“Mama… Dimana boneka bayiku?” teriak si bungsu ketika ia bangun dari tidur siangnya dan tidak mendapati boneka bayinya di sampingnya.
“Jatuh di samping tempat tidur mungkin, De.” teriakku dari dapur saat itu, diikuti suara berdecit dari lantai papan rumah kami yang bernyanyi saat ada yang bergerak.
“Ma… Toples figurin legoku dimanakah?” teriak si sulung dengan logat Papuanya.
“Ko taruh dimanakah kemarin? Mama su bilang toh, selesai main dirapikan and put it back to it place, as always! Biar mudah ditemukan kalo mo di pake kan, Kak?” balasku nyerocos dengan bahasa gado-gado yang kami gunakan sehari-hari di rumah.
“Amo, ada lihat cap perusahan yang oval?”
Tak kalah rempong Pak Suami juga menambah kemeriahan rumah di siang yang rempong ini dengan kebiasaannya yang juga selalu lupa untuk menaruh kembali barang pada tempatnya. Memang benar ya, buah jatuh tak jauh dari pohonnya, lirihku dalam hati sambil senyam-senyum dongkol sendiri.
Itulah sepenggal dari keseharianku yang sepertinya diputar berulang-ulang dengan nyanyian yang sama setiap hari. Selalu saja ada barang entah besar ataupun kecil yang dicari dan SELALU tidak ada ditempatnya.
Layaknya lagu yang terus diputar berulang kali, membuat pendengarnya hafal dari intro, lirik, ketukan, music sampai pada endingnya, dan akhirnya jadi membosankan untuk mendengarkannya kembali. Demikian juga telingaku yang sudah mencapai titik jenuhnya mendengar pertanyaan yang sama setiap harinya. Dimana ini? Dimana itu? Dan, selalu akan ku jawab dengan pertanyaan yang sama pula.
“Kemarin habis pakai dikembalikan tidak ke tempatnya?”
Di rumah kecil mungil kami yang terletak di pedalaman Papua yang asri dan menggigil ini, harusnya mudah saja untuk melihat dan menemukan barang yang dicari. Toh keseluruhan rumah berada dalam radius jarak pandang mata normal. Tapi, entah mengapa ketiga sosok yang hidup serumah denganku ini selalu dan selalu saja bertanya dimana keberadaan barang yang akan mereka gunakan.
Padahal, anak-anakku sejak mulai belajar merangkak sudah ku latih dan ajarkan untuk mengembalikan mainan atau benda apapun yang terlihat tidak pada tempatnya. Pak Suami dan anak-anak pun ikut terlibat aktif dan wajib dalam hal membersihkan dan merapikan rumah setiap hari karena kami tidak mampu untuk menggaji ART.
Masih menjadi misteri bagiku, mengapa hal sepele ‘meletakkan kembali benda pada tempatnya’ menjadi hal yang sulit mereka lakukan? Apakah karena memang mereka malas melakukannya? Ataukah hanya karena mereka senang menggangguku dengan kebiasaan mereka itu? Ataukah mereka sangat hobi mendengarkan suara cemprengku menggelegar di seisi rumah sepanjang hari?
Sewaktu masih duduk di bangku pendidikan, pikirku cukuplah sudah pendidikan yang ku tempuh sejak TK, SD, SMP, SMA, S1, Profesi sampai S2 sebagai bekal untuk menjadi “Ibu Ideal” yang bisa memenuhi kriteria ibu terbaik yang bisa mengurus Suami dan mengurus rumah, bisa melahirkan dan mendidik anak dengan segala baik, bisa masak makanan bergizi yang menjadi favorite sekeluarga, bisa dengan sabar menjalani hari dengan senyum tanpa omelan, dan bisa jadi ibu yang sehat fisik dan mentalnya.
Namun, pada kenyataannya gelar “Ibu Ideal” sepertinya hanyalah wacana fiksi yang jauh dari kenyataan hidup sehari- hari. Nyatanya, pendidikan formal dibangku pendidikanpun tidaklah memadai untuk membekali diri ini menjadi “Ibu ideal” yang menjadi impianku.
Realita yang ada, aku hanyalah ibu yang masih perlu belajar dan terus memperbaiki diri setiap hari, karena ada saja hal yang masih kurang pas ku lakukan setiap harinya. Mulai dari masakan yang kadang tawar, kadang ke asinan. Acap kali kehabisan ide menu untuk masakan hari ini agar memenuhi gizi seimbang buat keluarga. Belum lagi kesabaran yang lebih tipis dari selembar tissue kering ini, entah bagaimana cara menebalkannya, karena setiap hari tergerus dengan hal-hal sesepele ‘meletakkan kembali benda pada tempatnya’ yang abai dilakukan pakSu dan anak-anak.
Ku hanya bisa berserah pada Yang Kuasa. Memohon tuntunanNya saja agar aku bisa terus belajar dan memperbaiki diri setiap saat, agar kelak bisa menjadi “Ibu Ideal” suatu saat nanti. Doaku.
Kreator : Vidya D’CharV (dr. Olvina ML.L. Pangemanan, M.K.M.)
Comment Closed: Ibu Ideal
Sorry, comment are closed for this post.