Tahun 2003 adalah tahun yang tidak bisa kulupakan sepanjang hidupku. Tahun paling suram, dimana aku kehilangan seorang bapak. Tidak hanya sebagai bapak, namun beliau adalah sang surya yang senantiasa menyinariku dalam kegelapan. Kala itu duniaku seakan runtuh, pun demikian dengan ibu. Masih terpatri kuat di ingatanku, ibu beberapa kali pingsan Ketika melihat bapak akan dimakamkan. Rasa kehilangan yang mendalam itulah yang kami rasakan. Pikiranku menerawang ditengah isak tangis saudara – saudaraku, yang ada dalam benakku waktu itu adalah bagaimana aku bisa melanjutkan kuliah tanpa bapak?
Aku adalah anak kedelapan dari 11 bersaudara. Kehidupanku sama dengan anak dusun kebanyakan yang sehari – hari berkutat dengan kehidupan pedesaan. Berenang di sungai, bertelanjang kaki menginjak rerumputan, bermain lempar lumpur di areal persawahan adalah hal biasa bagiku. Namun, mengenai Pendidikan, bapak dan ibu menerapkan Pendidikan yang sangat ketat dan disiplin.
Bapak selalu memberi nasehat kepada kami bahwasanya beliau rela menjadikan kepala untuk kaki dan kaki untuk kepala demi membiayai anak – anaknya sampai dengan perguruan tinggi. Pemikiran itu yang seringkali mendapat cibiran dan cemoohan dari para tetangga yang notabene meragukan, apakah bisa anak dusun bisa sekolah sampai perguruan tinggi, SMA saja sudah sangat beruntung. Tidak bisa disalahkan juga, Ketika orang-orang di desaku mencemooh seperti itu, karena sebagian besar anak – anak di desaku tidak bisa melanjutkan pendidikan ke sekolah yang lebih tinggi. Mirisnya lagi, anak – anak perempuan yang sudah lulus SD akan segera dinikahkan.
Sepeninggal bapak, perekonomian keluargaku morat marit. Ibu yang hanya seorang ibu rumah tangga, gelagapan tidak tahu caranya menghasilkan uang untuk menghidupi kami, sebelas anaknya. Almarhum Bapak yang bekerja sebagai PNS, hanya meninggalkan uang pensiunan untuk keperluan makan sehari – hari. Hanya mengandalkan gaji pensiunan bapak tentunya tidak cukup untuk biaya kuliah dan sekolah kami. Jangankan biaya sekolah. untuk makan sehari-hari pun terkadang masih kurang. Bagaikan berjalan terseok – seok di bukit yang terjal dan berbatu dengan membawa beban yang sangat berat. Itulah perumpamaan yang bisa aku gambarkan mengenai kondisi kami saat itu.
Suatu Ketika aku melihat ibu terisak di sudut kursi tamu. Tidak seperti biasanya ibuku menangis seperti itu. Karena sepengetahuanku, Sepahit apapun kehidupan yang kami jalani, ibu akan tetap tersenyum di hadapan kami, anak-anaknya. Kuberanikan diri mendekati ibu dan bertanya dengan hati-hati. Ibu bercerita sesenggukan, air matanya tumpah ruah membasahi kedua pipi ibu. Ternyata sewaktu ibu belanja di Mak Tursiyah, belanjaannya yang sudah ibu kumpulkan di plastik dan sudah dihitung, diminta Kembali oleh Mak Tursiyah, dikarenakan ibu berniat berhutang karena tidak ada uang sepeserpun. Betapa malunya ibu diperlakukan seperti itu didepan ibu – ibu lain yang sedang berbelanja. Mata – mata mereka seolah mencibir dan merendahkan ibu. Bahkan ada seorang ibu yang nyeletuk, “tidak usah sok – sokan kuliah, belanja sayur saja tidak mampu.’ Mendengar cerita ibu, seketika darahku naik, amarahku membuncah didada, ingin sekali kurobek mulut-mulut kotor mereka yang telah menghina ibuku. Tangan kukepal erat dan berjanji dalam hati akan sukses kelak dan menekuk hinaan, cemoohan dan cibiran para tetangga.
Ibuku yang sekarang bukanlah ibuku yang dulu. Dulu ibu sehari-hari disibukkan dengan mengurus kami dan rumah saja. Sekarang ibu harus membanting tulang siang dan malam guna mencukupi biaya sekolah kami. Kata ibu, tidak ada yang tidak mungkin jika Allah berkehendak. Man jadda Wa Jadda, kun fayakun. Pekerjaan apapun dilakukan oleh ibu, mulai dari menjahit, merias pengantin, dan menjual kue dan es lilin yang dititipkan ke warung tetangga. Ibu juga rajin menanam berbagai sayur mayur dan buah – buahan di pekarangan samping rumah, seperti cabe, bayam, tomat, pepaya, mangga dll.
Kami sebagai anak-anaknya tidak berpangku tangan membantu meringankan ekonomi keluarga. Aku dan adik-adikku seringkali ikut menjadi buruh mengupas kulit bawang merah di Juragan Wito. Kakak Perempuan tertuaku juga seringkali mendapat pesanan membuat kue dan snack dari teman – teman kuliahnya. Semua kakak laki – lakiku tiap sore mencari rumput dan dedaunan untuk makan kambing-kambingnya.
Tahun demi tahun dijalani dengan tertatih-tatih. akhirnya perjuangan dan kerja keras ibu membuahkan hasil. Satu demi satu, 11 orang anaknya menjadi sarjana di berbagai bidang ilmu. Anak pertama lulus dari AMN (Akademi Maritim Nusantara), cilacap. Anak kedua menjadi Dokter Umum. Anak ketiga menjadi Analis Kesehatan. Anak ke-empat menjadi Sarjana Teknik Mesin. Anak ke-lima menjadi Sarjana Pertanian. Anak keenam dan ketujuh menjadi perawat. Aku, anak ke-delapan menjadi Sarjana Teknik Lingkungan. Anak ke-sepuluh menjadi Sarjana Pendidikan dan si bungsu menjadi Sarjana Teknik Informatika.
Sampai detik ini aku masih takjub dan bertanya-tanya. Kekuatan apa yang ada di dalam diri ibu, sehingga bisa mengentaskan kami semua dari perguruan tinggi. Padahal beliau sendiri hanyalah lulusan MTS (SLTP).
Kini sudah saatnya ibu menikmati hasil dari pengorbanannya. Tunai sudah janji ibu kepada bapak, untuk menyekolahkan kami hingga sarjana. Kami akan senantiasa mengingat jasa dan perjuangan ibu membesarkan dan menyekolahkan kami hingga menjadi sarjana. Sembah sungkem untukmu ibu, kucium kakimu sebagai tanda bakti kami karena memiliki seorang ibu yang kuat dan tegar laksana batu karang di lautan.
Kreator : Roro Nawang Wulan
Comment Closed: Ibuku, Inspirasiku : Kisah Perjuangan Seorang Ibu yang Sukses Menjadikan 11 Anaknya Sarjana
Sorry, comment are closed for this post.