Penulis : Patrisia Carolina (Member KMO Alineaku)
Kehilangan sosok yang selalu ada untuk kita adalah hal yang paling menyakitkan bagi kita. Orang yang mementingkan kita diatas segalanya. Orang yang selalu mendengarkan setiap ocehan yang keluar dari mulutku. Orang yang selalu memberikan bahu ketika aku menangis. Dan memberikan solusi ketika aku terkena masalah, orang yang selalu memberikan aku semangat ketika aku terjatuh. Dan yang pertama maju ketika orang-orang mencemoohku.
Kini telah hilang. Pergi menjauh dariku. Pergi ke alam yang berbeda. Kupandangi pigura 10r, disana terdapat potret kita berdua. Tersenyum manis. Aku bodoh, kenapa aku tidak menyadari dari awal jika kamu juga menderita. Kamu bahkan lebih menderita. Kenapa kamu harus menyembunyikan hal sebesar ini dari padaku. Apa kamu ingin aku dilanda rasa bersalah seumur hidup. Kenapa kamu tega padaku. Disaat aku menceritakan masalahku kamu selalu memberikan solusi, disaat aku menangis kamu selalu memberikan bagimu untuk aku sandar.
Tapi kenapa, kamu tak pernah mengatakan padaku jika kamu sakit. Aku bisa mendengarkan keluh kesahmu. Aku bisa menjadi penyemangat bagimu juga. Aku juga bisa menjadi tempat bersandar ketika badanmu sakit. Kanker otak.
Ya Tuhan, kenapa Engkau memberikan penyakit itu pada suamiku. Pada keluarga satu-satunya yang kupunya. Kini aku kehilangan dirinya. Tidak ada lagi yang membangunkan aku di pagi hari. Tidak ada lagi yang merengek minta makan dan tidak ada lagi kata “aku pulang, i love you”Hanya bayangan yang menemaniku.
“Safa, hati-hati jangan lari lantainya licin,” ucap mas Devan ketika aku berlari ke arahnya.
“Mas kenapa pulang lama. Katanya jam lima sekarang jam setengah enam,” tanyaku bergelayut manja dalam gendongannya. Mas Devan tersenyum dan mengecup keningku.
“Maaf jalanan macet. Istriku sudah sangat merindukanku, hmm,” ku kecup pipinya dan tertawa. Mas Devan melangkah dan aku menutup pintu. Deritan pintu menyadarkan aku dari lamunanku. Dengan cepat aku melangkah keluar untuk menyambut kedatangan mas Devan. Dengan senyuman aku membuka pintu dan kosong. Tidak ada orang disana. Aku kembali terisak.
“Ibu, ayo masuk nanti masuk angin,” pembantuku menuntun aku masuk dan memberikan aku segelas air.
“Safa, ayo makan. Mas sudah memasak makanan kesukaanmu. Nanti keburu dingin,” aku bergegas ke dapur dan tersenyum kearah mas Devan. Namun, senyumku hilang ketika bayangan itu hilang.
“Safa, ayo buatkan makanan untuk mas. Mas kangen masakan kamu,” tanpa menunggu aku langsung mengambil apron dan mengikat pada tubuhku. “Mas mau makan apa? Mas. Mas. Mas, kok diam katanya lapar. Ini aku mau buatkan. Ihh, kenapa tersenyum,” senyum mas Deva hilang. Lagi-lagi hanya bayanganmu.
“Safa, dasi yang bewarna maron dimana?” Teriak Mas Devan dari dalam kamar.
“Di tempat dasi.”
“Tidak ada. Ayo bantu aku cari,” teriaknya lagi. Aku bergegas ke kamar dan mencari dasi itu. Dengan kesal aku memberikan dasi itu pada Mas Devan.
“Makanya cari itu pake mata, jangan pake mulut.”
“Cari itu pake tangan, mata untuk melihat.” Aku tahu mas Devan sedang menggodaku.
“Sini aku pakaikan!” Mas Devan tersenyum. Dan perlahan Mas Devan menghilang. Aku menangis sejadi-jadinya. Kenapa aku tidak bisa menghilangkannya bayanganmu. Secinta itukah aku padamu mas. Tangisanku makin besar. Pintu terbuka dan aku tidak menghiraukan, aku peluk dari dan pigura keluarga kecil kami. Aku merasa dekapan hangat di tubuhku.
“Iklaskan Devan, nak. Biarkan dia tenang. Ini sudah lima belas tahun. Jangan terlalu bersedia, ingat kamu punya Defa dan Vansa. Buah cinta kalian. Jangan buat anakmu menangis. Ingat pesan Devan, dia tidak ingin kamu bersedih. Dia pergi bukan karena salahmu. Ini takdir. Jangan menyalakan takdir. Devan tidak suka kamu menangis,” ucap ibu mertuaku.
“Mom, ikhlaskan Dady. Masih ada aku yang menggantikan Dady untuk menjaga mom dan Vansa. Mom jangan bersedih, aku tidak suka. Aku janji akan menjadi seperti Dady,” ucap Dafi putra sulungku yang berusia 25 tahun.
“Iya mom, Vansa juga tidak suka mom menangis. Nanti Vansa juga ikutan nangis. Kita sayang mom,” ucap Vansa berusia yang sudah berusia 20 tahun. Kupandangi wajah kedua anakku dan kupeluk mereka erat-erat.
“Maafkan momy, momy tidak bisa menghilangkannya bayangan Dady. Maaf.” Tangisan kami pecah.
“Mas lihat anak-anakmu sudah besar, Defa sekarang menggantikan posisimu sebagai CEO. Dia tampan dan mempunyai sifat sepertimu. Sedangkan Vansa sepertiku. Maaf aku tidak bisa melupakanmu. Jangan cemas aku bahagia.”
“Naskah ini merupakan kiriman dari peserta KMO Alineaku, isi naskah sepenuhnya merupakan tanggungjawab penulis”
Comment Closed: Hanya Bayanganmu
Sorry, comment are closed for this post.