Bagi siapapun yang memulai biduk rumah tangga, menjejakkan kaki dalam dunia pernikahan, hendaknya sempatkan bertanya pada diri apa tujuan dari pernikahan itu sendiri. Bahkan, hendaknya pertanyaan ini pula penting dihadirkan kepada pasangan hidupnya.
Apakah tujuan menikah untuk mendapatkan keturunan?
Apakah tujuan menikah untuk mendapatkan ketenangan dari pertanyaan pertanyaan yang hadir dari orang sekelilingnya?
Ataukah membangun jembatan dengan berbagai lika likunya untuk menggapai ridho Allah?
Setiap pasangan pasti memiliki jawaban masing masing, yang tentunya menjadi motivasi yang terus dirawat dari waktu ke waktu untuk mewujudkannya.
Tapi, bagaimana jika tiap tujuan itu oleh Allah diletakkan ujian di dalamnya?
Ada sebuah kisah yang mungkin bisa direnungi dan diambil hikmah di dalamnya. Seorang fulan mengajukan pertanyaan ketika hendak meminang seorang gadis, dengan pertanyaan, “apakah kamu subur?” “di keluargamu apakah ada yang memiliki riwayat mandul?”. Tanpa terlebih dahulu mengajukan pertanyaan pengantar, semisal “apakah tujuanmu dalam pernikahan?”.
Dari pertanyaan fulan, sedikit dapat kita ambil kesimpulan bahwa salah satu orientasi pernikahannya adalah memiliki keturunan. Sah sah saja, karena setiap urusan harus diiringi dengan motivasi yang kuat untuk mewujudkannya. Lalu apakah ini tabu untuk dipertanyakan?, hemat penulis, hal ini kembali kepada masing masing individu. Karena dalam langkah meminang pun masih ada ruang bagi seorang laki laki maupun perempuan untuk berpikir ulang hendak melanjutkan atau tidaknya menuju jenjang lebih serius.
Banyak pembelajaran berharga dari ibadah panjang yang dilalui sepasang hamba dalam biduk pernikahan. Tidak ada rumah tangga yang sempurna, begitulah adanya pendapat dari setiap mereka yang telah menjalani pernikahan dengan pengorbanan yang besar di dalamnya.
Sejatinya anak, harta, pangkat, pasangan dan lainnya dalam pernikahan adalah jembatan yang dibangun untuk menggapai keridhoan Allah. Mahligai rumah tangga adalah jembatan menuju tujuan sejati, yaitu cinta Allah. Fase inilah yang terkadang terlupa, bahwa Allah menjadi tujuan utama dari segala galanya.
Jika mungkin di luar sana masih banyak orientasi pernikahan untuk urusan duniawi yang lebih utama. Tanpa kembali menelisik bahwa ada takdir Allah yang hendaknya diimani dan dijalani dengan penuh tawakal kepada-Nya.
Maka apa kabar perempuan yang oleh Allah ditahan rizkinya untuk hamil dan mendapatkan keturunan?
Maka apakah telah hilang tujuan dari pernikahan itu? Sehingga ia tidak memiliki kesempatan untuk dapat menyempurnakan setengah dari agamanya.
Maka dari itu, jika fase mencintai kita kepada Allah telah lebih dari segala galanya, melebihi kecintaan kepada makhluk yang diciptakan-Nya, maka atas izin-Nya lah kebaikan akan datang dari arah yang tidak pernah disangka. Sebaliknya, jika kecintaan kepada makhluk lebih tinggi dari sang Penciptanya, dengan itulah rasa keputus asaan akan hadir memenuhi ruang hati, hingga untuk mengais rasa syukurpun amat sulit mendapatkannya.
Kini marilah saatnya menyadari bahwa tujuan pertama hidup, tujuan utama pernikahan adalah cinta-Nya. Sekali lagi, dunia pernikahan, anak, pangkat, harta bahkan pasangan hidup adalah jembatan untuk mendapatkan cinta-Nya. Sehingga itulah yang akan mendatangkan rasa kesyukuran dari waktu ke waktu. Mengundang keberkahan dan ketenangan dalam biduk rumah tangga.
Selamat menempuhi fase mencintai-Nya. Teruslah saling mengingatkan, jika mula dari perjalanan pernikahan belum terbesit cinta karena-Nya, mulailah hari ini. Tidak ada yang terlambat mencintai Allah selama masih menjejak di bumi-Nya, tidak ada kata terlambat pula untuk sebuah pembelajaran dalam dunia pernikahan.
Wallahu a’lam.
Kreator : Diyah Laili
Comment Closed: Fase Mencintai Allah
Sorry, comment are closed for this post.