Saat semburat merah jingga menerpa lembut wajah pantai dan burung-burung camar terbang menuju dermaga, nyanyian merdu sang bayu meniup pohon bakau di dekatku. Sedang ombak laut yang menghantam karang Ikut mendengarkan niat sucimu tuk melamarku. Degup jantungku berdetak kencang, tak kusadari air mata ini mengalir membasahi pipi. Tepatnya setahun yang lalu saat aku masih duduk di bangku SMA engkau hadir dan menyatakan perasaanmu padaku. Aku yang sudah cukup lama mengenalmu tanpa ragu menerima cintamu. Bagiku kau adalah sosok yang selama ini aku cari. Seorang pria yang sederhana, jujur, taat dalam beragama, penyayang juga pengertian. Satu lagi kau adalah sosok yang begitu penyabar.
Seperti yang sudah kita sepakati bahwa kita akan menyelesaikan studi terlebih dahulu sebelum akhirnya mengikat janji nan suci di depan penghulu. Selama itu pula kita sama-sama menjaga hati dan perasaan untuk tidak tergoda pada orang lain. Lulus SMA aku melanjutkan study di perguruan tinggi yang ku impikan. Di sana aku banyak mengenal pria. Tak sedikit dari mereka menaruh hati padaku. Namun, tak satupun yang mampu mengusik hatiku. Sebab, hanya namamu lah yang telah menghuni ruang hatiku.
Empat tahun kujalani masa-masa menjadi seorang mahasiswa. Engkau yang juga menempuh bangku kuliah seringkali hadir membantuku menyelesaikan tugas dari kampus. Aku sangat bersyukur, meski tak satu kampus namun kau selalu ada saat aku butuhkan. Kini, di hari yang selama ini kita nanti-nantikan telah tiba. Senyum ceria menghiasi wajah kedua orang tuaku. Ada rasa bangga saat namaku dipanggil. Tak ingin melewatkan momen yang sangat berharga itu, kami segera mengabadikannya lewat jepretan-jepretan kamera sang fotografer. Tiga puluh menit berlalu, dering telepon genggam terdengar di tas jinjingku. Segera kuangkat panggilan darimu. Rupanya kau telah berdiri di halaman kampus. Aku pun bergegas dan menemuimu. “Selamat ya Vira? Semoga ilmunya bermanfaat” ucapmu menyambut kedatanganku sambil mengulurkan tangan. Tak lupa aku pun mengucapkan selamat untukmu.
Malam harinya, Aldi datang mengajakku makan malam sembari merayakan kelulusan kami. Senyum bahagia terpancar dari wajahnya. Sambil menikmati makan malam, Aldi mulai menggodaku, “Akhirnya, tak lama lagi aku bakal menggondol pulang anak orang!”
“Sssst…malu didengar orang” Jawabku sambil mencubitnya. “Hehehe…Alhamdulillah hubungan kita akan segera halal” Ucapnya.
Satu bulan setelah kelulusan itu, kami mulai disibukkan dengan segala persiapan berkaitan dengan acara pernikahan yang tidak lama lagi akan segera digelar. Surat undangan telah siap untuk dibagikan. Sedang untuk keperluan lainnya kakak perempuanku lah yang mengurusnya. Seminggu yang lalu keluarga Aldi telah datang ke rumah mengantarkan seserahan. Rasanya hati ini berdebar-debar menyambut hari nan sakral yang telah dinantikan.
Tepat di hari yang kami nantikan, cuaca tampak mendung. Tanda hujan akan segera turun. Aku berdo’a dalam hati, semoga hujan tak jadi turun. Kasian Aldi dan keluarganya yang masih dalam perjalanan menuju ke rumahku. Pukul 08.00 WIB, sesuai jadwal aku gelisah menunggu kedatangan rombongan Aldi dan keluarga besarnya. Lima belas menit berlalu belum ada satu pun dari mereka yang sampai. Aku mencoba menenangkan diri, “Ah, mungkin karena kondisi hujan” ucapku dalam hati.Kedua orang tuaku mulai panik. Ibu menyuruhku untuk segera menghubungi Aldi. Aku pun segera membuka benda pipih yang sedari tadi ada digenggamanku. Namun, tak ada jawaban dari panggilanku. Hanya berdering saja. “Ya, Tuhan…ada apa ini? Semoga mereka semua baik-baik saja” Pintaku.
Hujan kian deras membuat hatiku semakin tak menentu. Pukul 09.00 WIB, datang seorang lelaki paruh baya menyampaikan pesan dari keluarga Aldi. Aku sungguh curiga saat lelaki itu berbisik pada ayahku. Raut muka ayah tampak begitu terkejut. Tak lama utusan pun berpamitan. Tak sabar aku segera menghampiri ayah, “Ada apa yah?” Tanyaku. Ayah tak segera menjawab, ia lalu mengelus kepalaku sambil berkata, “Kamu yang sabar ya nak?”. Sungguh sebuah kabar yang tak pernah kuduga sebelumnya. Aldi kecelakaan di jalan saat menuju ke rumahku. Sebuah sepeda motor melaju dengan kencang di pertigaan dan menabrak mobil yang dikendarai calon mempelai pria. Sang sopir yang sangat terkejut tak mampu mengendalikan mobilnya. Beberapa orang terluka termasuk Aldi.
Tak mampu kumembendung air mata ini. Rasanya sangat sulit mempercayai semua kenyataan pilu ini. Di hari yang semestinya kami merasakan kebahagiaan justru malah duka yang menghampiri. Saat ini Aldi sudah dilarikan ke rumah sakit. Aku sangat mengkhawatirkan kondisinya. Kakak perempuanku dan suaminya berpamitan pada ayah dan ibu untuk memastikan seperti apa kondisi Aldi. Tak peduli dengan kostum yang membalut tubuhku aku pun ikut mereka. Ayah dan ibu tak bisa lagi mencegahku, sebab mereka pun tau kepedihan yang kurasakan.
Sesampainya di rumah sakit, kami segera menuju ruangan tempat Aldi dirawat. Di sana ayah dan ibu Aldi yang hanya luka ringan tengah menunggu hasil pemeriksaan dokter. Aldi Nampak terkulai lemas. Wajahnya begitu pucat. Luka di kepalanya membuat perdarahan yang hebat. Tak lama dokter menghampiri ayah Aldi dan mengatakan bahwa Aldi sedang tak sadarkan diri dan butuh darah secepatnya. Begitu teriris aku mendengarnya. Dengan sigap keluarga segera mencari pendonor. Sebab stok jenis darah yang dibutuhkan Aldi sedang kosong. Aku pun tak tinggal diam, aku segera menghubungi keluarga juga teman-teman dekat. Barangkali ada diantara mereka yang mau mendonor.
Cukup lama kami menunggu tak jua memperoleh darah yang dibutuhkan. Hingga kami dikejutkan oleh tangisan ibu Aldi yang sedari tadi menunggui putra tunggalnya itu. Aku yang baru saja selesai menunaikan sholat dzuhur mempercepat langkah kaki menuju ke ruang Aldi dirawat. Langkahku terhenti saat melihat sang ibu tengah memeluk Aldi sambil menangis. Sedang ayahnya duduk lemas di kursi dekat Aldi. Aku segera bertanya ke mereka, “Ada apa pak,bu… Aldi kenapa?” “Maafkan Aldi ya nak, ikhlaskan dia” Ucap sang ibu. Gelap rasanya mataku mendengar kalimat yang terucap dari bibir wanita yang sangat menyayangi Aldi. Aku pun menghambur pada tubuh yang sudah terbujur kaku. Kucoba memanggil dan menggerakkan tubuhnya berulang kali. Namun tak ada sahutan. Aku pun menangis merasakan kepedihan yang tak terkira. “Aldi…begitu cepat kau meninggalkanku. Dihari bahagia kita mengapa semua ini harus terjadi?” Ucapku sambil terus menangis. Hingga belaian lembut tangan ibu menyentuh pundakku. “Sudahlah nak, tak ada yang menginginkan semua ini. Tapi Tuhan telah menggariskan kebersamaan kita dengan Aldi hanya sampai di sini. Ibu ingin anggaplah ibu ini mertuamu meski kalian belum jadi menikah” Pinta Bu Nuri sambil memelukku. Aku pun hanya mengangguk sebab rasanya bibir ini terasa kelu untuk menjawabnya.
Kreator : Sri Dewi Rejeki
Comment Closed: Hujan dan Nestapa
Sorry, comment are closed for this post.