Roda waktu bergulir, masa berganti seakan hanya sekejap mata saja. Banyak hal berubah, dari kebiasaan lama dipaksakan menjadi kebiasaan baru. New Normal bahasa kerennya. Yeah, pandemi covid-19 membuat dunia seperti berputar dengan arah berlawanan.
Dulu, seingatku ada peribahasa “Bersatu kita teguh, bercerai kita runtuh”. Tapi, kenyataannya peribahasa ini tidak berlaku bahkan bertolak belakang dengan sikon pandemi ini. Malah sebaliknya, kita dilarang untuk saling kontak dan berkumpul agar bisa mempercepat pemutusan rantai penularan virus Covid itu sendiri.
Dampak pandemi ini terasa sangat besar juga di bidang pendidikan. Kebijakan belajar dari rumah memaksa orang tua harus menjadi Guru pendamping anak-anak dirumah karena interaksi melalui layar pun waktunya dibatasi dengan pertimbangan kesehatan mata anak-anak.
Sungguh menjadi tantangan tersendiri bagi kami orang tua yang bekerja di bidang kesehatan, bagaimana bisa membagi waktu antara pekerjaan dan pendidikan anak-anak sembari berusaha memastikan kami tidak membawa virus pulang ke rumah.
“Mama,… Miss pu suara tra jelas ini. Bagimana kah? Sa jadi tra mengerti apa yang Miss jelaskan. Ada tugas juga ini o…” keluh si sulung dengan logat Papuanya yang kelas daringnya tersendat-sendat karena kendala cuaca, yang bukan baru 1-2 kali terjadi. Maklum, kami tinggal di pedalaman Papua, yang sinyal internetnya bergantung pada cuaca karena terhubung langsung dari satelit. Memang sih, daerah kami masih Green Zone untuk Covid-19, tapi karena alasan keamanan yang sering tidak kondusif mengakibatkan guru-guru di sini jarang berada di tempat seharusnya mereka bertugas dan imbasnya sekolahan di tutup dengan waktu yang tidak bisa ditebak sampai kapan.
Demi memenuhi kebutuhan anak-anak kami dalam hal pendidikan serta tanpa mengesampingkan tugas dan pelayanan kami sebagai tenaga medis di daerah pedalaman yang terisolir ini, jadilah anak-anak kami mengenyam pendidikan yang lain dari pada yang lain.
Jika biasanya anak-anak pergi ke sekolah, belajar dituntun guru serta bermain dengan teman sebaya dikelasnya, selanjutnya mengikuti les atau kelas tambahan seusai pulang sekolah, berbeda dengan anak-anak kami. Mereka mengikuti kelas daring, yang syukur puji Tuhan, diadakan di era New Normal dan bisa berlangsung sampai pandemi covid-19 dinyatakan telah lewat melalui Kurikulum Merdeka Belajar.
Anak-anak kami hanya bertemu guru sekolah ya 1 kali dalam seminggu, hanya untuk mempresentasikan hasil belajar mereka selama seminggu sebelumnya. Dan kemudian gurunya akan memberikan tugas untuk seminggu kedepannya. Interaksi dengan guru juga hanya via layar tanpa pernah bertemu langsung. Selanjutnya, anak-anak kami setiap harinya belajar dirumah dengan jadwal yang disesuaikan dengan pelajaran yang wajib mereka kuasai dan tugas dari sekolah.
Untuk kegiatan ekstrakurikuler, kami memanfaatkan berbagai aplikasi, baik yang gratis maupun berbayar langganan, ada guru interaktifnya atau hanya diberikan akses video tutorial, dari dalam maupun luar negeri. Anak-anak jadi terbiasa berkomunikasi dengan bahasa asing karena bertemu dengan guru-guru daring dari berbagai negara di belahan dunia berbeda. Ada banyak sekali pilihan yang beredar didunia maya, tinggal kita sebagai orang tualah yang harus bijak memilih mana yang terbaik sesuai kemampuan otak anak, penyesuaian perbedaan waktu dengan guru dari negara lain dan juga kemampuan finansial orang tua.
Anak-anak jadinya lebih banyak belajar dengan tuntunan orang tua di rumah, yang memberi dampak psikologis positif meningkatkan bonding antara anak dan orang tua tentunya. Namun, di lain pihak, secara psikologis anak-anak juga dirugikan karena tidak bergaul dengan teman sebayanya. Rasanya seperti mencabut hak bermain mereka. Menyakitkan namun tetap harus dilakoni dan dijalani juga.
#HybridSchoolingLife tercetus dari cara kami mendidik anak-anak. Karena kami, orang tua yang punya anak di pedalaman juga mau agar anak-anak kami bisa bersaing pula dengan anak-anak yang hidup, dibesarkan dan belajar di kota dengan segala fasilitasnya. Itulah yang kami perjuangkan di pemukiman tertinggi pegunungan Papua di sini.
Melakoni peran sebagai guru di rumah untuk dua siswa dengan rentang usia yang berbeda, dengan kebutuhan pendidikan yang berbeda, dengan sifat dan karakter anak yang berbeda pula, menjadi tantangan tersendiri bagi kami orang tua untuk bisa memfasilitasi kebutuhan pendidikan mereka. Banyak hal yang harus kami pelajari sebelum mengajarkannya pada anak-anak.
#HybridSchoolingLife menjadi solusi dan inovasi adaptasi pendidikan untuk anak-anak kami, yang cocok dan pas dengan sikon kami saat ini. Istilah ini muncul dari pengalaman keseharian kami, dimana ada saatnya mereka berinteraksi dengan guru dan teman sekelas melalui layar, dan ada waktunya mereka belajar langsung dari kami orang tua yang menjadi guru dirumah dengan cara interaksi bertatap muka.
Ketika dalam pekerjaan dan pelayanan kami dituntut untuk berkontak dengan pasien yang sangat berpotensi tertular virus apa saja, dengan segala keruwetan SOP untuk pencegahan yang sangat menyita waktu saat pulang ke rumah, menjadi sumber stress baru untuk kami menyeimbangkan lagi irama kehidupan yang berpacu dengan waktu yang tak kunjung bertambah detik, menit dan jamnya disetiap hari yang kami lalui.
Dibatasi oleh gunung-gunung, lembah-lembah dan sungai-sungai besar secara geografis, tanpa ada akses darat untuk transportasi ke tempat kami disini, tidak menjadi alasan untuk kami berpasrah dan berpuas diri dengan segala keterbatasan yang disuguhkan untuk kami taklukkan.
Belum adanya layanan dari perusahaan penyedia Listrik, belum adanya sarana air bersih yang memadai, belum adanya jaringan telepon dan internet yang stabil, tidak mematahkan semangat dan tekad kami untuk mendidik anak-anak kami dengan cara dan fasilitas yang dapat kami usahakan seoptimal yang kami bisa.
Semoga kedepannya nanti, sistem #HybridSchooling yang kami terapkan bisa terus kami perbarui sesuai tuntutan kebutuhan zaman yang senantiasa berubah setiap saat, agar anak-anak kami pun walau lahir, besar dan di didik di pedalaman Papua, tak akan kalah bersaing dengan anak-anak seusianya di tempat lain yang lebih beradab.
Kreator : Vidya D’CharV (dr. Olvina ML.L. Pangemanan, M.K.M.)
Comment Closed: HybridSchoolingLife
Sorry, comment are closed for this post.