KATEGORI
  • Adat & Budaya
  • Agrikultur
  • Aksi
  • Arsitektur
  • Artikel
  • Asmara
  • Autobiografi
  • autobiography
  • Bahasa & Sastra
  • Berita Alineaku
  • Bisnis
  • Branding
  • Catatan Harian
  • Cerita Anak
  • Cerita Bersambung
  • Cerita Pendek
  • Cerita Rakyat
  • Cerpen
  • Cinta
  • Cita – Cita dan Harapan
  • Dongeng
  • Drama
  • Ekonomi
  • Epos
  • Event
  • Fabel
  • Fantasi
  • Fiksi
  • Gaya Hidup
  • Hiburan
  • Hobi
  • Hubungan Antarpribadi
  • Hukum
  • Humanis
  • Humor
  • Ilmu Manajemen
  • Inspirasi
  • Istri
  • Kampus
  • Karir dan Kewirausahaan
  • Keagamaan
  • Keluarga
  • Kesehatan & Kecantikan
  • Kesehatan Mental
  • Ketenagakerjaan
  • Kisa Masa Kecil
  • Kisah Inspiratif
  • Kritik Media
  • Kuliner
  • Legenda
  • Lifestyle
  • Lingkungan Hidup
  • Madhoe Retna
  • Manajemen
  • mengelola toko
  • Mental Health
  • Moralitas
  • Motivasi
  • Novel
  • Nutrisi
  • Nutrition
  • Opini
  • Organisasi
  • Otomotif
  • Parenting
  • Pemerintahan
  • Pendidikan
  • Pendidikan Karir
  • Pendidikan Keuangan
  • pengalaman hidup
  • Pengembangan Diri
  • Perjalanan Hidup
  • Pernikahan
  • Persahabatan
  • Pertemanan
  • Petualangan
  • Petualangan Alam
  • Pilih Kategori
  • Pilih Menu
  • Politik
  • Psikologi
  • Psikologi Sosial
  • Puisi
  • Romansa
  • Romantisme kehidupan
  • Rumah Tangga
  • Satir
  • SDM
  • Sejarah
  • Self-Acceptance
  • Self-Awareness
  • Seni & Budaya
  • Sosial
  • spiritual journey
  • Strategi
  • Teknologi
  • Tempat Wisata
  • Traveling
  • Uncategorized
  • Wanita
  • Beranda » Artikel » Hati Yang Tercabik

    Hati Yang Tercabik

    BY 10 Jun 2024 Dilihat: 206 kali
    Hati Yang Tercabik_alineaku

    Azan subuh terdengar merdu dari mushola belakang rumah, angin bertiup masuk lewat depan tenda kami yang hanya dikatupkan dengan dua peniti kasur, mataku tak dapat menangkap apapun diluar tenda, hanya gelap semata-mata bahkan di dalam tenda pun senantiasa gelap dan sepi, sesekali dengkur halus entah siapa terdengar menandakan aku tidak sendirian dalam kegelapan ini. Hujan semalam bahkan tak menyisakan suara apapun, padahal gemuruh guntur membuat bungsuku erat memeluk kuat tubuhku karena ketakutan, meski sudah kuberitahu itu suara guntur. Gemuruhnya terdengar bergulung-gulung dan menderu, tidak seperti suara guntur yang datang sesekali dan berdebam, tapi gemuruh seperti suara bergemuruh sambung menyambung. Mengundang imajinasi seolah gelombang laut yang bergulung-gulung. Bahkan adikku yang berbaring di kakiku bersama anak2nya pun mengatakan “Aduh menakutkan sekali, kenapa suara gemuruhnya seperti itu? Seperti air bah yang menderu”, aku menahan diri untuk tidak berkomentar karena suasana memang mencekam, aku tak ingin menambahi rasa cemas di hati mereka. Sambil memperbaiki selimut anak-anak aku coba mengalihkan perhatian mereka, seolah-olah aku memvideokan kegiatan kami di tenda malam itu. Anak dan keponakanku tidur saling berhimpitan laki dan perempuan, kedekatan dan kebersamaan yang selalu kami bangun, agar mereka saling peduli satu dengan lainnya. Ini hari ketiga belas kami camping karena bencana. Suara hujan diluar begitu magis seolah menyedot suara kanak-kanak yang biasa berkelakar dan tertawa, masing-masing tenggelam dalam pikirannya hingga tertidur. Listrik yang padam melengkapi malam yang semakin beranjak larut. Aku mengipasi anak dan ponakan yang tidur bersisian disampingku, sesekali nyala Hp salah satu ponakan yang bermain game dan yang membuka laptop menerangi wajah-wajah mereka yang cemas, aku kembali berusaha mencairkan suasana dengan cerita lucu tapi bahkan aku sendiri tak kuasa memaksakan diri tertawa. Karena kecemasan dan kehawatiranpun mengusik dan menggoyahkan hatiku. Sambil berzikir dan berdoa dalam hati aku berusaha menenangkan pikiran dan menepis semua kekhawatiran dengan berpasrah kepada Tuhan, aku tiba-tiba merasa lebih rileks dan karena seharian letih dan tidak pernah istirahat aku juga akhirnya lelap hingga terjaga oleh azan tanpa sempat bermimpi.

    ” Dede…. bangun, sholat subuh yuk” kataku membangunkan si bungsu sambil menyalakan senter hp. Yang lain juga menggeliat dan menendang bed cover, sebagian lagi semakin mengetatkan selimut. Udara subuh ini memang dingin, karena hujan sejak sore menyisakan embun dan lembabnya tanah dimana kami menghamparkan karpet, meskipun tidur diatas kasur tapi tenda yang bagian depan dan belakangnya terbuka seolah menantang angin dan suhu dingin menampar kulit dan menembus tulang. “Aduh dingin sekali” terdengar salah satu ponakan yang menarik-narik selimut berusaha menutupi dirinya, ” Ayo bangun Zeral, papa tua sudah selesai Azan subuh, jam berapa semalam tidur?” Tanyaku pada ponakanku yang paling kuat begadang dan jarang sekali mau meninggalkan laptopnya ” Jam 12 lebih sedikit” jawabnya sambil bangkit berdiri. 

    Semuanya akhirnya terjaga, satu-satu meninggalkan tenda untuk berwudhu. Sholat subuh berjamaah di imami kakak sulungku akhirnya selesai dan ditutup dengan salaman yang lumayan memakan waktu karena ada 13 ponakan plus 5 orang anakku.

    Diam-diam aku mengucap syukur kehadirat Tuhan, anggota keluarga ini masih lengkap. Sementara diluar sana begitu banyak orang yang kehilangan anggota keluarganya. Bahkan ada yang kini sebatang kara tak memiliki siapapun. Sekiranya jasadnya ditemukan, maka akan sedikit menghibur jika dapat berziarah ke makamnya. Tapi ada berapa banyak yang bahkan tidak tahu dimana keberadaannya bahkan tiada kabar beritanya? dimana Jazadnya berada?  Karena pada saat kejadian sedang tidak dirumah, mungkin sedang di tempat kerja, sedang berada di jalan pulang atau entah sedang mana. Duhai…. betapa nelangsa perasaan orang tuanya setiap kali terjaga di pagi hari, menyadari bahwa kini mereka tak sedang ada dikamarnya, mereka tak sedang belajar di rumah kawannya, atau tak sedang menginap dirumah neneknya, mereka hilang bersama ribuan orang yang lenyap ditelan bumi. Mungkin tersapu ombak tsunami dahsyat, bisa jadi tertelan lumpur likuifaksi atau bahkan tertimpa reruntuhan tembok rumah yang terkubur jauh kedalam tanah. Betapa hampa hati setiap kali mengingat kepergiannya? Tak ada kata perpisahan, tak ada kata pelepasan, apalagi pelukan terakhir untuk mereka. Semua terjadi  begitu cepat dan tiba-tiba saja mereka sudah tak ada.

            Aku tergugu menahan air mata sedih tatkala mendengar cerita adik perempuanku, bahwa salah satu sahabatnya  yang kehilangan anak perempuannya, yang saat itu minta izin pergi nonton keramaian di pantai, tempat dihelatnya festival PALU NOMONI, dan ketika  Gempa besar yang menyebabkan terjadinya Tsunami, si ibu yang kehilangan putri semata wayangnya berusaha mencari kabar, pada orang yang mungkin saja melihat putrinya pada saat-saat terakhirnya, menghubungi siapa saja yang kira-kira bisa memberitahu keberadaan anak gadisnya ke teman-teman putrinya yang mungkin membersamai anaknya saat menonton keramaian, tapi hingga hari kesekian tak satupun informasi tentang putrinya yang didapatkannya, putus asa, putus harapan akhirnya membuatnya berusaha ikhlas. Dia pergi ke pantai Talise untuk menabur bunga, Dia bahkan pergi juga  ke pemakaman Poboya untuk melakukan hal yang sama hanya karena menduga barangkali jasad putri kesayangannya terkubur di sana karena mendengar kabar banyak korban tsunami yang dikuburkan secara massal di pekuburan umum Poboya. 

              Bahkan saat itu ada suami yang karena frustasi bertanya kesana kemari tentang kabar istri dan anaknya akhirnya memutuskan untuk menuliskan  nama istri serta putra putrinya sehingga khalayak tak perlu bertanya apa yang dia lakukan berjalan kesana kemari, mengais reruntuhan bangunan, menghempas diri kelelahan karena berjalan dan letih menangis, menyesal karena meninggalkan rumah jelang magrib sesaat sebelum gempa besar dan likuifaksi mengubur rumahnya beserta rumah para tetangganya, yang kini tinggal gundukan tanah sejauh mata memandang.

    Yah Illahi… teramat berat ujian yang Engkau timpakan untuk kami warga kota ini, tapi kami yakin dan percaya bahwa pasti ada maksud dan rencana yang tidak kami ketahui telah Engkau siapkan.

    Jerit tangis, teriakan ketakutan, ucapan takbir yang diteriakan lantang sepenuh jiwa pada hari jumat, saat kejadian, kini memang tinggal kenangan, mimpi buruk yang tidak satu pun menginginkannya terulang, bahkan saya yang saat itu tak ada di tempat kejadian, tapi masih menangkap dan merasakan suasana kebatinan kota yang mencekam, bau anyir mayat dan curahan air mata yang seolah tak akan pernah habis, begitu berharap agar tidak lagi berada dalam kondisi dan situasi bak neraka semacam itu. Lirih doa yang terus terucap dari bibirku, “Akhiri yah Allah….. Akhiri ya Allah, cukupkan penderitaan ini bagi kami” 

           Sungguh serasa tak mampu hati ini melihat tangis mereka yang kehilangan, hancur perasaan ini mengetahui, bahwa dalam luka kehilangan mereka bahkan tak punya apa-apa untuk dimakan, bahkan tak juga punya tempat untuk berlindung dari panas matahari yang hampir seminggu seolah ingin menghanguskan semuanya. 

           Sementara di tempat lain ada manusia yang kehilangan hati hingga tega menjarah rumah-rumah yang mereka tinggalkan sementara untuk mengungsi karena trauma dan rasa ketakutan. Menjarah semua isi toko dan mengambil semua barang bahkan yang mereka tidak butuhkan, hanya untuk sekedar memuaskan ego dan syahwat mereka. Menambahi luka dan kedukaan para korban. Kondisi yang membuat kami semua merasa berada di dalam rimba, dimana hukum berlaku siapa kuat dia menang. 

           Pesawat hercules wira wiri mengantar bantuan, ratusan truk pengangkut sembako, milyaran uang sumbangan dari berbagai penjuru hanya terbaca di koran dan disaksikan serah terimanya di televisi, padahal faktanya sebagian anak tak berbaju, bayi tak kunjung diam karena kehabisan susu, bahkan bayi dan anak serta ibu hamil gosong terbakar kulitnya, karena tak ada tenda tempat bernaung. Tragisnya ya Ilahi. 

           Hati ini tercabik, bukan saja karena peristiwa dahsyat yang merenggut segalanya, tapi juga tercabik karena orang dekat, pemimpin daerah tempat paling pertama yang diharapkan mengulurkan tangan seolah tidak terasa keberadaannya, karena mereka juga hanya sanggup di tonton di televisi saat mengeluarkan statemen padahal masyarakat butuh ditengok, sekedar ditanya apa kebutuhannya, ditepuk pundaknya untuk menyemangati, dielus bahunya agar bersabar dan digenggam tangan nya agar kuat. 

           Hati manusia memang rapuh, dan saat tercabik bukan persoalan mudah untuk menautkan kembali. Biarlah Sang Maha Hidup menyentuhnya dengan kelembutan, menjamahnya dengan kasih sayang hingga kita semua sadar bahwa kita tengah di kuatkan dengan ujian, tengah didewasakan oleh masalah dan di didik untuk naik kelevel yang lebih tinggi. So… tersenyumlah… meski air mata masih mengambang di kelopak mata, dan darah masih mengalir dari bilik-bilik hati yang tercabik.

     

     

    Kreator : Anna Sovi Malaba

    Bagikan ke

    Comment Closed: Hati Yang Tercabik

    Sorry, comment are closed for this post.

    Popular News

    • Part 15: Warung Kopi Klotok  Sesampainya di tempat tujuan, Rama mencari tempat ternyaman untuk parkir. Bude langsung mengajak Rani dan Rama segera masuk ke warung Kopi Klotok. Rama sudah reservasi tempat terlebih dahulu karena tempat ini selalu banyak pengunjung dan saling berebut tempat yang ternyaman dan posisi view yang pas bagi pengunjung. Bude langsung memesan […]

      Okt 01, 2024
    • Part 16 : Alun – Alun  Kidul Keesokan paginya seperti biasa Bude sudah bangun dan melaksanakan ibadah sholat subuh. Begitupun dengan Rani yang juga melaksanakan sholat subuh. Rani langsung ke dapur setelah menunaikan ibadah sholat subuh. Tidak lama disusul oleh Bude dan langsung mengambil bahan masakan serta mengiris bahan untuk memasak. Rani dan Bude sangat […]

      Okt 16, 2024
    • Dalam dunia pendidikan modern, pendekatan sosial emosional semakin banyak dibahas. Salah satu model yang mendapatkan perhatian khusus adalah **EMC2 sosial emosional**. Namun, apa sebenarnya yang dimaksud dengan Definisi EMC2 sosial emosional? Mengapa pendekatan ini penting dalam pembelajaran? Mari kita bahas lebih lanjut untuk memahami bagaimana EMC2 berperan dalam perkembangan siswa secara keseluruhan. Definisi EMC2 Sosial […]

      Okt 02, 2024
    • Part 14: Kopi Klotok Pagi hari yang cerah, secerah hati Rani dan semangat yang tinggi menyambut keseruan hari ini. Ia bersenandung dan tersenyum sambil mengiris bahan untuk membuat nasi goreng. Tante, yang berada di dekat Rani, ikut tersenyum melihat Rani yang bersenandung dengan bahagia. “Rani, kamu ada rasa tidak sama Rama? Awas, ya. Jangan suka […]

      Sep 18, 2024
    • Part 13 : Candi Borobudur Keesokan harinya Rama sibuk mencari handphone yang biasa membangunkannya untuk berolahraga disaat Rama berada di Jogja. Rama tersenyum dan semangat untuk bangun, membersihkan diri dan segera membereskan kamarnya. Tidak lupa Rama juga menggunakan pakaian yang Rapih untuk menemui Rani hari ini. Sementara Rani seperti biasa masih bermalas-malasan di dalam kamarnya […]

      Sep 07, 2024

    Latest News

    Buy Pin Up Calendar E-book On-line At Low Prices In India After the installation is complete, you’ll have the flexibility […]

    Jun 21, 2021

    Karya Nurlaili Alumni KMO Alineaku Hampir 10 bulan, Pandemi Covid -19 telah melanda dunia dengan cepat dan secara tiba-tiba. Hal […]

    Des 07, 2021

    Karya Lailatul Muniroh, S.Pd Alumni KMO Alineaku Rania akhirnya menikah juga kamu,,,  begitu kata teman2nya menggoda, Yaa,,,Rania bukan anak.yang cantik […]

    Des 07, 2021

    Karya Marsella. Mangangantung Alumni KMO Alineaku Banyak anak perempuan mengatakan bahwa sosok pria yang menjadi cinta pertama mereka adalah Ayah. […]

    Des 07, 2021

    Karya Any Mewa Alumni KMO Alineaku Bukankah sepasang sejoli memutuskan bersatu dalam ikatan pernikahan demi menciptakan damai bersama? Tetapi bagaimana […]

    Des 07, 2021