Tini, seorang gadis desa yang lugu. Sejak lulus SD, Tini melanjutkan ke Pondok Pesantren, dari SMP sampai Perguruan Tinggi.
Hal ini memang didikan dari keluarganya yang kebetulan ibunya dilahirkan dari keluarga yang agamis. Ayahnya Ibu Tini alias Kakek Tini konon seorang kyai yang cukup kharismatik. Bahkan pada waktu itu, anak cucunya tidak diperkenankan menempuh Pendidikan umum. Semua diarahkan untuk belajar ilmu agama di pesantren salaf. Maka, tidak heran jika di kemudian hari anak-cucu dari Simbah banyak yang menjadi pengasuh pondok pesantren atau setidaknya menjadi Kyai atau Ibu Nyai di lingkungan mereka tinggal.
Namun, lain halnya dengan Tini. Seorang gadis desa yang punya keinginan untuk mondok sambil sekolah formal dengan tujuan agar selain mampu memahami ilmu-ilmu agama, juga ilmu umumnya tidak ketinggalan, walau pada akhirnya pengetahuan agamanya tetep minim. Pada zaman itu, masih jarang di sekitar daerahnya yang membuka pesantren sekaligus sekolah umum. Beda dengan kondisi sekarang, justru banyak pesantren yang sekaligus membuka sekolah formal karena memang sudah tuntutan zaman dan dibuat sesuai dengan kebutuhan masyarakat.
Sekitar tahun 1986, setelah lulus SMP sambil mondok di daerah Sleman. Kemudian, dia melanjutkan pendidikannya di Madrasah Aliyah di Kediri, sampai Perguruan Tinggi. Dan, tepat Tahun 1993 Tini sudah lulus S1.
Tini bukan layaknya seperti gadis-gadis lain, yang menikmati masa-masa remaja dengan diwarnai dengan kisah-kisah asmara, karena Tini punya prinsip, “Jika perasaan cinta terhadap lawan jenis, yang datangnya sebelum adanya ikatan yang sah, maka rasa itu pasti dari tidak mendapat Ridho-Nya.” Prinsip inilah yang kemudian mempengaruhi terhadap perjalan hidupnya. Jika ada laki-laki yang mencoba mendekatinya, maka Tini justru langsung membencinya.
Suatu saat kami yang tergabung dalam kelompok mahasiswa, setelah selesai KKN untuk sekedar melepas kepenatan, kami mengadakan kegiatan refreshing naik ke pegunungan yang tidak jauh dari kampus kami. Demi menjaga perasaan Tini, mereka sepakat tidak mengajak pacar masing-masing karena Tini lah satu-satunya anggota kelompok yang tidak punya pacar. Maka, di tengah-tengah kami menikmati indahnya pemandangan gunung pada waktu itu, ada salah satu di antara mereka mengeluarkan celetukan.
”Tin, kapan kamu balighnya? Biar kita bisa jalan-jalan bareng sama pasangan kita.”
****
Setelah menyelesaikan S1, Tini pulang ke kampung halamannya. Kepeduliannya terhadap anak-anak di sekitar membuat dirinya terpanggil untuk mengajari mereka mengaji. Kegiatan mengaji ini dilaksanakan pada sore hari sehabis sholat ashar. Karena anak-anak yang ikut bergabung mengaji semakin banyak, akhirnyaTini mengajak adik sepupunya untuk ikut mengajar. Memang kampungnya cukup luas, dihuni oleh sekitar seratusan kepala keluarga. Maka, tidak heran jika anak-anak usia SD disana banyak sekali.
Tempat ngaji inilah yang merupakan cikal bakal berdirinya Madrasah Diniyah Al Huda, yang sampai sekarang tetap eksis keberadaanya sebagai lembaga oendidikan non formal, dengan diasuh oleh ustadz ustadzah lulusan pesantren.
Kegiatan rutinitas Tini yaitu setiap pagi ia pergi ke pasar; berjualan pakaian. Ibunya membelikan satu tempat untuk berjualan karena memang Ibu Tini berjualan pakaian di pasar juga yang letaknya tidak begitu jauh dari tempat tinggalnya. ika ditempuh dengan sepeda motor kurang lebih 15 menit sudah sampai. Selain berjualan pakaian di pasar, Tini juga mengajar di Lembaga Pendidikan Swasta dekat pasar tempat ia berjualan. Jadi, sebelum mengajar, Tini membuka toko pakaiannya terlebih dulu, kemudian ia akan pergi ke sekolah sesuai dengan jam tatap mukanya.
Itulah kegiatan sehari-hari yang dilakukan Tini, sampai akhirnya ada teman yang mengajak untuk ikut bergabung dalam organisasi kemasyarakatan. Tini pun tertarik untuk bergabung karena memang selama ini ia serasa tidak punya banyak teman yang dikenal di daerahnya, dimana Tini menghabiskan masa remajanya di pesantren. Jadi, banyak yang tidak mengenal dirinya.
Ternyata, keputusan untuk ikut bergabung dalam sebuah organisasi ini merupakan pilihan yang tepat, dimana selain punya banyak teman, juga banyak belajar, berproses dan bertemu dengan teman-teman yang punya visi misi yang sama yaitu Belajar, Berjuang Bertaqwa.
Seiring dengan perjalanan waktu, tanpa terasa usia Tini sudah memasuki 26 tahun. Selayaknya orang tua yang punya anak yang sudah berusia dewasa, tentu mereka sudah kepingin punya menantu. Maka, ketika ada seorang lelaki yang datang meminangnya, orang tuanya langsung menerima, tanpa minta persetujuan Tini. Lelaki itu Bernama Tono.
Mereka pikir, Tini dan Tono ini sudah saling mencintai karena mereka tergabung dalam organisasi yang sama. Padahal, Tono cukup tahu diri jika lamarannya tidak diterima. Dia tidak menanggung malu berlebihan ,inilah yang mendorong Tono memberanikan diri melamar Tini tanpa ditemani oleh siapapun.
Sementara Tini, masih bergelut dengan perasaannya. Ia belum bisa menerima laki-laki ini menjadi pendamping hidupnya. Di mata Tini, Tono hanyalah seorang pemuda desa yang tidak berpendidikan karena hanya lulusan SMA. Ditambah kulitnya hitam, badannya kurus, pendek pula. Maka, tidak heran kalau hati Tini belum sedikitpun tertarik dengan Tono.
Namun, proses itu begitu cepat karena Tini belum bisa menerima kenyataan, sampai-sampai Tini bilang pada temannya.
“Misal lamaran Tono Atau bayar tukon-nya saya kembalikan, gimana ya?” Tanya Tini pada temannya yang sudah berpengalaman di dunia lamar melamar ini.
“Jika kamu kembalikan, berarti kamu mempermalukan orang tua Toni, termasuk keluarganya. Atau bahkan menyakiti banyak orang dan akan berakibat nantinya kamu akan sulit mendapatkan jodoh.” Jawab temannya itu.
Pada akhirnya, dari jawaban temannya inilah, Tini semakin menyadari jika jodoh sudah datang, kita tidak mampu menolaknya. Kita juga tidak mampu untuk tawar menawar dengan rencana Allah, maka harus kita jalani.
Layaknya sebuah pernikahan, suasananya gembira, namun lain halnya dengan pernikahan Tini. Sepanjang acara pernikahan, Tini hanya menangis apalagi kehadiran teman-temannya semakin membuat tangis Tini semakin kencang. Tini masih idealis, inginnya punya suami yang sarjana juga, terus hidupnya sudah mapan, dan agak tampan, untuk memperbaiki keturunan, karena menyadari dirinya tidak berparas menarik. Sementara hati kecil Tini, masih meragukan hatinya. “Mampukah saya mencintai laki-laki yang sudah menjadi suamiku, tanpa didasari dengan perasaan cinta, yang ada cuma perasaan kasihan?”
Seiring dengan perjalanan waktu, setelah menjadi sepasang suami istri, ternyata benih-benih cinta mulai tumbuh berkat kesabaran Tono, juga kasih sayangnya serta perhatiannya kepada Tini. Akhirnya, hal ini menyadarkan Tini bahwa berangkat dari perasaan tidak suka, maka yang terlihat hanya sisi kekurangannya tanpa melihat sedikitpun kelebihan yang dimiliki. Padahal, manusia itu tidak ada yang sempurna, pasti ada kelebihan dan kekurangan. Dan, ketika itu ia baru menyadari betapa banyak kelebihan-kelebihan yang dimiliki oleh suaminya tersebut.
Hal inilah yang mengingatkan akan prinsipnya dulu, ”Cinta yang tumbuh sebelum adanya ikatan yang sah, maka tidak perlu ditumbuh kembangkan. Namun, jika cinta itu berangkat dari ikatan yang sudah sah, maka itulah cinta yang mendapat ridha dari Allah SWT,maka harus terus dipupuk.” Apapun yang ditakdirkan Allah pasti terbaik bagi hambanya,termasuk jodoh. Alhamdulillah, kini Tini dan Tono hidup bahagia bersama ketiga buah hatinya.
Kreator : Siti Nok Muslikhah
Comment Closed: Indah Pada Waktunya
Sorry, comment are closed for this post.