Di sebuah kampung kecil di Banyumas, pagi selalu dimulai dengan aroma khas dari dapur rumah Bu Sarmi. Di atas tungku sederhana, wajan besar yang penuh dengan minyak panas berisi mendoan yang digoreng dengan cekatan oleh tangannya yang lincah. Suara mendesis dan bau harum daun bawang bercampur tepung menggoda siapa saja yang lewat.
“Mendoan lagi, Bu?” tanya Bayu, anak sulungnya, yang duduk di meja makan sambil menyeruput teh hangat.
“Pagi tanpa mendoan itu seperti Banyumas tanpa tradisi, Nak.” jawab Bu Sarmi sambil tersenyum.
Di keluarga kecil ini, mendoan adalah sarapan yang tak pernah absen. Bu Sarmi percaya bahwa makanan sederhana ini bukan hanya soal rasa, tapi juga tentang kehangatan keluarga. Dengan adonan tepung yang dicampur daun bawang dan potongan tempe tipis, ia menggoreng mendoan setengah matang, seperti tradisi asli Banyumas.
Setiap pagi, meja makan selalu dipenuhi dengan tumpukan mendoan yang masih hangat, sambal kecap yang manis pedas, dan gelak tawa anak-anaknya. Meski sederhana, itu adalah momen kebersamaan yang selalu dirindukan oleh Bayu dan adik-adiknya.
Ketika Bayu beranjak dewasa dan harus pindah ke Jakarta untuk bekerja, pagi-pagi tanpa mendoan terasa seperti ada yang hilang. Di ibu kota, ia mencoba mencari mendoan di warung makan, tapi rasanya tak pernah sama seperti buatan ibunya.
Suatu hari, saat Bayu pulang kampung untuk liburan, ia melihat ibunya sedang duduk di dapur, masih menggoreng mendoan seperti biasa. Wajahnya yang sudah berkerut tetap penuh semangat setiap kali ia mengangkat mendoan dari wajan.
“Bu, kenapa Ibu nggak pernah bosan bikin mendoan setiap pagi?” tanya Bayu sambil duduk di samping ibunya.
Bu Sarmi tersenyum.
“Mendoan ini bukan cuma makanan, Nak. Ini pengingat, bahwa setiap pagi kita punya kesempatan baru untuk berkumpul, berbagi cerita, dan bersyukur. Ibu tahu, kamu mungkin sudah jarang sarapan mendoan di sana, tapi Ibu yakin, aromanya selalu bikin kamu ingat rumah.”
Bayu terdiam, matanya mulai berkaca-kaca. Ia menyadari bahwa mendoan bukan sekadar sarapan, tapi simbol cinta ibunya yang selalu hadir, meski ia jauh dari rumah.
Ketika Bayu kembali ke Jakarta, ia membawa sekantong besar tempe dan bumbu tepung buatan ibunya. Ia berjanji, setiap kali ia merindukan rumah, ia akan membuat mendoan di dapurnya sendiri. Meski tak akan pernah seenak buatan ibunya, setidaknya mendoan itu bisa membawa kehangatan rumah ke dalam kehidupannya yang sibuk di kota besar.
Bagi orang Banyumas seperti Bu Sarmi, mendoan adalah lambang sederhana tentang tradisi, keluarga, dan cinta yang tak pernah pudar. Setiap gigitan mendoan selalu menyimpan cerita, dan di dalam setiap aromanya, tersimpan kenangan yang tak akan pernah hilang.
Kreator : Safitri Pramei Hastuti
Comment Closed: Hangatnya Mendoan di Pagi Hari
Sorry, comment are closed for this post.