah satu grup band kampung. Tapi, setelah Atan tinggal merantau cukup lama, ternyata Adan berubah seratus delapan puluh derajat. Dia menjadi alim dan sekarang sudah menjadi salah seorang pengurus masjid pula. Beda sekali dengan Atan yang semakin hari terasa semakin jauh dengan ilmu agama. Tapi, bukan Atan tidak mengerti agama, cuma ilmu agamanya tidak pernah bertambah dari hari ke hari. Ilmu agama yang Atan miliki tidak lebih dari ilmu yang dia dapat di madrasah waktu masih di Sedanau.
Pada bulan Juli tahun 2010, Adan datang ke Tanjungpinang dan menginap di rumah Atan. Dengan panjang lebar dia bercerita kepada Atan. Seperti orang yang tahu segalanya, Atan menampung semua ceritanya, termasuk kasus arah kiblat. Padahal Atan sendiri tidak tahu apa-apa pasal arah kiblat ini.
”Macam mana pendapat kau, Tan?” tanya Adan saat mereka sedang berbincang di teras rumah.
Atan tergagap juga mendapat pertanyaan seperti itu. Mestinya Adan tidak bertanya hal itu padanya. Sebaiknya dia bertanya pada orang Kementrian Agama di kabupaten atau di kota. Ya karena kebijakan itu mereka yang membuatnya.
”Lah, jangan tanya aku, mana lah aku tau, sholat saja masih celang-celup. Kini mau memberi pendapat pula.”
”Mana lah tahu engkau ada pendapat, atau mungkin ada kebijakan orang Tanjungpinang ini yang engkau dengar. Dapat lah aku mengambil iktibar atau pelajarannya.” jawab Adan.
”Sebenarnya siapa yang tak ingin merubah arah kiblat di masjid kampung kita itu?” tanya Atan
”Imam Mu’in,” jawab Adan.
”Pak Mu’in yang anak perempuannya bernama Minah?”
”Betul, beliau tetap bertahan pada posisi kiblat yang lama.”
Sejenak Atan teringat dengan Minah, nama sebenarnya Aminah. Anaknya tidak begitu cantik. Pikiran Atan melayang pada saat berada di kampung. Saat bulan puasa mereka senang bermain pen, sejenis permainan seperti kejar lari duduk. Kegiatan itu dimainkan sambil menunggu saat sholat tarawih. Waktu itu orang kampung mereka sholat tarawih dimulai pukul sembilan malam. Pada saat sedang asik bermain, tiba-tiba Si Minah berteriak tapi lebih tepatnya menjerit. Kami semua terkejut. Rupanya ada seorang teman yang mencoba menangkap Minah, tangannya tersangkut pada anting-anting Minah sebelah kiri sehingga kuping minah koyak dan berdarah. Anehnya, kawan-kawan waktu itu bukannya sedih, tapi malah tertawa dan bersorak seperti orang kegirangan.
”Minah rabit, Minah rabit.”
Maksudnya kuping Minah koyak. Sejak itu, Minah dikenal dengan sebutan ’Minah rabit’.
”Hei, jangan menung!”
”Tidak, aku jadi teringat dengan Minah. Dimana dia sekarang?” tanyaku.
”Ranai. Sudahlah jangan tanya dia lagi.” Adan nampak sedikit kesal,
”Yang kuat nak merobah arah kiblat itu si Usman, kawan kita tu.”
”Hah?! si Us anak Pak Lah Janggut?!”
“Iya, dia sekarang sudah naik haji.” lanjut Adan.
“Sekarang sudah jadi guru di MTs.”
“Syukurlah akhirnya jadi pegawai juga kawan tu,” kata Atan.
Sebenarnya Atan merasa iri. Atan kenal betul dengan keluarga Usman. Mereka tidak terlalu kaya seperti keluarganya. Tapi sekarang dia sudah naik haji ke tanah suci. Sementara Atan masih seperti yang dulu, haji kulakalun, pakai songkok haji sudah, tapi ke Mekkah belum.
”Nah karena dia bekerja di bawah Kementerian Agama, makanya si Usman ini bersikeras mau merobah arah kiblat,” lanjut Adan.
”Tapi, Pak Imam Mu’in tak mau. Katanya dia takut sholat dia yang dulu tak sah karena selama ini kiblatnya salah. Bapak, Datuk, Moyang dia yang telah meninggal itu juga tak sah sholatnya karena selama ini kiblatnya keliru.”
”Apa jawab Usman?” tanya Atan.
”Usman telah menerangkan bahwa sholat yang dulu tetap sah karena arah kiblat yang diyakini waktu itu sudah benar. Sekarang sudah datang ketentuan yang baru maka ikutlah yang baru,” kata Adan.
”Terus keputusannya?”
”Ya seperti sekarang, yang tua menghadap ke arah lama, anak-anak muda menghadap ke arah baru.”
”Engkau sendiri?” tanya Atan pada Adan.
”Ya lihat orang ramai, sekali-sekali ke arah kiblat lama, sekali-sekali ke arah kiblat baru. Biar adil dan tidak memihak.”
”Wah, kacau.”
”Kacau macam mana?” berbalik Adan bertanya pada ku.
”Masalah agama tidak ada seperti itu Dan. Baik dan buruk, benar dan salah, halal haram jelas perbedaannya. Kalau dalam satu masjid berbeda arah kiblat, macam mana kita nak bersatu menentang yahudi?!” kata Atan berapi-api.
Setelah berkata begitu Atan terdiam. Heran juga, karena Atan bingung dapat berkata-kata seperti seorang pemimpin agama yang mengerti hukum. Malaikat mana yang melintas dalam kepala Atan waktu itu sehingga dia dapat berkata seperti itu.
Tiba-tiba handphone Adan berdering.
”Dari Usman di Sedanau,” kata Adan sambil melihat ke arah Atan.
Dia mendengar dengan seksama. Sekali-sekali terdengar kata ’ya’ dari mulutnya.
”Aku ikut saja Us, mana yang baik. Kalau semua sepakat, ya syukurlah. Pak Imam Mu’in macam mana?” Adan diam sejenak.
“Syukurlah, tak ada pertumpahan darah, tak ada acara bertikam, ha, ha, ha,” terdengar Adan tertawa.
”Ya, dua hari lagi kawan pulang. Ya, wa’alaikumsalam.” lalu Adan menutup handphone-nya.
”Apa katanya?” tanya Atan tak sabar.
”Aman.”
”Maksudnya?”
”Pak Imam Mu’in sepakat untuk merubah arah kiblat.”
”Secepat itu?” tanyaku lagi.
”Katanya ada orang dari Provinsi yang turun ke Sedanau dan memberi penjelasan.”
”Mengapa tak dari dulu? Semua nak menunggu orang atas angin. Seolah-olah kita tak mampu bermusyawarah. Aku yakin apa yang disampaikan oleh orang propinsi tu pasti sama dengan yang disampaikan oleh Usman. Cuma sikap orang tua kita yang tak mau mengalah dengan orang muda sehingga perkara yang mudah menjadi rumit.”
”Sudahlah, Tan.” kata Adan menenangkan Atan yang terlihat geram.
”Bukan begitu Dan. Kawan muak dengan sikap orang-orang kita tu. Kalau tak bertengkar dulu, macam tak sah semua urusan,” kata Atan pada Adan.
”Ayo kita pergi!” ajak Atan.
”Kemana?”
”Cari oleh-oleh untuk anak bini kau lah.” jawab Atan sambil beranjak pergi menuju ke mobil tuanya.
Dua hari kemudian, Adan pulang dengan kapal Pelni, KM Bukit Raya. Atan mengantarnya sampai ke pelabuhan Kijang. Terbersit juga rindunya pada kampung halaman.” Salam ya buat orang tua ku, kawan-kawan juga terutama Usman tu.”
”Pasti kawan sampaikan,” jawab Adan ketika mereka akan berpisah.
Seminggu kemudian, Adan menelepon Atan, katanya arah kiblat masjid di kampung mereka sudah berubah arah, lebih kurang dua derajat ke kanan. Astaghfirullah, ternyata dua derajat telah memecah belah persatuan orang kampungnya di Sedanau sana. Dua derajat itukan sangat kecil sekali, dan hampir tak ada perbedaan dengan arah kiblat yang lama. Tapi Atan masih masyghul karena ada kata ’lebih kurang’. Bisa-bisa arah kiblat akan kembali pada arah semula karena lebih kurang itu tadi. Kita tunggu kawannya si Adan suatu saat nanti menelepon dia.
****
celang-celup = sekali melakukan sekali tidak
Kreator : Syafaruddin
Comment Closed: Dua Dunia Atan part 8
Sorry, comment are closed for this post.