KATEGORI
  • Adat & Budaya
  • Agrikultur
  • Aksi
  • Arsitektur
  • Artikel
  • Asmara
  • Autobiografi
  • autobiography
  • Bahasa & Sastra
  • Berita Alineaku
  • Bisnis
  • Branding
  • Catatan Harian
  • Cerita Anak
  • Cerita Bersambung
  • Cerita Pendek
  • Cerita Rakyat
  • Cerpen
  • Cinta
  • Cita – Cita dan Harapan
  • Dongeng
  • Drama
  • Ekonomi
  • Epos
  • Event
  • Fabel
  • Fantasi
  • Fiksi
  • Gaya Hidup
  • Hiburan
  • Hobi
  • Hubungan Antarpribadi
  • Hukum
  • Humanis
  • Humor
  • Ilmu Manajemen
  • Inspirasi
  • Istri
  • Kampus
  • Karir dan Kewirausahaan
  • Keagamaan
  • Keluarga
  • Kesehatan & Kecantikan
  • Kesehatan Mental
  • Ketenagakerjaan
  • Kisa Masa Kecil
  • Kisah Inspiratif
  • Kritik Media
  • Kuliner
  • Legenda
  • Lifestyle
  • Lingkungan Hidup
  • Madhoe Retna
  • Manajemen
  • mengelola toko
  • Mental Health
  • Moralitas
  • Motivasi
  • Novel
  • Nutrisi
  • Nutrition
  • Opini
  • Organisasi
  • Otomotif
  • Parenting
  • Pemerintahan
  • Pendidikan
  • Pendidikan Karir
  • Pendidikan Keuangan
  • pengalaman hidup
  • Pengembangan Diri
  • Perjalanan Hidup
  • Pernikahan
  • Persahabatan
  • Pertemanan
  • Petualangan
  • Petualangan Alam
  • Pilih Kategori
  • Pilih Menu
  • Politik
  • Psikologi
  • Psikologi Sosial
  • Puisi
  • Romansa
  • Romantisme kehidupan
  • Rumah Tangga
  • Satir
  • SDM
  • Sejarah
  • Self-Acceptance
  • Self-Awareness
  • Seni & Budaya
  • Sosial
  • spiritual journey
  • Strategi
  • Teknologi
  • Tempat Wisata
  • Traveling
  • Uncategorized
  • Wanita
  • Beranda » Artikel » Empat Hari, Selamanya

    Empat Hari, Selamanya

    BY 24 Sep 2025 Dilihat: 10 kali
    Empat Hari, Selamanya_alineaku

    Hari itu aku bangun lebih pagi dari biasanya. Langit Jakarta masih temaram, dan suara adzan subuh yang tertinggal di udara, seolah menjadi musik pengiring kegelisahanku. Ada perasaan asing, campuran antara degup yang tak menentu dan harapan yang samar.

     

    Hari itu, aku akan bertemu seseorang yang selama ini hanya hadir dalam layar. Nama yang kukenal lewat email, sosok yang hidup dalam tulisan-tulisan panjangnya, cerita yang menyeberangi ribuan kilometer dari Eropa ke Asia.

     

    Di depan cermin, aku menghela napas panjang. Aku bukan tipe orang yang suka bertemu banyak orang baru. Aku lebih sering merasa nyaman dalam ruang sepi, dengan bukuku.  Tapi entah kenapa, untuk pertama kalinya aku ingin keluar dari zona itu. Seolah ada sesuatu yang menunggu untuk ditemukan.

     

    Kami dikenalkan sepupuku yang kuliah di Belanda. Katanya, “Dia anak baik, adik kelas, satu kampus denganku, cuma beda fakultas.” Awalnya, aku tak menganggap serius.  Namun email pertamanya tiba, panjang dan hangat, menceritakan kehidupan di negeri asing, daun-daun kuning yang gugur di musim gugur, salju pertama yang menempel di kaca jendela asramanya, sampai rasa rindu yang kadang menyergap saat malam.

     

    Aku membalas singkat. Aku selalu singkat. Namun entah kenapa, ia tetap menulis panjang lagi, seolah tidak keberatan dengan keheningan yang kuberikan. Mungkin karena dia extrovert, atau mungkin karena dalam diriku ia melihat ruang yang bisa diisi.

     

    Kami pun menjalin ritme: seminggu sekali, satu surat elektronik. Aku bercerita secukupnya, dia bercerita sebanyak mungkin. Dari jarak yang jauh, kami saling menemukan jeda.

     

    Lalu tibalah hari itu: pertemuan pertama.

     

    Hari pertama, kami makan siang dan berkeliling kota. Ia memandang Jakarta dengan mata seorang perantau yang kembali pulang, tetapi merasa asing. 

    “Lucu ya,” katanya sambil tersenyum.

    “Di negeri orang aku rindu Jakarta. Tapi, saat di sini… aku merasa Jakarta bukan lagi rumahku.” Kata-katanya menempel di kepalaku lebih lama dari yang kusadari.

     

    Hari kedua, kami menonton film. Aku duduk di sebelahnya, jarak kami hanya sehelai lengan baju. Aku mendengar tawanya, mencuri pandang saat ia serius menatap layar. Ada sesuatu yang berbeda di ruang gelap itu, rasa kedekatan yang tak terucapkan.

     

    Hari ketiga, kami nongkrong di café. Waktu berlari begitu cepat, tawa kami seakan menunda kepulangan. Sesaat, aku lupa bahwa aku bukanlah sosok yang mudah membuka hati.

     

    Hari keempat, ia datang ke rumahku. Aku tidak tahu mengapa aku mengizinkannya. Mungkin karena aku ingin menunjukkan padanya sisi yang lebih personal. Ia duduk di ruang tamu, mengobrol santai dengan orangtuaku, seolah sudah lama mengenal. Ada rasa yang aneh: aman, sekaligus menakutkan.

     

    Empat hari itu singkat, tetapi meninggalkan jejak panjang. Namun kemudian, hidup kembali ke jalurnya: ia di Belanda, aku di Jakarta. Lalu aku pindah kantor, berganti email, nomor ponsel. Dan begitu saja, benang halus yang menautkan kami terputus. Tanpa salam perpisahan.

     

    Tahun demi tahun berlalu. Aku menikah, membangun keluarga, dan lupa bahwa pernah ada seseorang yang menuliskan musim-musim Eropa untukku.

     

    Hingga suatu sore, sebuah notifikasi muncul di media sosial. Nama itu. Nama yang sudah lama tenggelam. Aku membukanya, dan seperti pintu lama yang berderit, semua memori kembali.

     

    “Apa kabar? Beberapa hari lalu aku bertemu sepupumu di bandara,” tulisnya.

    “Aku tanyakan tentangmu. Dia bilang… kamu sudah menikah. Saat mendengarnya, rasanya seperti ada sesuatu yang runtuh di dalam diriku. Aku patah hati. Maaf, aku hanya ingin menuliskannya sekali, agar tidak terus menghantui kepalaku.”

     

    Aku terdiam, menatap layar lama sekali. Hatiku berdesir, bukan karena cinta yang tersisa, melainkan karena rasa bersalah yang samar. Selama ini, aku mengira hubungan itu sekadar kebetulan.

     

    Aku mengetik dengan hati-hati, seolah setiap huruf bisa menjadi luka atau obat.

     

    “Terima kasih sudah menuliskan ini padaku. Aku tidak tahu bahwa pertemuan singkat kita begitu dalam untukmu. Jujur, aku pun menyimpannya dalam sudut hati, empat hari yang singkat, tapi hangat selamanya.

    Aku minta maaf karena tiba-tiba menghilang. Saat itu aku pindah kantor, berganti alamat email dan nomor ponsel.  Aku pikir, jika memang jalannya kita bersama, maka waktu akan menemukan cara. Ternyata, waktu membawa kita pada jalan yang berbeda.

    Ya, aku sudah menikah.  Mungkin kita bukanlah takdir, tapi kita adalah jejak yang saling menguatkan di masa lalu. Dan untuk itu, aku berterima kasih.”

     

    Aku menutup laptop dengan tangan gemetar. Entah kenapa, air mata menetes, bukan karena rindu, tapi karena kesadaran bahwa aku pernah menjadi bagian dari hidup seseorang, tanpa benar-benar menyadarinya.

     

    Beberapa hari kemudian, ia membalas.

     

    “Terima kasih sudah menjawab. Aku sempat marah pada diriku sendiri karena menyimpan perasaan yang tak pernah sempat kuucapkan. Tapi setelah membaca jawabanmu, aku merasa lebih ringan.

    Mungkin benar, kita hanya ditakdirkan untuk singgah sebentar. Aku menyadari, aku jatuh cinta bukan hanya padamu, tapi pada kehangatan yang kau bawa. Itu yang membuat kehilanganmu terasa berat.

    Kini aku tahu, mencintai tidak selalu berarti memiliki. Kadang cinta hanyalah doa yang diam-diam terucap, bahkan saat orangnya sudah berjalan bersama orang lain. Dan aku akan tetap mendoakanmu, dengan tulus, tanpa penyesalan.”

     

    Aku membaca kalimat itu, dan dadaku terasa penuh. Ada rasa haru yang tidak bisa dinamai. Cinta yang tidak jadi, tapi tetap suci.

     

    Ada pertemuan yang ditulis bukan untuk selamanya, melainkan untuk mengajarkan kita arti kehilangan. Ada orang yang datang hanya untuk membuka ruang dalam hati kita, agar kelak kita lebih siap menerima cinta yang sejati.

     

    Aku tahu kini, bahwa kisah singkat kami adalah jembatan bukan rumah. Namun jembatan itu tetap penting, karena tanpa jembatan itu, mungkin aku tak akan pernah belajar arti ikhlas.

     

    Cinta tidak selalu berakhir dengan bersama. Kadang cinta adalah tentang merawat kenangan, mengizinkannya tetap hidup sebagai bunga kering di buku harian: tidak lagi segar, tapi tetap indah jika suatu hari dibuka kembali.

     

     

    Kreator : Rosita Taher

    Bagikan ke

    Comment Closed: Empat Hari, Selamanya

    Sorry, comment are closed for this post.

    Popular News

    • Part 15: Warung Kopi Klotok  Sesampainya di tempat tujuan, Rama mencari tempat ternyaman untuk parkir. Bude langsung mengajak Rani dan Rama segera masuk ke warung Kopi Klotok. Rama sudah reservasi tempat terlebih dahulu karena tempat ini selalu banyak pengunjung dan saling berebut tempat yang ternyaman dan posisi view yang pas bagi pengunjung. Bude langsung memesan […]

      Okt 01, 2024
    • Part 16 : Alun – Alun  Kidul Keesokan paginya seperti biasa Bude sudah bangun dan melaksanakan ibadah sholat subuh. Begitupun dengan Rani yang juga melaksanakan sholat subuh. Rani langsung ke dapur setelah menunaikan ibadah sholat subuh. Tidak lama disusul oleh Bude dan langsung mengambil bahan masakan serta mengiris bahan untuk memasak. Rani dan Bude sangat […]

      Okt 16, 2024
    • Dalam dunia pendidikan modern, pendekatan sosial emosional semakin banyak dibahas. Salah satu model yang mendapatkan perhatian khusus adalah **EMC2 sosial emosional**. Namun, apa sebenarnya yang dimaksud dengan Definisi EMC2 sosial emosional? Mengapa pendekatan ini penting dalam pembelajaran? Mari kita bahas lebih lanjut untuk memahami bagaimana EMC2 berperan dalam perkembangan siswa secara keseluruhan. Definisi EMC2 Sosial […]

      Okt 02, 2024
    • Pancasila sebagai dasar negara Indonesia tidak lahir begitu saja. Di balik perumusan lima sila yang menjadi pondasi bangsa ini, ada pemikiran mendalam dari para tokoh pendiri bangsa, salah satunya adalah Soekarno. Pemikiran Soekarno dalam merumuskan Pancasila sebagai dasar negara menjadi salah satu tonggak penting dalam sejarah Indonesia. Lalu, apa saja pemikiran Soekarno tentang dasar negara […]

      Des 02, 2024
    • Part 14: Kopi Klotok Pagi hari yang cerah, secerah hati Rani dan semangat yang tinggi menyambut keseruan hari ini. Ia bersenandung dan tersenyum sambil mengiris bahan untuk membuat nasi goreng. Tante, yang berada di dekat Rani, ikut tersenyum melihat Rani yang bersenandung dengan bahagia. “Rani, kamu ada rasa tidak sama Rama? Awas, ya. Jangan suka […]

      Sep 18, 2024

    Latest News

    Buy Pin Up Calendar E-book On-line At Low Prices In India After the installation is complete, you’ll have the flexibility […]

    Jun 21, 2021

    Karya Nurlaili Alumni KMO Alineaku Hampir 10 bulan, Pandemi Covid -19 telah melanda dunia dengan cepat dan secara tiba-tiba. Hal […]

    Des 07, 2021

    Karya Lailatul Muniroh, S.Pd Alumni KMO Alineaku Rania akhirnya menikah juga kamu,,,  begitu kata teman2nya menggoda, Yaa,,,Rania bukan anak.yang cantik […]

    Des 07, 2021

    Karya Marsella. Mangangantung Alumni KMO Alineaku Banyak anak perempuan mengatakan bahwa sosok pria yang menjadi cinta pertama mereka adalah Ayah. […]

    Des 07, 2021

    Karya Any Mewa Alumni KMO Alineaku Bukankah sepasang sejoli memutuskan bersatu dalam ikatan pernikahan demi menciptakan damai bersama? Tetapi bagaimana […]

    Des 07, 2021