Sore yang cerah meliputi alam kampungku. Seolah sang surya enggan masuk ke dalam peraduannya. Dengan sinarnya yang mampu menembus lapisan-lapisan angin seakan ingin hangatkan dunia sepanjang hari. Seolah hendak berkata kepada sang rembulan, tenanglah kamu di ufuk sana.
Namun binatang sore tak mau mengerti. Sudah menjadi tradisi selalu bernyanyi di sore hari. Meski masih tampak sinar mentari kicauan burung hendak tidur di sarangnya sahut-sahutan memanggil anak-anaknya siap lelap dalam hangatnya istana peraduan.
Begitu pula si Jangkrik danTthongkeret. Kedua binatang kecil ini adalah binatang sore yang tak mau merubah adatnya pula. Dengan disiplin waktu yang telah tertata sore itu kompak bernyanyi sahut sahutan bak irama seruling iringi nyanyian burung berkicauan. Tetap tak peduli dengan hangatnya sinar mentari yang tak kunjung tenggelam.
Berbeda dengan manusia yang asyik dengan pekerjaannya. Seakan semua pekerjaan segera terselesaikan pada saat itu. Tanpa disadari hari terus bergulir semakin sore. Saat bekerja di sawah yang yang luas dan pemandangan alam yang indah membuatnya lupa akan waktu yang terus berubah. Hari semakin sore. Namun langit di ufuk barat masih tampak cerah. Pantulan sang surya merata menembus himpunan mendung yang berbaris tipis di depannya. Langit tampak cerah indah merona dengan waran orenz kuningnya bagaikan gradasi lukisan sang pencipta.
Pak Mani dan anaknya yang masih belia tetap asyik dengan pekerjaannya. Banyak yang bisa dikerjakan di sawah dengan banyak macam tanamannya. Pak Mani rajin menanam beraneka sayuran. Ada tomat, cabe, sawi, kangkung, lombok, dan bayam.
Anaknya yang terlatih sejak dini ikut bekerja di sawah membantu menyiram tanaman tersebut dengan gembira. Ikut bahagia melihat tanamannya yang hijau subur makmur dan menyenangkan.
Di tengah keasyikan mereka di sawah perhatiannya tertuju pada langit ujung utara yang tampak cerah. Anaknya yang rajin dan senantiasa taat pada orangtuanya ini tiba-tiba teriak memanggil bapaknya yang sedang membersihkan rumput di sela-sela tanamannya.
“Pak, Bapak… lihat tuh di sana.. ya Allah, Pak. Mendungnya bergerak beriringan kayak rombongan berjalan bersamaan Pak. Lihat tuh Pak bagus sekali. Kayak berjalan ada yang mengomando Pak, kayak ada yang ngasih aba-aba saja. Ya Allah Pak semakin bergerak dan semakin menggulung, Pak. Allahu Akbar, ya Allah bagusnya. Alhamdulillah, aku bisa menyaksikan keanehan dan keindahan. Ya Allah, Pak. Lihat tuh, Pak. Mendungnya semakin tenang. Tidak bergulung-gulung lagi, Pak. Membentuk tulisan, Pak. Masya Allah Pak, membentuk tulisan lafadz ALLAH. Masya Allah, Allahu Akbar. Aku bisa melihat sendiri, bisa menyaksikan sendiri, Pak.” Teriak Acah kepada bapaknya yang berada tidak jauh dari tempatnya berdiri.
Mendengar suara Acah yang begitu heboh dan ramai sendiri membuat penasaran siapapun yang mendengarnya. Begitu pula Pak Mani, dengan segera dia pun berdiri mendongakkan kepala, mengarahkan pandangan matanya menuju arah yang dikatakan anaknya. Sambil terus memperhatikan fenomena alam yang langka itu, Pak Mani membiarkan Acah terus bersuara mengidentifikasi kejadian yang dilihatnya.
Dalam hati pak Mani terus bertasbih dan bersyukur. Kalimat thoyyibah tak terhenti dari lisannya. Dengan suara lirih terus bertasbih, bertahmid, bertakbir, dan mengucap hamdalah. Tak mampu berhenti, tak mampu mengucap kata lain selain mengagungkan Dzat Yang Maha Agung. Dengan mata terus menerus menyaksikan proses istimewa itu, dia pun tak lupa memohon ampun dan membaca istighfar. Waktu sudah sore, saatnya untuk pulang tetapi masih tetap di sawah melanjutkan pekerjaan di sawah.
Pak Mani dan Acah terus bertakbir dan bersholawat. Benar-benar menyaksikan kejadian alam yang sangat istimewa.
Pak Mani mendekati anaknya yang masih terkagum-kagum melihat kejadian alam itu. Tak berhenti pula dari lisannya selalu mengucap kalimat thayyibah. Keduanya ternganga dengan keasyikan dan kekaguman masing-masing serta terbawa dengan puji syukurnya dan dzikir mereka masing-masing.
“Robbana maa kholaqta hadza bathila, subhaanaka faqinaa adzaabannaar. Yaa Robbi, tiadalah Engkau ciptakan semua ini dengan sia-sia, maha suci Engkau maka peliharalah kami dari siksa api neraka.” Ucap Pak Mani dengan lantang yang diikuti oleh Acah yang memang sudah hafal doa tersebut.
Pak Mani memanggil Acah, diajaknya segera berkemas untuk segera pulang. Dengan membawa peralatan bertani, mereka bergegas meninggalkan sawah. Sepanjang perjalanan pulang dalam hati mereka masih terkagum-kagum diselingi rasa takut. Pak Mani mempercepat langkah kakinya. Diikuti Acah yang berjalan setengah berlari di belakangnya. Pak Mani merasa berdosa karena hari sudah sore dan hampir masuk waktu maghrib tetapi tidak segera pulang untuk persiapan diri sholat maghrib berjamaah di masjid.
Sesampainya di rumah, Pak Mani segera membersihkan diri untuk segera melaksanakan sholat maghrib di awal waktu. Berbeda dengan Acah yang tak sabar menahan diri. Dia langsung menemui emaknya dan menceritakan fenomena alam yang luar biasa, melihat sendiri proses mendung bergulung-gulung membentuk tulisan lafaz “ALLAH” di angkasa. Acah bercerita penuh semangat dan berapi-api. Disambut oleh emaknya yang penasaran dan terbawa juga oleh ekspresi Acah. Mereka terus bergumam, masya Allah, subhanallah, allahu akbar, subhanallah. Dan doa memandang langit.
Kreator : Endah Suryani, S. Pd AUD
Comment Closed: FENOMENA ALAM
Sorry, comment are closed for this post.