Derasnya arus seakan tak berhenti menghantam jiwa yang rapuh. Dia melangkah dengan satu kaki untuk menyemangati dirinya sendiri, tatapan mengarah ke langit biru dengan kicauan burung pipit yang mengepakkan sayap mereka, beterbangan dengan riang. Awan putih berarak dengan bentuk yang beragam — ada yang menyerupai manusia, ada yang mirip jantung, dan ada pula yang menjulang bak gunung. Lamunan itu perlahan memudar, terbawa angin yang berbisik lirih, menyisakan getaran dingin di kulitnya. Dia hanya bisa menyimak apa yang mereka diskusikan tentang masa depan.
“Well… What’s your plan after this?” Tanya gadis itu pada gadis lainnya.
“Of course, I’ll enroll at my dream university,” balas gadis tersebut dengan wajah berseri-seri. Dia merenung tentang takdirnya. Takdir yang terasa enggan berpihak padanya.
“Ah..apa yang aku pikirkan? Bukankah aku harus memahami situasi saat ini? Mengapa aku terlalu memaksakan kehendak itu? Tidak…tidak…pasti ada saat yang tepat untukku,” gumamnya dalam hati. Beranjak dari pikiran kalutnya, dia meninggalkan suara-suara optimisme yang dipenuhi harapan dan kebanggaan yang bukan miliknya.
Sungguh berbeda tepakan kaki manusia, tiap hentakannya membawa kisah yang tak serupa, ada yang melangkah dengan keyakinan, ada pula yang terseret oleh beban. Namun, sayang, aroma arogansi melekat pada diri mereka, memandang rendah orang disampingnya seolah rongsokan yang tak terpakai. Sikap macam apa ini? Tingkah mereka telah menguasai hati dan pikiran mereka sendiri. Dia mencoba mengabaikan itu, meski batinnya terguncang oleh gelagat yang merendahkan. Sinisan itu dia simpan dalam diam, membiarkannya menjelma motivasi yang perlahan mengangkat wajahnya.
“Sudah pulang, Pak?” Tanyanya pada pria yang mengenakan pakaian dinas cokelat, berjalan tertatih-tatih, bertumpu pada tongkat besi yang setia menopang sisa-sisa kekuatannya. Dia mengulurkan tangan untuk meraih tas yang dibawa oleh bapaknya. Tas berwarna hitam itu dibekali makan siang yang sudah selesai disantap. Lalu, dengan sigap dia membantu membukakan sepatu dan menatanya rapi.
“Bapak mau istirahat dulu. Tolong cuci pakaian dinas Bapak, itu sudah kotor.”
“Oke, Pak,” sahutnya dengan nada lembut.
***
Semenjak bapaknya jatuh sakit, dia mengambil alih dalam mengurusnya. Sedangkan mamanya merupakan wanita karier yang tidak hanya memiliki tanggung jawab dirumah, namun juga di kantor. Kedua orang tuanya bekerja sebagai abdi negara, tetapi stroke yang menimpa bapaknya mengubah segala kehidupan mereka. Meski begitu, bapaknya memutuskan untuk tetap bekerja setelah menjalani perawatan medis dan terapi sehingga ada sedikit perubahan. Bapaknya sudah bisa mengayunkan kakinya walau harus bertumpu pada tongkat. Tugas rumah yang menjadi santapan kesehariannya tidak membebani dia untuk tetap merombak isi dari buku-buku itu. She never throws in the towel, no matter how hard things get. Wawasan menjadikan dia yakin bahwa akan ada waktunya untuk mendapatkan posisi terbaik. Impiannya tak pernah padam meskipun itu akan ditentukan oleh waktu.. hmm… Waktu terus berjalan seiring dengan putaran bola dunia. Kadang merenung, apakah dia sanggup bertahan? Banyak ocehan yang memanas pada pendengarannya… Apakah disengaja atau tak sengaja! Mereka seakan lupa akan karma, yang mereka inginkan adalah kepahitan itu terus menggempurnya.
***
“Sar…Sar… Ayo makan!” Getaran suara itu berdengung di telinganya.
Hidangan makan malam terlihat komplit di meja makan. Dua orang yang dicintainya menunggu, agar menikmati kelengkapan mereka untuk menyantap bersama. Matanya yang tengah asyik tenggelam dalam baris-baris pemberi ilmu, namun terpaksa tangannya pelan menggoreskan tanda di sudut kertas itu.
“Wah.. Enak ni, Ma. Lagi ada kegiatan di kantor ya, Ma?” Tanyanya.
“Iya. Maka dari itu, karena makanan tersisa lumayan banyak jadi Mama bungkus untuk dibawa pulang.”
“Hmmm… Bapak makan sup dan perkedel saja ya… Daging tak boleh!” Tegas Sarah.
“Sedikit saja,” sahut Bapak manja. “Bapak juga mau pengecap ini merasakan enaknya makanan mewah. Sudah dua tahun lamanya saya bersabar untuk makan seadanya.”
“Hahahha, kacian Bapakku ini. Hm, sepotong saja ya.” Gurau Sarah. Nampak senyuman itu pecah memenuhi ruangan makan. Terlihat sederhana, namun kebersamaan mereka menjadi pijakan yang dijunjung tinggi dalam menghadapi suka dan duka.
“Tahun depan Sarah harus lanjut, Ma. Bapak sudah lumayan pulih, jadi kita atur sebaik mungkin agar anak kita mewujudkan mimpinya,” ucap Bapak. “Bisa saja, Pak. Tapi, jangan ditentukan dulu. Kita belum tahu kedepannya seperti apa.” balas Mama, menyembunyikan keraguan yang terselip dalam suaranya. Sarah yang menempelkan telinga di balik pintu hanya menghela napas pelan. Dia tahu bahwa jawaban yang diutarakan oleh Mama seakan menunjukkan ketidakpastian.
***
Hari terus berlanjut, pergantian tahun tak menghiraukan senja ataupun fajar. Kegiatan rumah dilaksanakan seperti biasa. Rutinitas yang menemani Sarah untuk melupakan keadaan sesaat. Musik menjadi hiburan pada kesibukannya. Hari ini, Sarah ingin sekali membuat resep baru, bahannya pun sederhana. “Ahh…baguslah ada beberapa ingredients yang cukup di sini,” cetusnya ketika membuka white fridge.
“Kapan Sarah kuliah?”
“Anak pegawai kok tidak lanjut kuliah!”
“Kalah dong sama anak dari kalangan bawah.”
Kadang terbayang di benaknya ketika ucapan-ucapan konyol dilontarkan tanpa berperasaan. Seolah-olah impiannya bukan lagi miliknya sendiri, melainkan milik orang-orang yang merasa berhak menghakimi hidupnya.
“What was this? What were they thinking? Pikiran seperti apa yang mereka rancangkan untuk terus intervensi dalam kehidupanku!”
“Ma, tahun depan universitas impianku membuka pendaftaran, tersedia juga rincian biaya registrasi yang harus dibayar per semester serta beasiswanya.” Sarah dengan semangat mengirimkan pamflet pemberitahuan dari Universitas yang didambakan melalui chat kepada Mama.
“Iya sayang,” jawaban chat singkat dari Mama.
“Mungkinkah bisa tahun ini… atau nanti?” Sarah terduduk lesu bersimpuh di lantai. Tatapannya terkunci pada pamflet yang dia temukan dari Instagram. Kesabaran itu perlahan retak, sebab dihujam narasi tajam dari orang terdekat menjelma belati. Mengungkit perbandingan tak adil seakan dirinya hanya bayangan samar dari keberhasilan orang lain yang mendahuluinya.
“Aku seperti tak punya masa depan, Tuhan. Kesulitan hidup ini kapan berakhir, seperti tak ada cahaya untuk diriku,” curhatan keputusasaan melalui Doa pada Sang Kuasa.
***
Sarah memendam semua itu dalam beberapa tahun. Kenangannya tidak akan pernah terhapus oleh perlakuan maupun perkataan yang meruntuhkan. Hingga akhirnya, di tahun 2017, Bapak berpulang tanpa meninggalkan jejak, hanya kenangan yang terukir. Perencanaan tentang pendidikan yang sebelumnya dibahas, kini terbawa pergi bersamanya.
“Ingat, Sarah. Tidak perlu menyimpan bekas semua perkataan mereka, sebab kesusahan itu cuma kita dan Tuhan yang tahu. Biarlah mereka menari di atas penderitaan kita. Biarlah mereka menghujatmu. Doakan saja,” nasehat Mama.
“Tapi, aku tidak suka pandangan mereka, Ma. Mereka menganggap dirinya sudah luar biasa. Mama rasa kan, bagaimana mereka menunjukkan ular bengisnya?!” Jawab Sarah kesal. “Tapi, ya sudahlah. Itu hanya menambah gelombang di bahtera hidupku yang sudah terombang-ambing dalam kesuraman.”
“Sabar ya. Hidup memang harus melewati gulatan badai. Pasang surutnya akan sampai pada titik dimana kita akan memperoleh hikmah yang mengantarkan kejayaan hidup. Mama yakin kamu bisa, sayang! Tidak ada kata terlambat, karena yang menentukan berhasil dan tidaknya hidupmu hanya Pencipta Bumi ini dan dirimu sendiri.”
“Iya, Ma.”
Sarah merenungi setiap bait kata yang disampaikan oleh Mama, berdiri menampilkan dirinya di depan cermin sambil berucap, “I can… Yeah, I can get through this challenge! why not!”
***
Sarah mulai merangkai cerita hidup baru, mencoba berdiri menggunakan satu kaki. Sekarang, telah lengkap terisi dua kaki.
“Bagaimana skripsimu, Sar? Kapan nih naik ujian?” tanya gadis berambut ikal, badan tegap tinggi dan wajah oval, berhidung mancung yang telah akrab dengannya sejak awal perkuliahan. Sarah menoleh diam dengan tatapan tak bergairah sambil menggelengkan kepala. Lalu, temannya mengusap pundaknya seakan memahami apa yang terjadi.
“Sebenarnya apa sih maunya beliau? Kamu kan telah revisi beberapa kali. Seharusnya sudah layak untuk di-acc agar bisa ujian!”
“Ahhh…” tarikan napas sarah seolah mengilustrasikan ketidakberdayaan lagi.
“Padahal pembimbing satu telah memberikan persetujuannya. Berharap, itu juga akan diberikan oleh pembimbing dua,” balas Sarah.
“Hen,” lanjut Sarah. “Keinginan untuk mundur sudah terancang di benakku. Apa kamu tahu, Hen. Aku tidak bisa merebahkan tubuh ini dengan damai, sebab CPU di kepalaku terus berperang untuk menuntaskan revisi ini.”
“Aku paham situasimu, Sar. Seandainya itu terjadi di posisiku, pastinya aku juga akan mengatakan demikian. Tapi, satu hal yang aku tahu bahwa kamu bukan tipe orang yang mudah mundur. Kamu kuat, Sar! Aku yakin, ini bisa diselesaikan oleh kamu,” ujar Heni dengan tatapan penuh keyakinan.
Kemudian itu, sarah mengangkat wajahnya dan mulai mengetik bagian-bagian yang harus diperbaiki, suara hati kecil mendorongnya untuk tidak berputus asa. Seratus tiga belas halaman dirombaknya dalam semalam. Cahaya mentari yang menyelinap lewat jendela perlahan membangunkannya, seolah alam ingin berkata bahwa hari telah dimulai. Sarah, dengan gaya sik – saknya yang khas, mulai bersiap untuk berangkat ke kampus.
“Ma, aku berangkat ya,” pamit Sarah.
“Eh, tunggu dulu, Sar!”
Langkah itu sejenak terhenti. Lalu Mama mendekat dan kecupan manis melayang di keningnya sebagai tanda berkat agar ada titik terang.
***
Sarah tiba di kampus lebih awal meskipun janji temu dengan dosen pembimbing dua dijadwalkan pukul 09.00 WITA. Dia duduk di bangku panjang sambil menanti waktu yang telah ditentukan. Selang beberapa menit, sarah membuka pintu ruang dosen dan menyapa dosen pembimbing dua dengan santun.
“Good morning miss.”
“Morning,” jawab dosen pembimbingnya datar.
Kemudian, Sarah menyerahkan hasil revisi tugas akhir.
“Oh Tuhan, tolong bantu saya. Luluhkan hati beliau agar ada kepastian hari ini,” Doanya dalam hati. Sesekali, Sarah melirik halus ke arah dosen yang tampak serius meneliti lembar demi lembar skripsi miliknya. Napasnya ditahan, seolah takut mengganggu ketenangan ruangan itu.
“Oke, fix ya… Kamu bisa ujian,” ucap dosen pembimbingnya tegas. “Namun, saya minta jangan ambil schedule pagi karena saya ada kelas.”
“Baik, Miss. Terima kasih banyak,” jawabnya dengan suara lirih, menahan haru. Akhirnya, kesempatan itu datang juga.
“Aku… akhirnya ujian,” bisiknya pelan, seakan tak percaya. Suaranya bergetar, matanya mulai berkaca-kaca.
Tangannya gemetar saat menggenggam hasil skripsinya yang sudah dijilid rapi, jantungnya berdetak kencang, seakan ikut merayakan kebahagiaan yang selama ini tertahan.
Tanpa disadari, dia mengusap air mata yang bercucuran di pipi—bukan karena sedih, tapi karena bahagia. Bahagia karena perjuangannya tak sia-sia. Dia masih punya kesempatan untuk membuktikan diri.
***
Hari yang dinanti tiba. paparan terkait hasil skripsinya pada salah satu ruangan yang tertata rapi. Para Dosen dengan peran mereka mendengarkan dengan seksama, bentuk pertanyaan diajukan setelah paparan itu selesai. Dia dengan tenang menjawab setiap pertanyaan tersebut. Satu jam lebih berdiri di depan orang-orang hebat, tidak mengikis kepercayaan dirinya.
“Bagaimana hasil ujiannya sayang?” Terdengar suara Mama tak sabar.
“Puji Tuhan, semuanya baik dan aku memperoleh nilai yang memuaskan,” sahutnya melalui ponsel.
“Tuhan telah menjawab doaku,”
Dan, dari relung kelamnya dia berprinsip bahwa biarkan mereka berjalan maju dan aku perlahan melangkah. Mendahului bukan berarti mereka menang, sedangkan terbelakang bukan berarti tak ada harapan.
“Cie… yang sudah bergelar, namanya jadi makin panjang nih…Hehehe,” goda salah satu gadis yang juga ikut menyaksikan di ruangan penentu itu.
“Ahhh..biasa saja, cepat menyusul ya cantik,” ujarnya dengan senyum hangat, mencubit manja pipi gadis itu.
***
Di bulan Maret tahun 2024 menjadi momen bersejarah bagi Sarah. Dengan sibuk dia mempersiapkan diri–merias wajah dan mengenakan busana formal khusus untuk pencapaian dan akhir dari perjalanan panjang di bangku kuliah. Kebaya biru berkilauan yang dikombinasikan dengan tenunan berwarna magenta.
“Anak Mama terlihat berbeda hari ini,” sanjungan dari Mama dengan tatapan penuh takjub atas penampilan anaknya, sementara tangan kanannya mencolek manja dagu sarah.
“Mama juga nampak memesona,” balas Sarah.
***
Maria Evelyn Sarah Amorta, S.Pd. Yah, panggilan nama itu terdengar bergema. Dia melangkah anggun ke depan, dan seuntai senyuman mengiringi saat tali toga dipindahkan ke sisi yang baru.
“Mama bangga padamu, sayang!” Sambut Mama.
“Terima kasih, Ma.”
Tak ada kata yang mampu terucap selain rasa syukur yang membuncah, pelukan, dan ciuman. Dia resmi menyandang gelar dengan predikat PUJIAN, disertai GPA yang luar biasa.
“Kegigihanmu merajut harapan, kesabaranmu menahan luka, dan ketekunanmu menepis setiap hinaan yang pernah melukai. Semua ini bukan sekadar perjuangan, tapi takdir indah yang senyap telah tertulis sebelum kamu tahu cara mengejanya. Jadikan itu sebagai bentuk pencapaian.”
Kreator : Leny Fios
Part 15: Warung Kopi Klotok Sesampainya di tempat tujuan, Rama mencari tempat ternyaman untuk parkir. Bude langsung mengajak Rani dan Rama segera masuk ke warung Kopi Klotok. Rama sudah reservasi tempat terlebih dahulu karena tempat ini selalu banyak pengunjung dan saling berebut tempat yang ternyaman dan posisi view yang pas bagi pengunjung. Bude langsung memesan […]
Part 16 : Alun – Alun Kidul Keesokan paginya seperti biasa Bude sudah bangun dan melaksanakan ibadah sholat subuh. Begitupun dengan Rani yang juga melaksanakan sholat subuh. Rani langsung ke dapur setelah menunaikan ibadah sholat subuh. Tidak lama disusul oleh Bude dan langsung mengambil bahan masakan serta mengiris bahan untuk memasak. Rani dan Bude sangat […]
Dalam dunia pendidikan modern, pendekatan sosial emosional semakin banyak dibahas. Salah satu model yang mendapatkan perhatian khusus adalah **EMC2 sosial emosional**. Namun, apa sebenarnya yang dimaksud dengan Definisi EMC2 sosial emosional? Mengapa pendekatan ini penting dalam pembelajaran? Mari kita bahas lebih lanjut untuk memahami bagaimana EMC2 berperan dalam perkembangan siswa secara keseluruhan. Definisi EMC2 Sosial […]
Pancasila sebagai dasar negara Indonesia tidak lahir begitu saja. Di balik perumusan lima sila yang menjadi pondasi bangsa ini, ada pemikiran mendalam dari para tokoh pendiri bangsa, salah satunya adalah Soekarno. Pemikiran Soekarno dalam merumuskan Pancasila sebagai dasar negara menjadi salah satu tonggak penting dalam sejarah Indonesia. Lalu, apa saja pemikiran Soekarno tentang dasar negara […]
Rumusan dasar negara yang dikemukakan oleh Mr. Soepomo memiliki peran sangat penting dalam pembentukan dasar negara Indonesia. Dalam sidang BPUPKI, Mr. Soepomo menjelaskan gagasan ini dengan jelas, menekankan pentingnya persatuan dan keadilan sosial. Dengan demikian, fokusnya pada teori negara integralistik membantu menyatukan pemerintah dan rakyat dalam satu kesatuan. Lebih lanjut, gagasan ini tidak hanya membentuk […]
Buy Pin Up Calendar E-book On-line At Low Prices In India After the installation is complete, you’ll have the flexibility […]
Karya Nurlaili Alumni KMO Alineaku Hampir 10 bulan, Pandemi Covid -19 telah melanda dunia dengan cepat dan secara tiba-tiba. Hal […]
Karya Lailatul Muniroh, S.Pd Alumni KMO Alineaku Rania akhirnya menikah juga kamu,,, begitu kata teman2nya menggoda, Yaa,,,Rania bukan anak.yang cantik […]
Karya Marsella. Mangangantung Alumni KMO Alineaku Banyak anak perempuan mengatakan bahwa sosok pria yang menjadi cinta pertama mereka adalah Ayah. […]
Karya Any Mewa Alumni KMO Alineaku Bukankah sepasang sejoli memutuskan bersatu dalam ikatan pernikahan demi menciptakan damai bersama? Tetapi bagaimana […]
Comment Closed: Fajar Tersembunyi
Sorry, comment are closed for this post.