Sejauh ini tenang dalam menikmati perjalanan kehidupan menjadi suatu hal yang sangat penting, untuk terus diperhatikan. Di tengah bermunculan mental illness, yang bisa datang kepada siapapun, terlebih tidak mampu memanage pikiran dan pengaruh negatif yang muncul.
Dulu, sebelum mengenal dunia maya juga media sosial. Arus informasi didapat hanya dari lingkungan sekitar, media cetak juga televisi. Setelah perkembangan zaman dan kemajuan teknologi, kemudahan mengakses informasi di media sosial semudah mengedipkan mata. Tidak merasa nyaman dengan satu suguhan konten, bisa beralih dengan suguhan yang lain. Terpampang nyata baik hal yang menyedihkan maupun hal yang membahagiakan. Sehingga pikiran dan hati terbanjiri dengan suguhan yang sedikit banyak berdampak pada perasaan dan pola pikir.
Informasi yang tidak dapat lagi dibendung arusnya memberikan efek domino, lambat laun tanpa dirasa muncul semacam validasi dalam diri terhadap suguhan konten maupun informasi yang dilihat. Betapa validasi itulah yang membuat hidup terasa tidak baik baik saja.
Semula gawai dengan merk yang standar dirasa sudah cukup, seketika ingin mencoba yang lebih lengkap fitur juga penampilannya. Semula terasa cukup sebagai media komunikasi, kini menjadi tolak ukur sebuah gengsi ataupun status sosial. Tidak hanya ingin menaikan status kehidupan, tapi juga keinginan keinginan yang belum sesuai kebutuhan terkesan dipaksakan hanya karena sebuah validasi dari media sosial. Gaya hidup semakin terasa berat, ketika melihat dan menjadikan media sosial sebagai perbandingan hingga perlombaan.
Boleh berangan lebih, tetapi hendaknya menempatkan rasa syukur dan cukup sebagai pondasinya. Agar yang dilihat dari media sosial bukan untuk ajang berlomba namun fatamorgana semata. Terkadang, apa yang nampak indah dari media sosial seseorang tidak selalu indah pada kenyataannya. Teringat sebuah tulisan, karyawan yang berdasi dan ber pantofel mengkilap menaiki mobil dengan keluaran terkini, tidak pernah menampakkan lelahnya bekerja. Seorang ibu dengan anak yang selalu ceria dan lucu, tidak pernah menampakkan ujian berat masa masa mengasuh putra putrinya. Sepasang suami istri yang telah menjalani rumah tangga belasan tahun, dengan bahagia membagikan momen travelling maupun sekedar menyeruput kopi di cafe sudut kota, tidak pernah menampakkan tangisnya menjalani ikhtiar panjang penantian.
Begitulah hidup akan baik baik saja ketika tidak menjadikan media sosial ruang untuk validasi diri. Gaji sedikit akan tetap terasa cukup dan berkah setelah terucap kata syukur alhamdulillah. Rumah sempit akan terasa lapang jika penghuni ikhlas menempatinya. Kendaraan yang masih layak dipakai dan masih mampu menjadi transportasi untuk bekerja, akan terasa nyaman jika diniatkan untuk beribadah menafkahi keluarga. Masakan sederhana yang tersaji di meja makan akan terasa lebih sedap dan mengenyangkan, jika diracik oleh tangan yang selalu memanjatkan doa.
Semua terasa cukup, semua terasa baik baik saja, ketika diri tidak bermudah mudahan dalam memvalidasi nikmat yang sudah diberikan. Titipkan segala kekhawatiran hidup kepada Allah, setelah ikhtiar panjang yang telah dijalani. Hidup akan terasa baik baik saja. Bukankah Allah telah berfirman dalam surat An-Najm ayat 48, “Dan, Dialah yang memberikan kekayaan dan kecukupan.”
Ternyata Allah sudah menakar dengan sebaik baiknya, nikmat yang diberikan kepada hamba hamba-Nya. Mari berhenti menghawatirkan akan hal hal yang nampak dari apa yang dilihat. Karena keindahan dan kebahagiaan dari media sosial hanya bunga dunia yang bi dikecap sesaat.
Wallahu A’lam.
Kreator : Diyah Laili
Comment Closed: Hidup Akan Baik-Baik Saja
Sorry, comment are closed for this post.