Rintik hujan membasahi bumi, di tengah sinar matahari yang mulai redup berganti malam. Diiringi kicau burung menyapa, tiba-tiba aku teringat ucapan putraku satu bulan yang lalu, Fakhry saat menghubungiku melalui telepon seluler. Sambil menutup mata ditemani sejuta mimpi, membayangkan indahnya hidup tanpa satu luka pun menggores hati.
Naik kelas 5 Alhamdulillah mama senang. Fakhry juga senang. Setiap kenaikan kelas dia selalu berkata dan selalu dia ulangi berkali-kali.
“Ma, kalau Mamas (fakhry menyebut dirinya) tidak naik, Mamas tidak mau lanjut, mau sekolah biasa saja. Capek, Ma. Bla… bla….” ucap Fakhry.
“Mamas mau sekolah dimanapun sama Mas. Semua tergantung kitanya masih mau berusaha atau tidak.” jawab saya yang selalu menguatkan Fakhry.
“Mama tidak mau memaksa kamu. Kamu sudah besar tapi kamu masih tanggung jawab kami. Apa dengan kamu menyerah di titik ini, temanmu, orang lain akan menilaimu baik? Tentu tidak, nanti kamu bakal kena omongan bukan hanya Mama. Coba pikirkan kembali.” Alhamdulillah, Fakhry semangat lagi.
Kini, tibalah saatnya Fakhry kembali ke pondok pesantren setelah liburan kenaikan kelas selama 50 hari di rumah. Sedari pagi dia tampak sibuk menyiapkan pakaian dan semua kebutuhan yang akan dibawa ke pondok pesantren.
Tahun ini adalah tahun kelima Fakhry akan mengenyam pendidikan di pondok pesantren. Ia berangkat ke pondok hanya berbekal dengan membawa uang saku Rp 100.000.
“Aku masih punya, Ma. Mama tidak perlu khawatir, insya allah uang saku ini masih cukup untuk Mamas.” ucapnya.
“Baik Mas, Mama hanya ikuti ucapan Mamas saja.” jawabku.
Sebenarnya saya masih mengkhawatirkan apa uang yang dia bawa nantinya cukup untuk memenuhi segala kebutuhannya saat di tiba di pondok selama satu bulan kedepan. Ah sudahlah. Itu hanya pikiran kosong yang ada di benakku, pikirku.
Hari berganti hari, bayar SPP (Sumbangan Pembinaan Pendidikan) yang harus dibayar setiap bulan, saya hanya bisa membayarnya di awal bulan saja.
Selain itu aplikasi ADM (Administrasi tempat pembayaran SPP, Tabsis/Tabungan Santri) tidak bisa digunakan/error. Dari sejak saat itu, saya tidak bisa membuka aplikasi ADM lagi sehingga tidak bisa membayar yang lainnya. Uang jajan untuk Fakhry hanya bisa saya titipkan kepada wali kelas.
Daftar Ulang (DU) yang harus dibayarkan setiap santri pada saat kenaikan kelas masih juga belum terbayarkan, sama seperti kelas 4 tahun kemarin. Maaf memang keadaan keuangan kami benar-benar lagi mendapat ujian.
Alhamdulillah, kelas 5 ini Fakhry mendapat amanah dari pondok menjadi mudabbir (istilah yang digunakan untuk menyebut santri terpilih yang ditunjuk untuk membina dan mengurus para santri di bawahnya. Mudabbir merupakan orang kepercayaan para asatidz/asatidzah pondok pesantren dan berperan penting dalam kehidupan para santri) bagian dapur. Akan tetapi, hanya berlangsung sebentar karena fakhry melakukan pelanggaran dengan memukul adik kelasnya yang ngeyel. Akhirnya, dia tidak menjadi mudabbir lagi, dan mendapat sanksi kepala botak dan tidur di masjid.
Saya hanya bisa membayangkan Fakhry pasti akan merasa kedinginan karena tidur tanpa kasur, hanya beralaskan sajadah. Tapi, Fakhry enjoy saja, kata dia selow mah banyak temannya. I am okay, katanya.
Pagi itu, tiba-tiba ponselku berdering. Dengan semangat empat lima saya angkat dan terdengar suara Fakhry dengan lirih.
“Assalamu’alaikum, Ma.” ucapnya.
“Walaikum Salam Warahmatullahi Wabarakatuh.” jawabku.
“Ma, ini Mamas.” ucapnya lagi.
“Iya, ada apa ???”, tanyaku sambil tertegun
“Ma, kemarin ada acara pelantikan OPPM (Organisasi Pelajar Pondok Modern), mohon maaf ya, Ma. Mamas belum terpilih karena nilainya tidak masuk standar.” ucapnya.
Fakhry masih melanjutkan ceritanya…
“Harusnya masuk, Ma. Tapi kata ustadz tidak boleh karena mamas sering tidur di kelas”, ucapnya.
“Mamas ditandai melulu sama ustadz, Ma. Kata ustadz, Mamas suka tidur di rayon teman, padahal sebenarnya tidak ada niat sih. Cuma lagi ngumpul saja, cerita-cerita terus ketiduran, katanya begitu.”
“Mudah-mudahan Mamas tidak melanggar lagi ya, Ma.” ucapnya.
“Kemarin belum lama di botak lagi, Ma.” ucapnya.
Saya kembali bertanya, “Kenapa Mamas sampai dibotak lagi?”
“Mamas tidak mengerjakan tugas. Pokoknya kalau mau ngajar itu harus membuat susunan materi yang nanti akan digunakan untuk mengajar, Ma.” jawabnya.
Terlepas dari permasalah Fakhry semuanya, dari kelas 4, 5 saya belum bisa membayar DU. Alhamdulillah, masih ada wali santri yang mau membantu untuk membayar DU Fakhry. Mudah-mudahan tahun depan tidak terulang kembali. Jujur, saya malu dan sedih.
Kadang saya merasa ujian kami begitu berat, ternyata masih banyak wali santri yang lain juga mengalami hal yang sama meski beda cerita.
Alhamdulillah, Allah Swt. selalu mempertemukan kami dengan orang-orang yang baik. Doa selalu kami panjatkan, semoga kami mampu bangkit lagi… wali santri tersebut yang selalu memberikan support kepada saya, selalu memberi semangat.
“Mama bisa masak, menjahit, dan berjualan…” ucapnya.
“Kita pasti bisa mama. Kata-kata itu yang membuatku bangkit lagi.”
“Insya allah pelan-pelan Allah Swt. pasti akan memberikan kemudahan dan memberikan jalan keluar atas segala permasalahan yang kita hadapi. Aamiin.” ucapnya.
Sampai sekarang Fakhry masih belum mau berbicara sama Bapaknya. Mungkin masih marah, tapi kalau saya tanya, Mamas masih marah? Jawabnya, tidak. Cuma bagaimana ya, buat pelajaran saja. Introspeksi diri saja. Mudah-mudahan kedepannya lebih baik lagi.
Saya bilang oke. Mama tidak akan maksa kamu, tapi jangan menjadi pendendam, Mama tahu itu tidak mudah.
Saya hanya berharap semua baik-baik saja. Semoga bisa lulus Mumtaz, bisa menggapai cita-citanya. Saya hanya bisa mendoakan.
Kreator : Rochmatul Ula
Comment Closed: Impian dari Bumi Blambang
Sorry, comment are closed for this post.