One small conversation leads to another. Sekitar dua tahun ini saya belajar bahwa proses untuk ‘menerima’ kondisi itu kadang makan waktu yang ngga sebentar. Soal apa nih? Soal yang pasti ada jawabannya. Haha, maaf ya, kalau udah mau menulis yang serius biasanya tingkat ‘kerecehan’ saya bertambah.
Sekitar awal tahun 2022, saya punya kesempatan diskusi alias ngobrol panjang dengan seseorang yang punya pengalaman banyak sebagai seorang konselor. Beliau banyak cerita bahwa hampir semua klien yang datang kebingungan dengan sebenarnya persoalan inti apa sih yang sedang dihadapi. Dan kalau mereka sendiri ngga bisa nerima kondisi yang seperti itu, maka kebanyakan akan menyalahkan diri sendiri, depresi, dan banyak ending yang kurang enak. Entah itu berhubungan dengan diri mereka sendiri ataupun dengan pasangan dan keluarganya. Satu hal, bahwa kadang kondisi denial yang biasa kita alami itu bikin kita menolak segala kemungkinan penyelesaian persoalan. Sebab kita dalam state yang ‘tidak menerima’ apapun, termasuk diri kita sendiri yang sedang merasakan emosi apapun itu. Namanya aja denial artinya menolak atau menyangkal, ya bagaimana mau ‘menerima’?
Kenapa memangnya dengan ‘menerima’ itu? Memangnya nggak boleh ya semua hal ditolak aja mentah-mentah biar kabur, terus ‘beres’. Hm, kondisi ‘beres’ itu apa sih sebenarnya? Hilang untuk sesaat, tapi beberapa waktu kemudian balik lagi dengan tensi yang lebih nyakitin? Atau gimana yang ‘beres’ itu tanpa penyelesaian? Ibarat nonton film, lagi seru-serunya eh mati listrik. Orang koleris macam saya, bakal setidaknya bereaksi dulu ya kan, haha, baru abis itu ingetin diri sendiri “sabar yok sabar.”
Manusia itu tiap waktu mesti ada aja yang mau diperbaiki atau melangkah lebih jauh. Itu namanya manusia yang ‘hidup’, dia punya ekspektasi, punya mimpi, mau berjalan dan berlari lebih lagi. Tapi seringnya begitu jalan sudah separuh jarak, di pertengahan ketemu batu kerikil yang banyak atau halang rintang yang tinggi. Terima dulu deh, oh ada batu sandungan nih, yah namanya hidup, yok bisa yok dilewatin. Terima dulu, lalu mikir bagaimana melewatinya dengan cara yang lebih efektif. Itu kerikil mau disapu? Atau dipungutin satu-satu? Atau dilewati aja tapi resikonya sepatu yang kita pakai rusak-rusak? Atau berhenti terus pindah ke jalur lain?
Mereka yang otak dan emosinya bisa berfungsi baik, tentu bisa tuh tarik napas dalam, jalan di tempat dulu sambil atur strategi lalu menemukan jalan keluar dan lari kencang deh akhirnya. Tapi bagi yang lagi sedikit disfungsional mungkin perlu lebih banyak waktu untuk lebih dulu menyembuhkan dirinya sendiri sebelum melangkah lebih jauh. Yang seperti ini nggak sedikit juga. Luka yang dirasakan seseorang itu memang nggak bisa dicari obatnya pada diri orang lain, dia perlu waktu dan kemampuan untuk mengobati dirinya sendiri. Pasti ada satu dua hal yang perlu diubah, supaya kondis jadi lebih baik dan lebih sehat.
Yang banyak lukanya, begitu lihat sandungan itu, bisa jadi mikir aku nih emang penuh kesalahan ya, sampe diuji terus kayak gini, tuh lihat banyak banget cobaannya, bisa apa ngga lewatinnya, aku nyerah aja kali di sini. Terlarut dalam pikiran tak berujung, tapi ujung-ujungnya sakit juga kan.
Yang trust issues bakalan terus overthinking dan menolak untuk melangkah maju karena merasa sudah pernah mengalami yang sakit-sakit, ngga mau sakit lagi untuk ke sekian kalinya. Memilih mundur teratur atau cut off sekalian. Hm, ini banyak juga sih jadi jalan keluar sementara. Saya sering juga gitu, haha.
Yang masochist bisa jadi bakal terabas aja tuh semua bebatuan mulai dari yang kecil-kecil sampai yang segede batu kali, biar tuh kaki berdarah-darah sampe pengkor juga lewat aja nggak peduli nyut-nyut di dalam hatinya, fisiknya sakit hatinya lebih sakit lagi. Ups, kok jadi sadis?
Kayaknya nih, sebelum bisa bersikap ‘menerima’ dan move on, kita mesti belajar untuk bisa menyembuhkan diri sendiri dulu deh. Bahasa healing itu menurut saya sih ngga sepele loh, jika ada orang yang nyebut-nyebut ‘butuh healing’ dan sejenisnya maka bisa jadi memang dia lagi butuh orang lain. Untuk dengerin cerita panjangnya, untuk bantu menemukan sebenarnya persoalan terpentingnya itu yang mana, untuk kasih semangat, untuk bilang bahwa ngga ada yang salah dengan dirinya yang lagi ada persoalan hidup. Atau momen healing yang sering terjadi adalah menghilang sesaat dari peredaran untuk tidur seharian di kamar.
Kayaknya bagi setiap orang memang nggak sama cara menyembuhkan lukanya ya. Waktu saya ngobrol panjang dulu itu, beberapa orang (termasuk ibu konselor yang ngobrol ama saya) menyarankan hal yang sama: kamu perlu lebih sibuk lagi dari ini. Hahaha, saya nyembur ketawa otomatis waktu dengar itu. Tapi langsung mengiyakan sih, karena kayaknya salah satu sarana healing bagi saya itu selain tidur dan baca adalah makin sibuk ke sana kemari. Tentu nggak sama dong kita ya kan, jadi kita memang perlu banyak mengenali diri supaya jadi tahu apa sih cara untuk kita bisa cooling down lalu lanjut produktif lagi. Bahasa itu lebih enak deh daripada nyebut meditasi, cari wangsit, atau sebutan lainnya karena maknanya buat saya deep aja sih. Itu kan proses seseorang menyembuhkan dirinya sendiri, menata kembali pikiran dan emosinya, juga menyusun langkah besok akan ke mana arahnya. That’s deep. Itu ‘pendinginan’ versi saya. Soalnya saya keturunan naga yang suka nyembur api, panas hawanya kalau emosi.
Apakah terus dengan kemandirian penyembuhan ini persoalan cepat selesai? Hehe, belum tentu, tapi kita berdoa ya. Mau kamu perempuan atau lelaki, hidup sendirian itu menurut saya nonsense, kita butuh orang lain. Kalau Allah kasih rezeki dan jodoh, maka kalimat saya berikutnya adalah kita butuh pasangan untuk melengkapi. Nah kalau belum rezekinya atau belum tersambung jodohnya? Ya proses untuk ke sana ada di bab lain dalam kehidupan kita. Apapun yang kita udah alami atau sedang alami, itu pelajaran buat kita yang ngga bisa deh kita buang jadi memori sampah, semua itu berharga banget. Kita tidak akan jadi sekuat dan sekeren saat ini kecuali karena kita sudah melewati banyak banget proses tempaan itu. Setiap orang punya cerita istimewa yang berbeda. Bagi yang nggak mau punya jodoh? Hehe, siapa tahu ada ya kan, semoga rasa takut dan trauma serta alasan apapun yang kamu miliki saat ini suatu saat nanti bisa kamu temukan keputusan terbaiknya. Apapun itu. Saya ngga mau menilai apapun, soalnya itu diri saya yang dulu.
Kembali ke soal healing ini, saya nulis begini karena baru sadar lucunya proses healing versi saya. Bagi saya sih lucu, karena rupanya benar sekali bahwa salah satu hal yang bisa bikin saya lebih bisa menyelesaikan persoalan adalah punya fokus kesibukan yang lebih dari sebelumnya. Lebih banyak waktu untuk berpikir, mengatur strategi, mencoba hal baru, melakukan pekerjaan, sampai akhirnya setelah lewat dari 3 tahun ikut pelatihannya saya mulai lagi metode narrative writing therapy ini. Memaksa diri menulis tiap hari. Bukan di diary macam anak sekolah dulu, tapi menulis blog lagi. Soalnya jalan-jalan aja ternyata nggak bikin otak saya kerja, kurang jauh dan kurang banyak kali jalannya sih, ya.
Baiklah saudara-saudara sebangsa dan sedunia maya. Lanjutkan healing Anda! Apapun itu, yang bikin kamu lebih senang dari biasanya, lebih merasa oke dari sudut manapun kamera foto memotret Anda.
Kreator : Dixie Maia
Comment Closed: Healing
Sorry, comment are closed for this post.