Pagi itu matahari bersinar cerah. Namun tidak dengan hatiku yang masih kelabu. Meski aku tetap beraktifitas menyiapkan makanan untuk mamak dan ketiga anakku dengan ditemani air mata yang tak juga mau berhenti menetes setiap kali aku teringat bayangan suamiku.
Aku belum sanggup beraktivitas keluar rumah. Hidupku hanya di dalam rumah, menangis, dan menangis. Beruntung anak-anakku seakan mengerti dengan semua keadaan ini.
Terdengar Zamzami masuk ke dalam kamar mandi. Dia bersiap hendak berangkat sekolah, tapi tidak denganku. Aku belum sanggup untuk hadir ke sekolah.
“Sarapan dulu, Nak,” ucapku kepada Zamzami yang terlihat segar dan rapi dengan pakaian sekolahnya.
“Iya, Bu.” Zamzami segera mengambil piring makannya. Dia sarapan dengan cepat,
“Bu, aku berangkat sekolah, ya.” Zamzami, berpamitan setelah selesai sarapan, saat aku sedang menyuapi si kembar. Dia mengambil tanganku, menciumnya kemudian mengambil sepatu, menyisir rambutnya, dan melangkah menuju sekolahnya yang tak jauh dari rumah.
Si kembar telah dijemput oleh pengasuhnya. Mamak memberi makan ayam di kandang belakang rumah. Aku duduk di ruang tamu seorang diri. Mengingat keempat buah hatiku yang masih sangat membutuhkan perhatianku, kehadiranku. Hingga kesadaran itu membawaku pada perenungan mendalam bahwa aku harus segera bangkit dari keterpurukan ini, aku tidak boleh berlarut-larut dalam perasaan yang tiada ujung pangkalnya ini.
Kasihan anak-anakku, mereka tentu lebih sedih lagi karena tempatnya bermanja kini tiada lagi. Aku tak boleh egois dengan hanya memikirkan diriku sendiri.
Aku harus membuka diri, bergaul dengan banyak orang untuk mengalihkan rasa sakit dalam hatiku. Aku membutuhkan aktivitas yang akan membuatku sangat sibuk dan menguras waktu dan pikiranku hingga tidak ada lagi ruang yang membuatku teringat hal sedih yang tengah menerpaku.
Tiba-tiba aku dikejutkan dengan suara dering ponselku. Di layar ponsel terpampang nama sahabatku semasa kuliah, Dewi namanya.
“Assalamu’alaikum, Nik.” sapa temanku dari seberang sana.
“Waalaikumussalam.” Sahutku dengan suara bergetar. Ku tahan diri agar air mata ini tak tumpah.
“Nik, turut berduka cita, ya. Anik harus sabar,” ucapnya dengan suara tertahan.
“Iya, makasih, Wi.” Suaraku parau.
“Dah sarapan belum, Nik?” tanya Dewi degan suara prihatin. Aku diam tak menyahut.
“Kamu harus makan, Nik. Jaga Kesehatan, ya, Nik. Inget anak-anakmu. Jangan sampai kamu kenapa-kenapa. Kasihan mereka.” ucapnya mengingatkanku. Sepertinya dia bisa menduga bahwa aku belum menyentuh makanan.
“Iya, Wi. Makasih,” suaraku semakin serak.
Aku tak sanggup lagi berkata-kata. Tangisku pecah seketika. Dewi mendengarkan tangisku, menunggu hingga aku bisa menguasai kembali diriku, membiarkanku meluapkan kesedihanku. Tak lama, Dewi mematikan sambungan telepon setelah sekali lagi memberikan semangat, dan lagi-lagi mengingatkanku untuk segera makan.
Beberapa pesan juga masuk dari beberapa sahabatku yang lain dengan pesan yang sama, mengingatkanku untuk tidak lupa makan.
Saudara-saudara kandungku dan saudara kandung suamiku tak henti-hentinya memberiku semangat. Tiap hari mereka menanyakan kabarku lewat telpon. Mereka adalah orang-orang baik yang Allah kirimkan untuk menemaniku meski lewat udara, tapi itu sangat cukup bagiku. Aku sangat membutuhkan penguat dan penyemangat agar aku tetap bisa menjalani hari-hariku ke depannya.
Perjuangan hidupku bersama keempat buah hatiku baru saja dimulai tanpa adanya sosok ayah di sisi kami.
“Bagaimana aku bisa berperan sebagai Ibu sekaligus sebagai Ayah mereka?” aku bermonolog dalam hati. Tangisku kembali memecah kesunyian hatiku.
Hatiku masih berada pada kondisi yang tak menentu. Aku berjalan menuju lemari buffet, mengambil sebuah album foto kami sekeluarga, aku, suami, empat anakku, dan Mamak mertuaku. Kuelus lembut wajah suamiku yang tersenyum. Perlahan kudekatkan wajahku ke foto itu. Lama, ku cium wajah suamiku penuh rasa rindu.
“Kerinduan ini dalam, Mas.”
Ku angkat wajahku ke langit-langit kamar. Kupejamkan mataku. Air mata masih menetes membasahi pipiku yang muram dan kusam. Aku hidup bagai raga tanpa nyawa, berjalan seperti mayat hidup.
Ingatanku kembali melayang pada masa-masa kebersamaan kami selama 16 tahun ini. Kenangan-kenangan indah, kebahagiaan yang kami rajut, tawa karena hal kecil, begitu sederhana namun membuat hati bahagia.
Teringat bagaimana suamiku memperlakukanKU dengan lembut dan penuh kasih, menyisipkan rasa penyesalan. Aku belum mampu membuatnya bangga dan bahagia.
“Ya Allah.”
Lembut aku menyebut asma-Nya. Kubisikkan sebait do’a di tengah kegelisahan hatiku. Mulai hari ini, aku berperan sebagai ibu sekaligus Ayah bagi keempat anakku.
“Mampukan aku, ya Allah.” lirih pinta ku ucapkan.
Kreator : Suharni
Comment Closed: Hidup Tanpa Dirinya
Sorry, comment are closed for this post.