Hari itu aku bangun lebih pagi dari biasanya. Langit Jakarta masih temaram, dan suara adzan subuh yang tertinggal di udara, seolah menjadi musik pengiring kegelisahanku. Ada perasaan asing, campuran antara degup yang tak menentu dan harapan yang samar.
Hari itu, aku akan bertemu seseorang yang selama ini hanya hadir dalam layar. Nama yang kukenal lewat email, sosok yang hidup dalam tulisan-tulisan panjangnya, cerita yang menyeberangi ribuan kilometer dari Eropa ke Asia.
Di depan cermin, aku menghela napas panjang. Aku bukan tipe orang yang suka bertemu banyak orang baru. Aku lebih sering merasa nyaman dalam ruang sepi, dengan bukuku. Tapi entah kenapa, untuk pertama kalinya aku ingin keluar dari zona itu. Seolah ada sesuatu yang menunggu untuk ditemukan.
Kami dikenalkan sepupuku yang kuliah di Belanda. Katanya, “Dia anak baik, adik kelas, satu kampus denganku, cuma beda fakultas.” Awalnya, aku tak menganggap serius. Namun email pertamanya tiba, panjang dan hangat, menceritakan kehidupan di negeri asing, daun-daun kuning yang gugur di musim gugur, salju pertama yang menempel di kaca jendela asramanya, sampai rasa rindu yang kadang menyergap saat malam.
Aku membalas singkat. Aku selalu singkat. Namun entah kenapa, ia tetap menulis panjang lagi, seolah tidak keberatan dengan keheningan yang kuberikan. Mungkin karena dia extrovert, atau mungkin karena dalam diriku ia melihat ruang yang bisa diisi.
Kami pun menjalin ritme: seminggu sekali, satu surat elektronik. Aku bercerita secukupnya, dia bercerita sebanyak mungkin. Dari jarak yang jauh, kami saling menemukan jeda.
Lalu tibalah hari itu: pertemuan pertama.
Hari pertama, kami makan siang dan berkeliling kota. Ia memandang Jakarta dengan mata seorang perantau yang kembali pulang, tetapi merasa asing.
“Lucu ya,” katanya sambil tersenyum.
“Di negeri orang aku rindu Jakarta. Tapi, saat di sini… aku merasa Jakarta bukan lagi rumahku.” Kata-katanya menempel di kepalaku lebih lama dari yang kusadari.
Hari kedua, kami menonton film. Aku duduk di sebelahnya, jarak kami hanya sehelai lengan baju. Aku mendengar tawanya, mencuri pandang saat ia serius menatap layar. Ada sesuatu yang berbeda di ruang gelap itu, rasa kedekatan yang tak terucapkan.
Hari ketiga, kami nongkrong di café. Waktu berlari begitu cepat, tawa kami seakan menunda kepulangan. Sesaat, aku lupa bahwa aku bukanlah sosok yang mudah membuka hati.
Hari keempat, ia datang ke rumahku. Aku tidak tahu mengapa aku mengizinkannya. Mungkin karena aku ingin menunjukkan padanya sisi yang lebih personal. Ia duduk di ruang tamu, mengobrol santai dengan orangtuaku, seolah sudah lama mengenal. Ada rasa yang aneh: aman, sekaligus menakutkan.
Empat hari itu singkat, tetapi meninggalkan jejak panjang. Namun kemudian, hidup kembali ke jalurnya: ia di Belanda, aku di Jakarta. Lalu aku pindah kantor, berganti email, nomor ponsel. Dan begitu saja, benang halus yang menautkan kami terputus. Tanpa salam perpisahan.
Tahun demi tahun berlalu. Aku menikah, membangun keluarga, dan lupa bahwa pernah ada seseorang yang menuliskan musim-musim Eropa untukku.
Hingga suatu sore, sebuah notifikasi muncul di media sosial. Nama itu. Nama yang sudah lama tenggelam. Aku membukanya, dan seperti pintu lama yang berderit, semua memori kembali.
“Apa kabar? Beberapa hari lalu aku bertemu sepupumu di bandara,” tulisnya.
“Aku tanyakan tentangmu. Dia bilang… kamu sudah menikah. Saat mendengarnya, rasanya seperti ada sesuatu yang runtuh di dalam diriku. Aku patah hati. Maaf, aku hanya ingin menuliskannya sekali, agar tidak terus menghantui kepalaku.”
Aku terdiam, menatap layar lama sekali. Hatiku berdesir, bukan karena cinta yang tersisa, melainkan karena rasa bersalah yang samar. Selama ini, aku mengira hubungan itu sekadar kebetulan.
Aku mengetik dengan hati-hati, seolah setiap huruf bisa menjadi luka atau obat.
“Terima kasih sudah menuliskan ini padaku. Aku tidak tahu bahwa pertemuan singkat kita begitu dalam untukmu. Jujur, aku pun menyimpannya dalam sudut hati, empat hari yang singkat, tapi hangat selamanya.
Aku minta maaf karena tiba-tiba menghilang. Saat itu aku pindah kantor, berganti alamat email dan nomor ponsel. Aku pikir, jika memang jalannya kita bersama, maka waktu akan menemukan cara. Ternyata, waktu membawa kita pada jalan yang berbeda.
Ya, aku sudah menikah. Mungkin kita bukanlah takdir, tapi kita adalah jejak yang saling menguatkan di masa lalu. Dan untuk itu, aku berterima kasih.”
Aku menutup laptop dengan tangan gemetar. Entah kenapa, air mata menetes, bukan karena rindu, tapi karena kesadaran bahwa aku pernah menjadi bagian dari hidup seseorang, tanpa benar-benar menyadarinya.
Beberapa hari kemudian, ia membalas.
“Terima kasih sudah menjawab. Aku sempat marah pada diriku sendiri karena menyimpan perasaan yang tak pernah sempat kuucapkan. Tapi setelah membaca jawabanmu, aku merasa lebih ringan.
Mungkin benar, kita hanya ditakdirkan untuk singgah sebentar. Aku menyadari, aku jatuh cinta bukan hanya padamu, tapi pada kehangatan yang kau bawa. Itu yang membuat kehilanganmu terasa berat.
Kini aku tahu, mencintai tidak selalu berarti memiliki. Kadang cinta hanyalah doa yang diam-diam terucap, bahkan saat orangnya sudah berjalan bersama orang lain. Dan aku akan tetap mendoakanmu, dengan tulus, tanpa penyesalan.”
Aku membaca kalimat itu, dan dadaku terasa penuh. Ada rasa haru yang tidak bisa dinamai. Cinta yang tidak jadi, tapi tetap suci.
Ada pertemuan yang ditulis bukan untuk selamanya, melainkan untuk mengajarkan kita arti kehilangan. Ada orang yang datang hanya untuk membuka ruang dalam hati kita, agar kelak kita lebih siap menerima cinta yang sejati.
Aku tahu kini, bahwa kisah singkat kami adalah jembatan bukan rumah. Namun jembatan itu tetap penting, karena tanpa jembatan itu, mungkin aku tak akan pernah belajar arti ikhlas.
Cinta tidak selalu berakhir dengan bersama. Kadang cinta adalah tentang merawat kenangan, mengizinkannya tetap hidup sebagai bunga kering di buku harian: tidak lagi segar, tapi tetap indah jika suatu hari dibuka kembali.
Kreator : Rosita Taher
Comment Closed: Empat Hari, Selamanya
Sorry, comment are closed for this post.