Sambil scroll ponselnya, Tasya berkata, “Guys, sadar nggak sih? Kita ini kayak zombie, bedanya, zombie nggak perlu charger. Kita roaming cuma buat ngejar likes.
Ardo tertawa dan membalas, “Zombie 2024, upgrade! Dulu zombie ngejar otak, kita ngejar views, sambil mikir aesthetic feed.”
“Ya, zombie nggak perlu mikir filter! Kita? Filter lebih lama dipilih daripada caption!” ujar Nindy dengan sedikit nada tinggi.
Moses tampak serius ketika ia berkata, “Iya, zombie nggak mikir lighting. Kita? Lebih takut sama foto jelek daripada ketemu zombie beneran.”
“Bener! Kalau ada zombie, kita malah cek dulu: “Lighting oke nggak?” sambil nunggu like,” balas Tasya.
“Harusnya ada filter zombie di IG. Bangun tidur tapi tetap fresh… setengah mati!” ujar Ardo.
“Perfect! Jam 6 pagi, orang selfie pakai filter zombie, Fresh, padahal cuma filter!” ketus Nindy.
“Serius nih, swipe-scroll itu bikin otak ketagihan dopamin. Otak kita seperti mesin slot, kayak dikasih permen tiap dapet notifikasi,” Moses berilustrasi.
“Jadi, bukan karena kitanya yang malas, ya? Tapi otak kita lagi disogok dopamin? Gitu?” Tasya tak percaya.
Nindy tertawa dan berujar, “Scrolling itu kayak judi. Nunggu post yang bikin ketawa, tapi yang ada malah cuma bikin kita stress!”
“Scrolling itu sama dengan gambling modern. Bedanya, kita nggak dapet uang, cuma dopamin dan punggung pegal,” balas Ardo dengan cerdas.
“Dan mata capek! Di Vegas dapet minum gratis, nah kalau kita, dapet lingkar hitam di mata!” sahut Tasya. Tapi dengan serius Nindy berkata, “Kalian pernah kepikiran buat detoks media sosial nggak? Soalnya kita tiap hari udah dicekokin hidup orang, sampai lupa sama hidup kita sendiri.”
“Betul! Media sosial bikin kita jadi suka dan malah terbiasa untuk bandingin diri kita sama hidup orang lain yang kayaknya sempurna di mata,” ujar Tasya.
“Hidup tanpa scroll? Tantangan lebih berat dari marathon, tuh. Dua minggu tanpa video kucing? Gimana bisa bertahan aku?” Ardo curhat.
“Mungkin justru di situ kita temuin makna hidup. Bisa lihat sunset tanpa ada acara harus posting di Instagram dulu,” Nindy membagi pencerahan.
“Atau nulis buku Menemukan Diri di Dunia Tanpa Scroll. Isi buku dikirim lewat pos, bukan DM,” ujar Moses.
“Kalau sampai ada tuh itu buku, langsung best seller! Eh, tapi dipromosikan pakai influencer, yah? Balik lagi ke medsos, dong!” Tasya teringat.
Ardo tertawa sambil membalas, “Dan datang ke acara launching, live-streaming acara detoks! Ironis banget!”
“Mungkin kita perlu bikin tantangan Dua Minggu Tanpa Scroll, biar belajar nikmatin hidup tanpa posting setiap detik,” Nindy punya ide.
“Yup, kita bisa bikin tren hidup tanpa like dan komentar. Siapa tahu lebih bahagia. Iya, nggak?” sahut Moses.
Tasya mengangkat cangkir kopinya seraya berkata, “Cheers untuk hidup tanpa scroll! Dua minggu tanpa posting makanan. Nah, lho!”
“Nooo! Siapa yang bakal kasih tahu kalau pancake-ku nggak estetik?” Ardo panik.
“Tenang, mungkin setelah dua minggu itu kamu bakal jadi seniman… atau chef Instagram sekalian!” Nindy menenangkan Ardo.
“Iya, zombie yang craving like dan komentar! Kita sudah terprogram kayak robot yang respon notifikasi,” balas Ardo.
“Sedikit bunyi ‘ting!’ aja, refleks langsung pegang ponsel. Cepat respon notifikasi lebih dari alarm kebakaran,” ujar Tasya menambahkan.
“NASA harusnya rekrut kita, bukan buat jadi astronot, tapi untuk tes kecepatan respon notifikasi di luar angkasa!” Ardo menunjukkan kecerdasannya lagi.
“Hah! Olimpiade cabang baru tuh, Kecepatan Merespon Notifikasi.” Medali emasnya bentuk love icon! Hahaha!” ujar Nindy sambil tertawa.
“Dan pemenangnya dapat followers organik. Influencer life: endorse produk random demi likes,” sambung Moses.
“Dan motto resminya: Jangan berhenti sebelum notifikasi berhenti. Siapa butuh piala kalau bisa dapet sponsor skincare?” tambah Tasya.
“Atau kita bikin aplikasi ‘NotiFast.’ Leaderboard global untuk yang paling rajin ngecek notifikasi. Siapa tahu kita bisa pecahin rekor dunia!” Ardo lagi-lagi memperlihatkan kejeniusannya.
“Atau bikin gelar Master of Multitasking Notifikasi. Scroll IG, Tweet, nonton TikTok sambil makan siang. Itu bakat yang patut dihargai!” tambah Nindy.
“Dan, setiap notifikasi yang kamu cek, kamu akan dapat poin karma digital. Di akhir hidup, bukan ke surga, tapi ke cloud storage abadi. Jenius nggak?” Moses tak kalah cerdas.
Sambil tertawa lepas, Ardo berkata, “Surga digital, tempat video kucing dan meme favorit diputar selamanya. Nirwana millennial!”
“Plus, nggak ada batasan kuota internet!” Nindy berseru.
“Betul! Video buffering cuma 0,001 detik. Nirwana buat semua pengguna medsos!” Moses tak kalah berseru.
“Jadi kesimpulannya, kita semua terperangkap dalam jaringan notifikasi. Hidup kita dikendalikan ‘ting!’ dan ‘bling!’ dari ponsel,” Ardo menyimpulkan.
“Tepat! Tanpa notifikasi, kita nggak tahu siapa diri kita sebenarnya,” Tasya menimpali.
“Detoks bukan cuma dari medsos, tapi dari semua notifikasi. Biar kita ingat rasanya hidup tanpa tekanan up to date,” ujar Moses.
“Hidup tanpa notifikasi? Mungkin di situ kita temui apa artinya jadi manusia, bukan zombie digital!” ujar Ardo sangat lugas.
“Atau… kita jadi gila karena nggak tahu apa yang viral selama lima menit terakhir!” Nindy berkomentar diikuti tawa lepas yang dilanjutkan obrolan dengan penuh semangat, sambil menikmati suasana kafe.
Pesan Moral:
- Kita Bukan Zombie, Tapi Zombie Digital:
Mirip zombie klasik yang mengejar otak, kita lebih tertarik mengejar likes dan views di media sosial. Bedanya, kita harus nge-charge setiap beberapa jam, karena menjadi “zombie” modern membutuhkan baterai yang penuh.
- Dopamin: Permen Gratis untuk Otakmu:
Setiap kali ada notifikasi, otak kita mengeluarkan dopamin. Ini seperti otak sedang diberi “permen” gratis setiap saat. Jadi, bukan kita yang kecanduan scroll, tapi otak kita kecanduan hadiah-hadiah kecil ini. Efeknya? Terjebak dalam siklus scroll tak berujung!
- Media Sosial = Mesin Slot Digital:
Scroll tanpa henti di media sosial itu mirip dengan bermain mesin slot di kasino. Kita terus menunggu postingan yang lucu atau menarik, tapi malah sering kali menemukan sesuatu yang bikin stres. Dan sayangnya, hadiahnya bukan uang, tapi… stres baru!
- Penampilan Virtual yang Lebih Penting dari Kehidupan Nyata:
Di dunia zombie digital, filter dan aesthetic feed lebih penting daripada kesehatan mental. Kita lebih takut postingan candid jelek daripada ketemu zombie beneran. Ironis? Tentu saja!
- Detoks Media Sosial: Tantangan Lebih Berat dari Maraton:
Menghabiskan dua minggu tanpa media sosial dianggap lebih sulit daripada lari maraton. Mungkin lebih menakutkan dari kiamat zombie. Tapi, mungkin dari detoks ini, kita akan menemukan arti hidup tanpa harus menunggu notifikasi baru.
- Scroll-lah Sampai Lelah! Bonus Paket: Punggung Pegal dan Mata Panda:
Hasil dari terlalu sering scrolling: bonus punggung pegal, leher kaku, dan lingkar hitam di bawah mata. Siapa yang butuh gym kalau scroll sudah bikin kita olahraga jari dan mental?
- Menjadi Master Notifikasi:
Jika kecepatan merespon notifikasi adalah olahraga Olimpiade, mungkin kita semua adalah calon pemenangnya. Poin bonus untuk mereka yang bisa multitasking: nge-Instagram, nge-TikTok, sambil makan siang. Itu bakat langka yang harus dihargai!
- Surga Digital: Nirwana Millennial:
Dalam surga digital, kita akan disuguhi video kucing tanpa batas dan bisa menikmati meme selamanya. Wi-Fi tak pernah lambat, dan semua video buffering hanya 0,001 detik. Kalau itu bukan mimpi setiap pengguna media sosial, aku nggak tahu lagi itu apa.
- Pencerahan Digital: Poin Karma di Dunia Maya: Semakin banyak kamu merespon notifikasi, semakin dekat kamu dengan “pencerahan digital.” Siapa butuh surga fisik kalau kamu bisa menuju cloud storage abadi tempat semua data dan meme tersimpan aman?
- Ironisnya Hidup di Era Scroll: Di acara “detoks media sosial,” kita malah live-streaming dan nge-post foto di Instagram. Ironis? Ya! Tapi di balik humor itu, ada makna besar: kita seolah-olah lebih hidup di dunia maya daripada menikmati hidup yang sebenarnya.
Kreator : Adwanthi
Comment Closed: Dua Minggu Tanpa Scroll: Apakah Kita Masih Manusia?
Sorry, comment are closed for this post.