“Loh, ya Allah, Nak!! Kenapa ini pundakmu?! Kok merah sebesar ini?! Ayo bilang sama Mama, Nak. Jangan diam saja. Ini loh di pundakmu sebelah kiri ada bekas selebar ini. Kamu gak ngerasain sakit, toh?” Pekik Mbak Dini melihat bekas warna merah di pundak anaknya.
“Coba Mama amati. Diam sini dekat Mama. Nah, ini bekas gigitan ini. ini ada luka bekas taring. Mbentuk lonjong ini sepenuh gigi. Siapa yang gigit kamu, Nak?” Tanya Mbak Dini.
Seketika itu dipegang anaknya dan dilepas bajunya untuk lebih leluasa mengamati.
Hatinya terasa ingin menangis. Mulutnya terasa ingin mengumpat. Rasa jengkel dan sakit hati mulai merambah. Badan terasa panas. Giginya gemeretak ingin membalas gigit siapapun yang telah menggigit anak semata wayangnya. Matanya mulai berkaca-kaca. Air menggenang perlahan semakin memenuhi ruang kelopak. Tak mampu menahan air yang semakin deras mengalir. Tumpah membasahi pipi yang tersembunyi di balik masker lusuhnya.
Dia menghela nafas panjang. Ditahan rasa hati dan mimik wajahnya. Dia terus berusaha tampil tenang di depan anaknya yang baru duduk di bangku Taman Kanak-Kanak itu. Dalam hati dia memaklumi pula, namanya anak-anak, mungkin sedang bergurau sehingga dia menggigit. Mungkin juga anaknya yang mengganggu dia sehingga dia menggigit.
Diamatinya luka tersebut dengan seksama. Seolah-olah menghitung jumlah bentuk gigi yang membekas di pundaknya. Seolah diukur kedalaman luka nya. Seolah dibandingkan kedalaman luka bekas taring dan luka bekas gigi gerahamnya.
Hatinya semakin remuk tatkala didapatinya terdapat empat bekas gigi taring yang cukup dalam menancap di pundak anaknya yang empuk.
Ingin rasanya menjerit. Ingin rasanya melabrak guru kelasnya, kenapa bisa sampai terjadi hal seperti ini. Dan, kenapa ketika ada kejadian seperti ini guru tidak mengkomunikasikan dengan wali murid yang bersangkutan. Ingin rasanya ia membentak gurunya yang lalai terhadap kewajibannya. Ingin juga rasanya melabrak anak yang menggigit.
Hatinya bertambah jengkel. Emosi semakin menjadi. Badan terasa semakin gemetar ingin lompat lari bertemu gurunya. Namun ditahannya semua itu. Dia terus berusaha tampil tenang di depan anak laki-lakinya. Dia ingin tunjukkan kepadanya sikap jantan, sikap kuat, sikap sabar, dan sikap pemaaf. Toh, luka tersebut tidak fatal. Toh si anak yang merasakan juga bersikap tenang dan tidak menangis. Tetap tenang dan tidak mengadu. Tetap tenang dan tidak menyimpan dendam. Kenapa mesti diajarkan sikap tak terpuji, pikirnya. Kenapa bukan dia yang belajar dari kesabaran dan ketenangan anaknya.
Perlahan dia usap air mata yang mengalir membasahi pipinya. Dibuka masker penutup mulut dan hidungnya. Tampak mulutnya komat kamit membaca mantra. Lalu ditiupnya luka tersebut. Lagi lagi mulutnya komat kamit. Terus dia membaca mantra. Lalu diusapnya luka tersebut dengan lidahnya. Dengan dijilat sebanyak tiga kali, dibasahi luka tersebut dengan air liurnya.
Anaknya yang sejak tadi diam seribu bahasa tiba-tiba bertanya kepada mamanya.
“Mama, kenapa ini pundakku? Diapakan sama Mama, kok terasa dingin?” tanya Reza kepada penasaran.
“Ini Mama obatin. Sudah biarkan kering sendiri. Jangan diusap, ya. Gimana rasanya? Masih sakitkah pundakmu?” tanya Mama dengan nada landai. Tampaknya dia sudah tidak emosi lagi. Dia berhasil menahan perasaannya yang bergejolak.
Namun rasa penasaran hatinya tak mampu ditahan. Walaupun sejak tadi ditanya anaknya diam saja, dia terus berusaha mencari keterangan dari anaknya sendiri sebelum bertanya kepada gurunya.
Dengan pelan dia bertanya, “Gimana rasanya pundakmu. Ada perubahan gak? Pundakmu masih sakit?”
“Sekarang sudah enak, Ma. Sekarang terasa dingin. Kalau tadi terasa panas, sakit rasanya sampai ke badan bagian bawah. Sekarang sudah tidak sakit lagi. Sekarang anyep dingin rasanya, alhamdulillah.” Jawab Reza yang baru dua minggu ini masuk sekolah TK.
“Alhamdulillah, kalau begitu. Tapi, bilang dong sama Mama. Siapa yang gigit kamu?” tanya Mama mencari tahu pelakunya.
“Itu loh, Ma. Temanku yang suka numpahin air di lantai terus disedot diminum itu loh, Ma. Dia suka gigit mainan sampai rusak. Tadi, tiba-tiba dia gigit aku dari belakang. Aku tidak tahu, tiba-tiba sudah pegang dan gigit pundakku.” Jawab reza menjelaskan.
“Oalah, dia itu memang anak berkebutuhan khusus. Mama tahu, dia namanya Nafi. Mama pernah kenalan dan ngobrol sama mamanya Nafi. Kasihan dia anaknya tidak seberuntung anak-anak pada umumnya. Dia memerlukan perhatian khusus. Maafkan ya, kamu gak boleh membalas gigit. Kamu gak boleh nakalin dia. Kasihan dia butuh teman, butuh sahabat dekat. Mungkin dia mau ngajak main kamu. Tapi, dia gak bisa ngomongnya. Makanya dia gigit itu mungkin maksudnya bergurau. Ya sudah lah kalau begitu, maafkan dia. Dan, kamu berdoa kepada Allah semoga bekas gigitan di pundakmu itu segera sembuh. Dan, doakan juga ya si Nafi semoga segera bisa normal seperti anak yang lainnya.” Tutur mamanya kepada Reza yang disambut dengan senyuman dan anggukan kepala.
Kreator : Endah Suryani
Comment Closed: GIGITAN EMPUK
Sorry, comment are closed for this post.