Di sebuah pusat kota di Kabupaten Lamandau, di bawah langit yang membentang luas dan hening, Hutama dan Fera menatap masa depan yang mereka rajut bersama. Mereka telah melintasi jarak ribuan kilometer, meninggalkan kampung halaman di Yogyakarta untuk membangun kehidupan baru yang penuh harapan dan tantangan.
Perjalanan merantau bukanlah sebuah keputusan mudah. Ia adalah langkah besar yang menuntut keberanian dan keteguhan hati. Hutama yang telah lama berkhidmat sebagai Pegawai Negeri Sipil di daerah itu, sering mengenang saat-saat pertama tiba. Suasana yang asing, adat budaya yang berbeda, hingga tantangan menjalani rutinitas yang jauh dari kenyamanan yang dulu ia miliki. Namun, di balik semua itu, ada tekad kuat yang membara: membangun masa depan yang lebih baik, bukan hanya untuk dirinya, tapi juga untuk orang-orang yang dicintainya.
Fera, yang mengikuti sang suami dengan sepenuh hati, merasakan perjuangan yang tak kalah berat. Meninggalkan keluarga dan kampung halaman bukanlah hal mudah, apalagi ia yang selama ini sudah nyaman hidup di Jogja. Namun, cinta pada Hutama dan keyakinan akan masa depan yang mereka impikan membuatnya kuat. Di tanah rantau, ia mengabdikan dirinya sebagai pegawai pemerintah dan juga menabur benih-benih kebaikan di tengah keragaman budaya.
Hari-hari mereka tidak selalu penuh kebahagiaan. Ada saat dimana rasa rindu menyerang, saat kesepian menyelimuti hati, dan ketika tantangan hidup terasa begitu berat. Namun, mereka memilih untuk tidak menyerah. Mereka percaya bahwa cobaan adalah bagian dari proses pendewasaan dan bahwa setiap tetes keringat yang jatuh adalah investasi untuk masa depan.
Mereka membangun sebuah rumah kecil, sederhana tapi penuh cinta. Rumah itu menjadi tempat di mana segala rasa berkumpul;tawa, tangis, harap, dan doa. Di dalamnya, mereka menumbuhkan harapan, bukan hanya untuk diri sendiri, tetapi juga untuk anak mereka yang kelak lahir di tengah perjalanan itu. Sang buah hati yang mereka nantikan menjadi simbol cinta dan pengorbanan mereka, cahaya kecil yang menerangi setiap malam gelap.
Hutama seringkali duduk di teras rumah, menatap langit dan merenung. Ia sadar bahwa rumah bukan hanya soal bangunan fisik, tapi soal tempat hati pulang dan menemukan ketenangan. Fera selalu ada di sisinya, menjadi pelabuhan yang aman dan penguat di kala ia goyah.
“Kita sedang membangun bukan hanya rumah, tapi juga masa depan,” kata Hutama suatu malam sambil menggenggam tangan Fera.
“Dan rumah itu, akan selalu penuh dengan cinta, walaupun jauh dari kampung halaman,” balas Fera dengan senyum hangat.
Di tanah rantau itu, mereka belajar banyak hal: arti kesabaran, pentingnya saling percaya, dan nilai kebersamaan yang tak lekang oleh waktu. Mereka juga mulai lebih aktif dalam komunitas, memberikan kontribusi untuk masyarakat sekitar. Bagi mereka, menjadi bagian dari perubahan berarti turut serta membangun kehidupan yang lebih baik, bukan hanya bagi keluarga, tapi juga bagi lingkungan.
Melalui komunikasi rutin dengan keluarga di Yogyakarta, mereka menjaga akar budaya dan nilai-nilai tradisi. Mereka percaya, identitas dan asal usul adalah fondasi yang harus dipertahankan, agar meskipun jauh, mereka tetap menjadi bagian dari sebuah ikatan yang kuat.
Perjalanan mereka mengajarkan sebuah kebenaran sederhana: bahwa kebahagiaan sejati tidak diukur dari seberapa jauh kita pergi, tapi dari seberapa dalam kita menanam cinta dan harapan. Hutama dan Fera telah membuktikan bahwa cinta dan kerja keras mampu melampaui segala batas, dan bahwa keluarga adalah tempat terhangat di dunia, tak peduli dimanapun kita berada.
Kini, di bawah langit malam yang bertabur bintang, mereka duduk bersama. Angin sepoi menghembuskan ketenangan, mengisi hati dengan rasa syukur dan damai. Mereka tahu, jalan di depan masih panjang dan penuh tantangan. Namun, dengan cinta yang menguatkan dan tekad yang tak pernah padam, mereka siap menapaki masa depan bersama.
Sepuluh tahun telah berlalu sejak Hutama dan Fera menginjakkan kaki pertama kali di Kabupaten Lamandau, sebuah tempat yang dulu terasa asing dan penuh tantangan. Kini, kota kecil itu telah menjadi rumah mereka yang sesungguhnya,tempat di mana mereka membangun keluarga, menanam mimpi, dan menuai hasil kerja keras selama ini.
Hutama, yang dulu hanya seorang pegawai negeri sipil muda dengan semangat besar agar bisa mutasi kembali ke Jogja, kini telah naik pangkat menjadi salah satu pejabat penting di instansi tempatnya bernaung. Kepemimpinannya dikenal bijaksana dan humanis. Ia tak pernah melupakan akar dan perjuangannya, sehingga selalu mengutamakan kesejahteraan pegawai lainnya, khususnya pegawai perantau seperti dirinya dulu.
Di balik kesibukannya, Hutama tetap menjadi suami dan ayah yang penuh kasih. Ia dan Fera selalu menyempatkan waktu bersama keluarga, menjaga kehangatan rumah yang telah mereka bangun dengan cinta.
Sementara itu, Fera yang dulu seorang PNS biasa kini telah dipercaya sebagai pemeriksa kepatuhan keuangan di Pemda tersebut. Dedikasinya dalam dunia keuangan dan birokrasi membuatnya menjadi sosok yang dihormati dan dicintai masyarakat. Fera juga aktif membimbing para ibu rumah tangga dan perempuan muda agar lebih mandiri, memulai usaha kecil dan mengembangkan potensi diri.
Anak mereka, yang dulu hanya bayi kecil yang menjadi harapan, kini tumbuh menjadi remaja yang cerdas, penuh rasa ingin tahu, dan berprestasi di sekolah. Ia mewarisi semangat kerja keras dan nilai-nilai keluarga yang diajarkan oleh orang tuanya.
Di tanah rantau ini, Hutama dan Fera tidak hanya berhasil membina keluarga yang harmonis, tetapi juga menjadi bagian penting dalam pembangunan dan kemajuan komunitas. Mereka membuka peluang usaha kecil-kecilan, memanfaatkan sumber daya lokal dan memberdayakan warga sekitar di bidang teknologi kreatif seperti digital marketing termasuk menggugah animo warga setempat untuk menjadi konten kreator yang menyuguhkan keragaman dan keunikan budaya di Lamandau.
Rumah sederhana yang dulu mereka bangun kini telah menjadi rumah penuh kebahagiaan, tempat berkumpul keluarga besar dan sahabat. Suasana hangat dan penuh cinta selalu terasa, menjadi sumber kekuatan bagi semua yang datang berkunjung.
Melalui buku ini mereka ingin berbagi cerita mengenai jalan hidup sebagai perantau, sukses mereka bukan semata tentang materi atau jabatan, tapi tentang bagaimana mereka membuktikan bahwa dengan keteguhan hati, cinta, dan kerja keras, sebuah keluarga perantau bisa tumbuh dan berjaya di mana pun berada.
Mereka menjadi contoh bagi banyak orang bahwa kesuksesan sejati adalah ketika kita bisa memberi manfaat bagi diri sendiri, keluarga, dan masyarakat sekitar. Bahwa tanah rantau bukan sekadar tempat mencari penghidupan, tapi juga ladang menanam harapan dan mewujudkan mimpi.
Dan sampai sekarang, mereka masih tetap menyempatkan pulang ke Yogyakarta dan ke Purworejo minimal setahun sekali untuk menyambung silaturahmi dengan keluarga besar,sekaligus bernostalgia dan mengenalkan kepada anaknya,siapa orang tuanya, dan bagaimana kisah masa lalu orang tuanya dulu, dan latar belakang ayah dan bundanya.
Kreator : Galih Satria Hutama
Comment Closed: Epilog: Membangun Cinta dan Harapan di Tanah Rantau
Sorry, comment are closed for this post.