Kebahagiaan benar-benar kurasakan ketika diterima sebagai mahasiswa di Akper Depkes Malang. Akhirnya aku bisa membuktikan, setidaknya pada diriku sendiri, bahwa kau masih layak diperhitungkan dalam persaingan. Kekalahanku setahun lalu akhirnya terbayar sudah. Aku benar-benar akan menjadi mahasiswa……
Namun, kegembiraan yang kurasakan itu hanya bertahan sebentar. Pagi itu aku sudah benar-bear hadir di aula AKPER Malang yang akan menjadi almamaterku, untuk melihat hasil pengumuman tes kesehatan dan mengikuti pengarahan. Kakak-kakak senior memberikan pengumuman: Besok OSPEK dimulai!
Seorang kakak senior putri berwajah ketus, yang kemudian saya tahu namanya Kak Lena, membacakan ketentuan yang harus kami patuhi selama OSPEK, perlengkapan yang harus kami bawa, dan tugas-tugas yang harus kami penuhi. Aku tercekat. Tanpa persiapan apa-apa, aku harus mencari celana hitam, hem putih, sabuk, sepatu hitam, kantung terigu, pita merah putih, dan aneka pernik OSPEK. Malam itu aku keliling mencari pinjaman dari sana-sini. Rasanya seperti lomba dadakan yang melelahkan, padahal aku baru saja ingin merayakan penerimaan ini dengan tenang.
Hari pertama OSPEK, suasana sudah membuat jantung berdegup lebih cepat. Kami harus sudah tiba di kampus sebelum jam 04.30. Suara kakak senior keras, tegas, seolah semua yang kami lakukan salah. Datang tepat waktu tapi belum sholat subuh? Salah! Datang telat karena harus menunggu selesai sholat subuh? Juga salah! Mereka tidak mau mendengar penjelasan sesuai logika apa pun yang coba kami sampaikan.
“Bagaimana kalian bisa mengabaikan rukun Islam? Jelas-jelas kalian ini muslim! Bagaimana kalian masih mengaku muslim, kalau sholat saja sudah kalian tinggalkan?” suara pelan namun tegas seorang Kakak senior yang terlihat kalem, namun terasa mengiris dan mencabik hati.
Aku hanya bisa tertunduk. Ketika aku mencoba mengangkat wajah dan membuka mulut, segera aku urungkan.
“Sudah… sekarang segera sholat di masjid sana…. Waktu subuh tinggal sedikit lagi,” suara itu kembali terdengar di telingaku, dan memaksaku untuk segera bergegas menuju masjid kampus sambil terus menunduk. Aku mencoba menelan ludah, menata hati, meski rasa malu menyelinap, ya… malu kepada Tuhan.
Hari kedua OSPEK lebih parah. Kami mendapat tugas aneh-aneh: membawa kacang hijau sebanyak 205 butir—harus pas!—dan bawang putih dengan diameter 5,7 cm. Haruskah aku ke pasar bawa penggaris untuk mengukur diameter bawang? Entahlah….. Tapi yang paling menegangkan adalah ketika kami mendapat “nama baik”, istilah medis yang harus dihafalkan. Aku mendapat kata yang bahkan belum pernah kudengar sebelumnya: TIROTOXICOSIS.
Bagaimana mungkin aku harus menjelaskan artinya, sementara mengejanya saja terbata-bata? Nama itu harus ditulis di kertas manila putih, huruf besar sesuai ketentuan, lalu diselempangkan di dada. Rasanya seperti berjalan membawa beban kata yang asing, takut setiap saat ditanya panitia. Tidak hanya itu… kami harus memasang pita merah putih pada kanan kiri kerudung yang menutup kepala kami. Dan kami harus menghafal salam untuk Angkatan kami, “Ji walang kaji koko beluk… dem..dem… dem….!!!” Begitu harus diucapkan tiga kali oleh setiap kelompok jika bertemu kelompok lain.
Belum cukup sampai di sana, kantung terigu yang kami bawa harus dirakit menjadi tas dengan tali rafia, diberi logo kampus berdiameter tertentu. Tas ini berfungsi untuk membawa semua penugasan yang diberikan sebelumnya. Semua itu kami kerjakan berkelompok di kos salah satu teman, karena asrama belum dibuka untuk mahasiswa baru. Hampir semalaman kami tidak tidur, menempel kertas, menggunting rafia, menulis nama, sampai mata perih. Pukul lima pagi kami sudah harus berkumpul lagi di halaman kampus, berbaris rapi dengan wajah kusut tapi dipaksa tersenyum.
Omelan kakak senior seperti hujan deras tak berhenti. “Tidak disiplin! Tidak kreatif! Tidak bersyukur!” Sempat aku menangis, namun tak lama ingin tertawa juga melihat wajah teman-teman yang sama kusutnya denganku. Dalam hati sempat muncul sesal: mengapa aku harus berada di sini?
Namun kehidupan harus berjalan.
Hari berikutnya, kami mendapat tugas gila: membawa kecoak, nyamuk, dan serangga lain dalam keadaan hidup. Ketika ada yang membawa nyamuk dalam keadaan mati, suara melengking Kakak senior segera menggelegar,
“ Di mana rasa kepedulianmu? Nyamuk ini mahluk Tuhan, ia juga ingin hidup…. Mengapa kamu tega membiarkannya mati? Apa kamu tidak punya lagi rasa peduli kepada sesama makhluk Tuhan?”
Tidak lama kemudian, suara yang lain pun menyahut,”Bagaimana kamu akan menjadi perawat, kalau jiwamu sudah mati? Sudah tidak peduli terhadap kehidupan sesama makhluk Tuhan?” Masih banyak lagi suara-suara bersahutan yang kudengar, diikuti isak tangis teman mahasiswa baru.
Aku bahkan tidak ingat bagaimana akhirnya bisa memenuhi perintah itu, tapi di bagian itu itu sepertinya aku tidak kena hukuman. Yang kuingat hanyalah wajah pucat teman saling menatap dengan putus asa, memegang erat-erat kantong plastik di tangan berisi serangga yang sudah mulai lemas. Dalam hati kami berdoa, “ Semoga tetap bergerak… tetap hidup… Ya Allah… berikanlah umur yang panjang kepada serangga-serangga ini…”
Siangnya, ada lagi ritual aneh: kami diperintahkan mengupas telur rebus dengan ukuran tertentu, yang sudah kami bawa sebagai penugasan kemarin. Setelah itu, dengan mata tertutup, kami harus memakan telur bulat itu sekaligus tanpa menggigit. Seorang teman hampir tersedak, telur kembali keluar dari mulutnya. Spontan suara senior meledak, menuduh kami tidak tahu bersyukur, menyia-nyiakan makanan, tidak disiplin, entah apa lagi. Aku ingin membuka mata, melihat apa yang terjadi, tapi begitu ancaman bergema, aku buru-buru menutup mata lagi, mengatur napas, dan memaksa telur itu masuk dengan selamat ke perutku. Rasanya mencekam, seperti ujian hidup yang tak masuk akal.
Hari-hari OSPEK terasa panjang. Fisik lelah, jiwa tertekan. Namun di sela rasa takut, aku menemukan sesuatu: kebersamaan, kepekaan, kepedulian dan kedisiplinan. Kami sama-sama berlari, sama-sama dihukum, sama-sama mengerjakan tugas gila. Kami tertawa di tengah keputusasaan, dan justru di situlah benih persaudaraan lahir.
Kini, tiga puluh tahun sudah berlalu. Aku bisa tersenyum mengingatnya. Semua penderitaan, tugas aneh, bahkan omelan panitia yang dulu membuatku ingin menyerah, kini menjadi kenangan manis. Ketika bertemu dengan teman-teman seangkatan, cerita itu selalu hadir, lengkap dengan detailnya. OSPEK yang dulu terasa mencekam, kini berubah jadi bahan tawa hangat, perekat kerinduan kami.
Aku, gadis kampung dari utara Nganjuk yang dulu hampir menyerah, ternyata bisa melewati semuanya. Dan justru dari situlah aku belajar arti ketangguhan—bekal penting untuk menjadi seorang perawat profesional. Terimakasih Kakak-Kakak senior……..
Kreator : ERNA RAHMA YANI
Comment Closed: Hah….Begini Jadi Mahasiswa?
Sorry, comment are closed for this post.