Pagi itu, Rina bangun dengan perasaan berat. Ia menatap kalender di dinding, mengingat hari istimewa yang akan datang. Sebagai seorang penulis lepas, Rina sering merasa kesulitan menyeimbangkan dunia tulisannya dengan kehidupan nyata. Namun, hari ini terasa lebih sulit dari biasanya.
“Naya, bangun. Waktunya sarapan,” panggil Rina dengan lembut pada putrinya yang masih terlelap di kamar sebelah.
“Iya, Bu. Sebentar lagi,” jawab Naya dengan suara malas.
Rina menyiapkan sarapan sambil merenung. Pikirannya melayang ke novel yang sedang ia tulis. Ceritanya tentang seorang wanita yang hidup di dua dunia—dunia nyata dan dunia fantasi yang ia ciptakan sendiri. Rina merasa, semakin hari, dirinya juga mulai terjebak di antara dua dunia ini.
“Naya, ayo cepat sarapan. Kita harus segera berangkat,” kata Rina setelah melihat jam dinding.
“Baik, Bu,” jawab Naya sambil duduk di meja makan.
Setelah mengantar Naya ke sekolah, Rina kembali ke rumah dan membuka laptopnya. Ia menatap layar kosong, mencoba mencari inspirasi. Dunia tulisannya selalu menjadi pelarian dari kenyataan, tetapi akhir-akhir ini, dunia itu terasa lebih nyata daripada kehidupan sehari-harinya.
Tiba-tiba, telepon berdering. “Halo, Rina. Ini Ibu. Kamu baik-baik saja? Ibu khawatir karena kamu jarang menelepon akhir-akhir ini,” kata suara di ujung telepon.
“Iya, Bu. Maaf, aku sibuk dengan pekerjaan,” jawab Rina.
“Kamu harus ingat untuk istirahat juga, nak. Jangan terlalu keras pada dirimu sendiri,” kata ibunya dengan nada lembut.
Rina menutup telepon dengan perasaan campur aduk. Ia tahu ibunya benar, tetapi ia merasa terjebak dalam siklus yang tak berujung. Setiap kali mencoba beristirahat, pikirannya kembali ke dunia tulisannya.
Hari itu, Rina berusaha menulis, tetapi pikirannya terus melayang. “Aku harus menyelesaikan ini. Aku tidak bisa terus begini,” gumamnya pada diri sendiri.
Malam tiba, dan Rina menidurkan Naya. Setelah Naya tidur, Rina kembali duduk di depan laptop. Dunia fantasinya memanggil, tetapi ia merasa semakin jauh dari kenyataan. “Apakah ini benar-benar yang aku inginkan?” pikirnya.
Keesokan harinya, Rina mengantar Naya ke sekolah seperti biasa. Di perjalanan pulang, ia merasa pusing dan memutuskan untuk berhenti di taman. Ia duduk di bangku, menatap langit yang cerah. “Apa yang harus aku lakukan?” tanyanya pada dirinya sendiri.
Saat itu, seorang pria duduk di bangku sebelahnya. “Maaf, saya tidak bermaksud mengganggu, tetapi Anda kelihatan cemas. Ada yang bisa saya bantu?” tanya pria itu.
Rina terkejut. “Oh, tidak apa-apa. Saya hanya merasa sedikit lelah,” jawabnya.
“Saya juga sering merasa seperti itu. Namaku Budi. Saya seorang ilustrator. Kadang-kadang, saya merasa terjebak antara dunia gambar dan dunia nyata,” kata Budi dengan senyum ramah.
Rina merasa ada kesamaan di antara mereka. “Nama saya Rina. Saya seorang penulis. Saya juga merasa terjebak di antara dua dunia,” jawabnya.
Percakapan mereka mengalir dengan mudah. Budi bercerita tentang pengalamannya sebagai ilustrator, dan Rina merasa terhibur. “Mungkin kita bisa bekerja sama. Saya bisa membantu mengilustrasikan ceritamu,” usul Budi.
Rina merasa ide itu menarik. “Itu ide yang bagus. Terima kasih, Budi. Saya akan memikirkannya.”
Malam itu, Rina merasa sedikit lebih ringan. Ia berpikir tentang percakapannya dengan Budi dan ide untuk berkolaborasi. “Mungkin ini bisa membantuku menemukan keseimbangan,” pikirnya.
Hari-hari berikutnya, Rina dan Budi mulai bekerja sama. Mereka bertemu di taman, berbagi ide, dan bekerja bersama. Rina merasa semangatnya kembali. Dunia tulisannya mulai terasa lebih hidup dengan ilustrasi dari Budi.
Namun, konflik dalam dirinya belum sepenuhnya hilang. Suatu malam, setelah bekerja keras, Rina merasa kelelahan. “Apakah aku benar-benar bisa menemukan keseimbangan?” tanyanya pada dirinya sendiri.
Keesokan harinya, Naya melihat ibunya yang terlihat lelah. “Bu, kenapa Ibu kelihatan sedih?” tanya Naya dengan cemas.
“Ibu hanya merasa sedikit lelah, sayang. Tapi Ibu baik-baik saja,” jawab Rina sambil tersenyum.
Naya memeluk ibunya erat. “Ibu harus istirahat. Naya tidak ingin Ibu sakit.”
Kata-kata Naya membuat Rina tersadar. Ia harus menemukan cara untuk menjaga keseimbangan antara dunia tulisannya dan kenyataan. Dengan dukungan Naya dan Budi, Rina mulai mengatur waktu dengan lebih baik. Ia belajar untuk beristirahat dan menikmati waktu bersama Naya.
Kolaborasi dengan Budi juga semakin berkembang. Mereka berhasil menyelesaikan proyek bersama dan mendapat banyak pujian. Rina merasa bangga dan bahagia. “Terima kasih, Budi. Kamu telah membantuku menemukan kembali semangatku,” kata Rina.
“Senang bisa membantu, Rina. Kita harus terus berkreasi bersama,” jawab Budi dengan senyum.
Hari-hari berlalu, dan Rina menemukan keseimbangan antara dua dunia yang ia jalani. Ia belajar bahwa penting untuk menikmati setiap momen dan menjaga keseimbangan antara pekerjaan dan kehidupan pribadi.
Suatu malam, saat Rina dan Naya duduk di teras rumah, Naya berkata, “Bu, Naya bangga pada Ibu. Ibu selalu kuat dan tidak pernah menyerah.”
Rina tersenyum, memeluk putrinya erat. “Terima kasih, sayang. Ibu juga bangga pada kamu. Kita akan selalu bersama, menghadapi apapun yang datang.”
Dalam setiap langkah yang diambilnya, Rina tahu bahwa cinta dan dukungan dari orang-orang terdekat memberinya kekuatan untuk terus maju. Hari-hari di antara dua dunia kini terasa lebih ringan, penuh dengan harapan dan kebahagiaan.
Kreator : Masniya Ulfah
Comment Closed: Hari-hari diantara Dua Dunia
Sorry, comment are closed for this post.