Dua hari yang lalu, tepatnya tanggal 25 November, kita selalu memperingati Hari Guru Nasional. Bertepatan pula dengan suatu peristiwa yang tak kan pernah bisa aku dan suami lupakan. Karena di tanggal tersebut, kami berdua kehilangan dua cahaya dalam rumah kami, dua orang yang merupakan guru kehidupan kami.
Tanggal 25 November 2013, Ibunda tercintaku meninggal dunia dan pada tanggal 25 November 2018, Ibunda mertuaku meninggal dunia pula. Keduanya adalah sosok yang sangat penting bagi kehidupan kami, karena mereka adalah guru kehidupan bagi kami berdua.
Ibuku adalah wanita cerdas yang tak dapat menikmati pendidikan sesuai dengan kemampuannya. Karena di zamannya, wanita hanya boleh mengenyam pendidikan hingga sekolah dasar saja. Ketika itu, sangat jarang wanita bisa mencapai pendidikan tinggi.
Sedangkan Ibu mertuaku, wanita cerdas yang beruntung mendapatkan beasiswa hingga sampai perguruan tinggi. Beliau adalah seorang da’i dan salah satu guru di pondok pesantren, tempatku menimba ilmu agama.
Setiap kali aku membicarakan tentang Ibuku, tak lengkap rasanya, bila aku tak menyertakan sosok Ibu mertuaku. Mereka berdua saling mencintai, saling menghormati satu sama lain. Usia Ibuku lebih tua sepuluh tahun dari Ibu mertuaku. Maka Ibuku bagaikan kakak baginya.
Mereka berdua aktif dalam sebuah organisasi masyarakat, di mana Ibu mertuaku adalah pembina, dan Ibuku anggotanya. Maka bagi Ibuku, sang besan adalah guru baginya. Karena itu, banyak orang yang kagum, sekaligus iri, melihat kemesraan mereka berdua.
Ibuku adalah guru kehidupanku, darinya aku belajar keramahan dan kepedulian terhadap sesama. Darinya aku belajar kesabaran melewati ujian berat, ketika terpaksa harus menjadi single parents, bercerai dengan Ayahku di saat aku masih kecil.
Ibuku sosok bersahaja baik ketika kaya maupun miskin. Semua orang mengenal beliau, sebagai sosok yang murah tangan, terhadap orang-orang yang tidak mampu. Dan ketika jatuh miskin, beliau tetap dihormati, karena tak pernah meminta-minta. Beliau menghidupi kami, dengan berjualan kue.
Sedangkan Ibu mertuaku, adalah samudera ilmu bagi kami, partner dalam aktivitas dakwah, teman diskusi yang asyik dan humoris. Beliau sosok karismatik, semangat berdakwah hingga di penghujung usia. Beliau menjadi da’i sejak usia tiga belas tahun, hingga berhenti beraktivitas enam bulan sebelum tiada.
Meskipun kepergian mereka telah cukup lama, namun setiap tanggal 25 November, seakan tergambar kembali detik demi detik kepergian mereka, yang menyisakan duka pada semua orang yang mengenalnya. Alangkah beruntung kami berdua memiliki Ibu seperti mereka, yang tak henti-hentinya menyemangati hidup kami.
Ibuku, yang senantiasa menyembunyikan kesedihannya, dan selalu berupaya membuat kami bahagia. Ibuku adalah pembasuh luka jiwa kami, beliau selalu tampil optimis agar kami percaya, bahwa semua akan baik-baik saja. Hanya kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, beliau ungkapkan kepedihannya. Dalam munajatnya, beliau sampaikan keluh kesahnya.
Sedangkan Ibu mertuaku, memberikan pelajaran berharga tentang nikmatnya hidup dalam naungan dakwah. Beliau tak henti belajar, dan sangat menghormati sesama rekan dakwahnya, meski secara keilmuan, jauh di bawah beliau. Kami salut akan sikapnya, sebagai pendengar, beliau sangat perhatian, walau pendapat itu dari muridnya.
Tak kan pernah aku kehabisan kata-kata, bila berkisah tentang dua mutiaraku. Mereka berdua akan selalu menjadi inspirasi bagiku, dalam tulisan-tulisanku. Suatu saat aku ingin membuat buku tentang mereka berdua, agar kisahnya abadi dan menginspirasi banyak orang.
Semoga keduanya ditempatkan di tempat terbaik di sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala . Ya Allah, ampunilah dosa keduanya, kasihilah mereka berdua sebagaimana mereka mengasihi kami di waktu kecil. Amiin ya Robbal alamiin…
Comment Closed: Guru Kehidupan
Sorry, comment are closed for this post.