KATEGORI
  • Adat & Budaya
  • Agrikultur
  • Aksi
  • Arsitektur
  • Artikel
  • Asmara
  • Autobiografi
  • autobiography
  • Bahasa & Sastra
  • Berita Alineaku
  • Bisnis
  • Branding
  • Catatan Harian
  • Cerita Anak
  • Cerita Pendek
  • Cerita Rakyat
  • Cerpen
  • Cinta
  • Cita – Cita dan Harapan
  • Dongeng
  • Drama
  • Ekonomi
  • Epos
  • Event
  • Fabel
  • Fantasi
  • Fiksi
  • Gaya Hidup
  • Hiburan
  • Hobi
  • Hubungan Antarpribadi
  • Hukum
  • Humanis
  • Humor
  • Ilmu Manajemen
  • Inspirasi
  • Istri
  • Kampus
  • Karir dan Kewirausahaan
  • Keagamaan
  • Keluarga
  • Kesehatan & Kecantikan
  • Kesehatan Mental
  • Ketenagakerjaan
  • Kisa Masa Kecil
  • Kisah Inspiratif
  • Kritik Media
  • Kuliner
  • Legenda
  • Lifestyle
  • Lingkungan Hidup
  • Manajemen
  • mengelola toko
  • Mental Health
  • Moralitas
  • Motivasi
  • Novel
  • Nutrisi
  • Nutrition
  • Opini
  • Organisasi
  • Otomotif
  • Parenting
  • Pemerintahan
  • Pendidikan
  • Pendidikan Karir
  • Pendidikan Keuangan
  • pengalaman hidup
  • Pengembangan Diri
  • Perjalanan Hidup
  • Pernikahan
  • Persahabatan
  • Pertemanan
  • Petualangan
  • Petualangan Alam
  • Pilih Kategori
  • Pilih Menu
  • Politik
  • Psikologi
  • Psikologi Sosial
  • Puisi
  • Romansa
  • Romantisme kehidupan
  • Rumah Tangga
  • Satir
  • SDM
  • Sejarah
  • Self-Acceptance
  • Self-Awareness
  • Seni & Budaya
  • Sosial
  • spiritual journey
  • Strategi
  • Teknologi
  • Tempat Wisata
  • Traveling
  • Uncategorized
  • Wanita
  • Beranda » Artikel » Gema di Ruang Hampa

    Gema di Ruang Hampa

    BY 22 Jul 2025 Dilihat: 14 kali
    Gema di Ruang Hampa_alineaku

    Ruang ini hampa. Bukan kosong dalam arti tidak ada benda, melainkan hampa dari makna, dari tujuan, dari setiap gema yang seharusnya ada. Aku duduk di tengahnya, di sebuah kursi kayu tua yang berderit setiap kali aku bergerak, dikelilingi oleh dinding-dinding bisu yang seolah menelan setiap suara, setiap nafas. Aku telah mencarinya. Mencari suara itu. Frekuensi yang hilang. Melodi yang tak terdengar.

    Namaku, ah, nama hanyalah sebuah label yang melekat pada kulit yang rapuh ini. Aku adalah seorang pendengar. Bukan dengan telinga, tapi dengan jiwa. Sejak kecil, aku selalu merasa ada sesuatu yang kurang, sebuah nada yang hilang dalam simfoni kehidupan. Dunia ini terlalu bising, terlalu penuh dengan suara-suara yang tidak berarti: deru kendaraan, obrolan kosong, tawa yang dipaksakan. Aku mendambakan gema. Gema dari kebenaran. Gema dari eksistensi.

    Aku telah menjelajahi tempat-tempat sunyi. Perpustakaan yang berdebu di mana kata-kata lama berbisik dari halaman-halaman yang menguning. Gereja-gereja kosong di mana doa-doa kuno masih menggantung di udara. Hutan-hutan lebat di mana angin berbisik rahasia-rahasia pohon purba. Aku mencari gema dari kehidupan yang telah berlalu, dari penderitaan yang tak terucapkan, dari kebahagiaan yang tak tergapai.

    “Kau masih mencari?” bisik sebuah suara, bukan dari luar, melainkan dari dalam diriku, dari setiap sel yang bergetar dalam kesunyian. Suara dia.

    “Tentu saja,” jawabku dalam hati, mataku terpejam, mencoba menangkap setiap getaran di udara.

    “Bagaimana bisa berhenti mencari ketika aku belum menemukan?”

    “Mungkin kau tidak akan menemukan. Mungkin tidak ada yang perlu ditemukan.”

    Aku tertawa, tawa yang kering, seperti pasir yang ditiup angin gurun. 

    “Tidak ada yang perlu ditemukan? Omong kosong. Ada sesuatu. Pasti ada. Sebuah gema yang akan menjelaskan segalanya.”

    Malam ini, aku berada di tempat favoritku: sebuah observatorium tua yang terbengkalai di puncak bukit. Kaca teleskopnya sudah pecah, kubahnya berkarat, dan angin dingin menyelinap melalui setiap celah. Di sini, di bawah langit yang hitam pekat, aku merasa paling dekat dengan apa yang kucari. Bintang-bintang di luar sana, mereka adalah gema dari masa lalu, cahaya dari miliaran tahun yang lalu. Tapi aku tidak mencari cahaya. Aku mencari suara.

    Aku duduk di lantai dingin, membiarkan kegelapan menelanku. Aku memejamkan mata, memfokuskan seluruh indraku. Aku mendengar hembusan angin, detak jantungku sendiri, dan kemudian, sesuatu yang lain. Sebuah bisikan. Sangat samar pada awalnya, seperti desiran daun kering. Tapi aku tahu itu bukan angin. Itu adalah sesuatu yang lebih.

    Bisikan itu perlahan tumbuh, membentuk sebuah melodi. Bukan melodi yang indah, bukan simfoni yang harmonis. Melainkan sebuah paduan suara dari suara-suara yang tak terhitung jumlahnya. Suara tangisan. Suara tawa. Suara jeritan. Suara bisikan rahasia. Suara-suara dari kehidupan yang tak terhitung jumlahnya, dari setiap makhluk yang pernah ada, dari setiap momen yang pernah terjadi.

    Aku gemetar. Ini dia. Ini yang kucari. Gema dari segalanya. Aku membuka mata, tetapi kegelapan tetap sama. Suara-suara itu memenuhi ruang, memenuhi diriku. Aku bisa merasakan setiap emosi, setiap penderitaan, setiap kebahagiaan yang pernah ada. Itu luar biasa. Itu juga menghancurkan.

    “Kau menemukannya,” bisik suara dia, kini berpadu dengan paduan suara gema itu. “Apakah ini yang kau inginkan?”

    Aku tidak tahu. Aku tidak bisa berpikir. Pikiranku dibanjiri oleh miliaran gema, setiap satu dari mereka menuntut perhatian, menuntut pengakuan. Aku merasa seolah jiwaku terkoyak, direnggut oleh lautan suara ini.

    Aku mencoba mencari sumbernya. Apakah ada pusat dari semua gema ini? Sebuah inti dari keberadaan? Aku memfokuskan pendengaranku, mencoba melacak asal-usul suara-suara itu. Aku mengikuti gema, melayang melalui waktu dan ruang, melewati kenangan-kenangan yang bukan milikku, melewati kehidupan-kehidupan yang tak pernah kujalani.

    Semakin jauh aku masuk, semakin dingin rasanya. Suara-suara itu mulai berubah. Tangisan menjadi lebih melengking, tawa menjadi lebih hampa, jeritan menjadi lebih putus asa. Dan kemudian, aku menyadarinya.

    Tidak ada sumber. Tidak ada inti. Semua suara ini hanyalah gema. Gema dari gema. Sebuah lingkaran tak berujung dari ketiadaan. Setiap suara yang kudengar, setiap emosi yang kurasakan, hanyalah pantulan dari pantulan, tanpa ada asal-usul yang nyata.

    Kebenaran itu menghantamku seperti gelombang pasang. Aku telah menghabiskan seluruh hidupku mencari makna, mencari suara, mencari gema yang akan menjelaskan segalanya. Dan yang kutemukan hanyalah konfirmasi bahwa tidak ada apa-apa. Bahwa semua ini hanyalah serangkaian gema yang tak berarti, tanpa sumber, tanpa tujuan.

    Aku tertawa. Tawa yang pahit, tawa yang penuh keputusasaan. Tawa yang kini bergema di seluruh ruang hampa ini, bergabung dengan miliaran gema lainnya, menjadi bagian dari paduan suara ketiadaan.

    “Kau mengerti sekarang?” bisik suara dia, kini terdengar begitu dekat, begitu nyata. “Ini adalah kebenaran. Kekosongan mutlak.”

    Aku tidak bisa lagi membedakan suaraku sendiri dari suara dia, atau dari miliaran gema lainnya. Aku telah menjadi bagian dari mereka. Sebuah gema di ruang hampa.

    Aku mencoba untuk bergerak, untuk bangkit, untuk melarikan diri. Tapi tubuhku terasa kaku, berat, seolah telah menyatu dengan lantai dingin observatorium ini. Mataku terbuka, menatap langit-langit yang berkarat. Aku tidak lagi melihat bintang-bintang. Aku hanya melihat kegelapan. Kegelapan yang menelan segalanya, termasuk diriku.

    Pagi tiba, membawa cahaya yang dingin. Tapi cahaya itu tidak menembus kegelapan di dalam diriku. Aku masih duduk di sana, di kursi kayu tua, di tengah ruang hampa. Aku tidak tahu apakah aku masih bernafas. Aku tidak tahu apakah aku masih hidup. Aku hanya tahu, aku mendengar. Mendengar gema. Gema dari kehampaan.

    Dan di tengah gema itu, aku mendengar tawa. Tawa yang dingin, hampa, namun juga penuh kepedihan. Tawa yang kini adalah milikku. Tawa dari dia. Tawa yang akan menemaniku selamanya. Tanpa akhir. Tanpa resolusi. Hanya kehampaan yang abadi, dan gema yang tak pernah berhenti.

     

     

    Kreator : Clown Face

    Bagikan ke

    Comment Closed: Gema di Ruang Hampa

    Sorry, comment are closed for this post.

    Popular News

    • Part 15: Warung Kopi Klotok  Sesampainya di tempat tujuan, Rama mencari tempat ternyaman untuk parkir. Bude langsung mengajak Rani dan Rama segera masuk ke warung Kopi Klotok. Rama sudah reservasi tempat terlebih dahulu karena tempat ini selalu banyak pengunjung dan saling berebut tempat yang ternyaman dan posisi view yang pas bagi pengunjung. Bude langsung memesan […]

      Okt 01, 2024
    • Part 16 : Alun – Alun  Kidul Keesokan paginya seperti biasa Bude sudah bangun dan melaksanakan ibadah sholat subuh. Begitupun dengan Rani yang juga melaksanakan sholat subuh. Rani langsung ke dapur setelah menunaikan ibadah sholat subuh. Tidak lama disusul oleh Bude dan langsung mengambil bahan masakan serta mengiris bahan untuk memasak. Rani dan Bude sangat […]

      Okt 16, 2024
    • Part 14: Kopi Klotok Pagi hari yang cerah, secerah hati Rani dan semangat yang tinggi menyambut keseruan hari ini. Ia bersenandung dan tersenyum sambil mengiris bahan untuk membuat nasi goreng. Tante, yang berada di dekat Rani, ikut tersenyum melihat Rani yang bersenandung dengan bahagia. “Rani, kamu ada rasa tidak sama Rama? Awas, ya. Jangan suka […]

      Sep 18, 2024
    • Part 13 : Candi Borobudur Keesokan harinya Rama sibuk mencari handphone yang biasa membangunkannya untuk berolahraga disaat Rama berada di Jogja. Rama tersenyum dan semangat untuk bangun, membersihkan diri dan segera membereskan kamarnya. Tidak lupa Rama juga menggunakan pakaian yang Rapih untuk menemui Rani hari ini. Sementara Rani seperti biasa masih bermalas-malasan di dalam kamarnya […]

      Sep 07, 2024
    • Part 12 : Cemburu Rama langsung memukul Jaka saat Jaka baru saja masuk ke ruang kerjanya Rama. Jaka yang meringis bukannya marah namun malah tersenyum terhadap Rama karena Jaka tahu bahwa Rama lagi cemburu terhadapnya. Rama males menjawab salam dari Jaka namun sebagai orang yang punya adab Rama harus menjawab salam dari Jaka dengan sopan. […]

      Sep 05, 2024

    Latest News

    Buy Pin Up Calendar E-book On-line At Low Prices In India After the installation is complete, you’ll have the flexibility […]

    Jun 21, 2021

    Karya Nurlaili Alumni KMO Alineaku Hampir 10 bulan, Pandemi Covid -19 telah melanda dunia dengan cepat dan secara tiba-tiba. Hal […]

    Des 07, 2021

    Karya Lailatul Muniroh, S.Pd Alumni KMO Alineaku Rania akhirnya menikah juga kamu,,,  begitu kata teman2nya menggoda, Yaa,,,Rania bukan anak.yang cantik […]

    Des 07, 2021

    Karya Marsella. Mangangantung Alumni KMO Alineaku Banyak anak perempuan mengatakan bahwa sosok pria yang menjadi cinta pertama mereka adalah Ayah. […]

    Des 07, 2021

    Karya Any Mewa Alumni KMO Alineaku Bukankah sepasang sejoli memutuskan bersatu dalam ikatan pernikahan demi menciptakan damai bersama? Tetapi bagaimana […]

    Des 07, 2021