Hari itu adalah salah satu hari di musim hujan yang sejuk. Saat aku berangkat ke sebuah tempat yang sudah tidak asing lagi bagiku. Tempat yang menyimpan banyak kenangan panjang dalam ingatanku. Bagaimana tidak? Ya, karena tempat di mana aku pernah menuntut ilmu. Aku bangga menjadi alumni di sekolah ini. Dan kini, aku kembali lagi untuk mengabdi sebagaimana yang pernah aku cita-citakan dulu.
Puji syukur aku ucapkan, atas segala apa yang telah Allah berikan. Aku lulus S1-PAI dan mendapatkan akta 4 dalam dunia pendidikan. Dengan begitu aku sudah boleh mengajar karena ada izin dari kampus. Ternyata, hal itu tidak semudah yang aku bayangkan. Saat aku memberanikan diri untuk melamar sesuai keahlian, susahnya minta ampun dan jawabannya selalu tidak ada lowongan. Sempat terlintas dalam benakku. Apakah mungkin karena aku tidak mempunyai orang dalam? Ya, karena aku hanya berbekal keyakinan dan kemampuan, serta ijazah yang aku pegang sebagai bahan pertimbangan.
Sesampainya di tempat itu, sepasang bola mataku mulai memperhatikan dan meneliti ke sekeliling. Dan, aku terkejut dengan apa yang kulihat, di sana berdiri bangunan yang bagus berlantai dua, bercat rapi dan lingkungannya pun bersih. Tidak seperti dulu masih satu lantai dan warna catnya pun hampir pudar.
***
“Assalamu’alaikum!”
“Wa’alaikum salam, iya, Bu! Ada yang bisa kami bantu?” sambut seorang gadis berpakaian putih biru dan berkerudung.
“Oh, iya Dek! Bisa bertemu dengan Bapak Kepala Sekolah?”
“ Iya, Bu! Silakan masuk, mumpung ada di atas, di ruang TU (Tata Uaha)”
Aku pun masuk setelah mengucapkan terima kasih.
“Assalamu’alaikum, Pak!”
“Wa’alaikum salam warahmatullah,” jawab seseorang yang berada di dalam yang tidak lain dan tak bukan adalah Pak Kepsek aku dulu. Masya Allah beliau terlihat masih muda saja. Aku begitu takjub melihatnya. Tatapannya yang bersih dan penuh wibawa, tersenyum padaku. Aku pun begitu segan kepadanya.
Aku senang, ternyata beliau masih mengenaliku. Ya, kenapa tidak? Karena memang aku penduduk asli sini dan aku di sekolah lumayan terbilang murid yang lumayan berprestasi. Bukan hanya di bidang akademik saja yang selalu mendapatkan peringkat tiga besar, juga saat mengikuti perlombaan antar kelas.
Kemudian beliau bertanya tentang kabarku dan bagaimana bisa membawaku kembali ke sekolah ini. Aku pun menjawab dengan berkaca-kaca seperti tidak percaya dengan semua ini. Aku masih bisa bertemu dengan para guru setelah hampir 10 tahun aku berpetualang. Hingga saat ini aku sudah mendapatkan seorang putri cantik, padahal dulu teman-temanku sering menyebutku perempuan jomblo.
Setelah kami berbincang-bincang cukup lama, aku memberanikan diri menyatakan tujuanku datang ke tempat ini, dan aku pun menjelaskan bahwa aku sudah lulus kuliah dan mendapatkan gelar S1, aku menyodorkan map yang berisi surat lamaran kerja beserta persyaratan lainnya.
Aku begitu percaya diri dengan gelar itu, karena waktu dulu gelar S1 memang paling tinggi di kampungku, karena tidak semua orang mempunyai gelar tersebut, sekalipun mereka orang kaya. Sedangkan aku yang berasal dari keluarga menengah ke bawah sudah bisa kuliah bagiku adalah suatu kebanggaan. Bahkan, para tetangga pun sempat heran dan mereka tidak menyangka bahwa aku anak si pedagang kaki lima mampu kuliah. Padahal mereka tidak tahu bagaimana perjalanan selama kuliahku. Yang bertungkus lumus penuh onak dan duri.
Setelah mengutarakan tujuanku dan tentunya sangat berharap bisa diterima di sekolah kebangganku ini. Tapi, sayang. Ditolak sih tidak, hanya saja tidak sesuai dengan ekspektasi. Aku menginginkan menjadi seorang tenaga pendidik yang sesuai dengan ijazah bukan sebagai tenaga kependidikan yaitu menjadi TU (Tata Usaha). Tapi, berhubung saat itu belum ada lowongan, dan kebutuhan hidup harus tetap terpenuhi. Akhirnya dengan sedikit kecewa aku pun mengambilnya aku pikir daripada tidak, itung-itung latihan dan pendekatan lagi dengan orang-orang sekitar.
Awal mula aku memutuskan untuk pulang kampung karena anakku tidak betah tinggal di perantauan, entah karena memang belum terbiasa atau memang sudah jalannya kami harus kembali ke kampung halaman untuk mengabdikan diri dan mewujudkan cita-citaku di sini, meski jalannya tidak semulus dengan yang aku pikirkan
Kami (aku dan suami) mengambil keputusan untuk benar-benar tinggal di kampung halaman, awalnya ragu karena di kampung sudah pasti susah untuk mencari pekerjaan terutama untuk suamiku sebagai tulang punggung keluarga.
Namun, kami tidak pernah putus asa, karena kami yakin Allah akan memberikan rezeki-Nya kepada setiap makhluk yang mau berusaha. Dulu, ketika kami kerja berdua di pabrik, penghasilan kami bisa mencapai lima juta per bulan. Tapi kini, uang dua puluh ribu saja per hari sudah Alhamdulillah.
Suamiku memang tidak mempunyai penghasilan tetap. Tapi, setiap harinya tetap berpenghasilan. Dan, Alhamdulillah, do’a itu yang selalu kami panjatkan agar selalu diberikan kecukupan.
Waktu terus berlalu, dan sampailah pada tahun pelajaran baru ketika aku menjabat sebagai TU.
***
Siang itu cuaca terik sekali. Para guru mulai berdatangan untuk mengadakan rapat untuk membahas program tahunan sebagaimana yang tertera pada undangan. Rapat akan dilaksanakan mulai pukul 09.00 s/d selesai.
Rapat pun berlangsung dengan lancar, dan sampailah pada sesi tanya jawab, mengenai pengaturan jam mengajar beserta alokasi waktunya. Siapa yang harus ditambah dan siapa yang harus dikurangi.
Pembagian jadwal mengajar pun dimulai, Ada yang banyak jumlah jamnya ada juga yang sedikit sesuai dengan ijazah dan kemampuannya. Dan guru S1-PAI di sekolah ini hampir mendominasi, sedangkan mengajar di sini harus linier dengan ijazah. Aku sudah mulai putus harapan, apakah tahun ini aku masih menjabat sebagai TU atau menjadi guru? Kemudian aku memberanikan diri untuk mengusulkan bahwa jika memang guru itu sudah kelebihan jam mengajarnya, kenapa tidak kalau jam-nya diberikan kepadaku karena masih satu linier denganku.
Mereka pun saling berpandangan, mungkin bagi mereka aku adalah anak bawang dan masih muridnya yang masih harus banyak belajar, padahal aku pun tidak berani jika sendainya tidak mampu dan tidak mempunyai ijazah. Aku mengikuti semua prosedur ini sesuai jalurnya dan tidak serta merta melamar.
Akhirnya Pak Kepsek dengan wakasek kurikulum itu sepertinya memberikan kode.. Kemudian memandangi salah satu guru yang akan diambil jam mengajarnya, yang kemungkinan akan diberikan kepadaku. Setelah mendapatkan persetujuan, aku begitu senang dan hatiku pun merasa lega. Dengan begitu cita-citaku menjadi seorang guru akhirnya tercapai.
“Alhamdulillah, … terima kasih, ya, Allah,” ucapku lirih.
“Bu Alya,… Memang mau bertahun-tahun mengajar dengan jumlah jam hanya 7 jam saja dalam satu minggu?” tanya salah seorang guru seolah memojokkan, yang membuat dadaku terasa sesak, ingin sekali menjerit.
Padahal baru saja aku merasakan kebahagiaan. Tapi, tidak lama kemudian disusul dengan kata-kata yang begitu menyakitkan dan pastinya akan terus terekam diingatanku paling dalam.
Tapi, aku berusaha menahannya, semoga ini menjadi bahan lecutan agar aku mampu dan semakin kuat dalam menjalani profesi baruku menjadi seorang guru.
“Inilah nasib seorang guru pemula,” lirihku kemudian menarik napas dalam dan mengembuskannya dengan perlahan. “Astaghfirullahal’adzim,” ucap aku pilu.
“Bismillah, aku harus bisa, aku harus kuat dan aku akan membuktikan bahwa tidak ada yang bisa melemahkan aku kecuali atas seizin Allah,” mantapku dalam hati.
***
Aku mulai membagi tugas dengan suami. Ketika aku berangkat ke sekolah pagi sampai siang suamilah yang mengurus sang bayi. Dengan begitu dia tidak keluar mencari nafkah. Dan saat aku ada di rumah, suamilah yang keluar mencari nafkah dari siang hingga sore, kadang kalau hari itu belum mendapatkan uang dia berangkat lagi hingga pulang dengan membawa tentengan makanan untuk kami santap. Sedangkan putri kami yang masih bayi harus terus meminum susu formula sampai ia berusia 2 tahun.
Kami tidak membayangkan sebelumnya kalau ternyata gaji sebagai karyawan pabrik dan guru honorer bagaikan bumi dan langit. Namun, karena dorongan yang kuat dari suami juga cita-citaku sedari SD, akhirnya dengan penuh kesabaran aku tetap menjalaninya, meski dengan tertatih-tatih kadang merintih memikirkan nasib sebagai guru pemula.
Kreator : Ai ILawati
Part 15: Warung Kopi Klotok Sesampainya di tempat tujuan, Rama mencari tempat ternyaman untuk parkir. Bude langsung mengajak Rani dan Rama segera masuk ke warung Kopi Klotok. Rama sudah reservasi tempat terlebih dahulu karena tempat ini selalu banyak pengunjung dan saling berebut tempat yang ternyaman dan posisi view yang pas bagi pengunjung. Bude langsung memesan […]
Part 16 : Alun – Alun Kidul Keesokan paginya seperti biasa Bude sudah bangun dan melaksanakan ibadah sholat subuh. Begitupun dengan Rani yang juga melaksanakan sholat subuh. Rani langsung ke dapur setelah menunaikan ibadah sholat subuh. Tidak lama disusul oleh Bude dan langsung mengambil bahan masakan serta mengiris bahan untuk memasak. Rani dan Bude sangat […]
Part 14: Kopi Klotok Pagi hari yang cerah, secerah hati Rani dan semangat yang tinggi menyambut keseruan hari ini. Ia bersenandung dan tersenyum sambil mengiris bahan untuk membuat nasi goreng. Tante, yang berada di dekat Rani, ikut tersenyum melihat Rani yang bersenandung dengan bahagia. “Rani, kamu ada rasa tidak sama Rama? Awas, ya. Jangan suka […]
Part 13 : Candi Borobudur Keesokan harinya Rama sibuk mencari handphone yang biasa membangunkannya untuk berolahraga disaat Rama berada di Jogja. Rama tersenyum dan semangat untuk bangun, membersihkan diri dan segera membereskan kamarnya. Tidak lupa Rama juga menggunakan pakaian yang Rapih untuk menemui Rani hari ini. Sementara Rani seperti biasa masih bermalas-malasan di dalam kamarnya […]
Part 12 : Cemburu Rama langsung memukul Jaka saat Jaka baru saja masuk ke ruang kerjanya Rama. Jaka yang meringis bukannya marah namun malah tersenyum terhadap Rama karena Jaka tahu bahwa Rama lagi cemburu terhadapnya. Rama males menjawab salam dari Jaka namun sebagai orang yang punya adab Rama harus menjawab salam dari Jaka dengan sopan. […]
Buy Pin Up Calendar E-book On-line At Low Prices In India After the installation is complete, you’ll have the flexibility […]
Karya Nurlaili Alumni KMO Alineaku Hampir 10 bulan, Pandemi Covid -19 telah melanda dunia dengan cepat dan secara tiba-tiba. Hal […]
Karya Lailatul Muniroh, S.Pd Alumni KMO Alineaku Rania akhirnya menikah juga kamu,,, begitu kata teman2nya menggoda, Yaa,,,Rania bukan anak.yang cantik […]
Karya Marsella. Mangangantung Alumni KMO Alineaku Banyak anak perempuan mengatakan bahwa sosok pria yang menjadi cinta pertama mereka adalah Ayah. […]
Karya Any Mewa Alumni KMO Alineaku Bukankah sepasang sejoli memutuskan bersatu dalam ikatan pernikahan demi menciptakan damai bersama? Tetapi bagaimana […]
Comment Closed: Guru Pemula (PART 2)
Sorry, comment are closed for this post.