Penulis : Iis Istiqomah (Member KMO Alineaku)
Ketika Si Sulung mulai masuk sekolah Taman Kanak-Kanak, aku masih bekerja di sebuah perusahaan swasta. Tentu tak mudah bagi seorang ibu meninggalkan anak meskipun untuk bekerja. Alhamdulillah aku memiliki pengasuh saudara sendiri. Bahkan dia sudah ikut ibuku sejak aku masih kecil. Jadi aku yakin dia sangat menyayangi anakku.
Untuk antar jemput anakku, aku membayar orang yang sudah kukenal baik. Sebab pengasuh anakku tidak bisa mengendarai sepeda motor. Untungnya anakku mau diantar jemput siapa saja. Dan dia juga sudah bisa ditinggal di sekolah tanpa harus ditunggu ibunya sejak dia pertama masuk sekolah.
Jika tidak sedang terburu-buru, kadang aku sempatkan mengantar anakku ke sekolah. Dia selalu bersemangat diantar sekolah oleh ibunya. Seperti halnya hari ini.
“Ibu, kenapa ibu tidak mengantarku ke sekolah setiap hari? Teman-temanku diantar dan dijemput mamanya setiap hari”.
Jleb, tertusuk rasanya hati ini mendengar ucapannya. Ternyata anakku memendam keinginan untuk bisa diantar jemput ibunya selama ini.
“Ibu kan harus bekerja Nak. Kalau ibu tidak bekerja, nanti Kakak tidak bisa sekolah,” kupaksakan bibir ini membentuk senyuman manis di hadapan anakku.
“Kenapa begitu Bu?”
“Sekolah itu kan harus bayar sayang, jadi ibu harus bekerja biar bisa punya uang untuk bayar sekolah Raisa,”kataku sambil mengusap kepala anakku. Entah dia paham atau tidak apa yang aku ucapkan. Namun rasa bersalah tetap menyelinap di hati ini. Maafkan ibu ya Nak.
Sesampai di sekolah suasana masih sepi. Anakku ternyata tiba paling pertama. Di sekolah baru ada dua orang guru yang langsung menghampiri anakku.
“Assalamu’alaikum Bu Tita,” anakku mengucap salam sambil mencium tangan gurunya.
“Wa’alaikumsalam. Pagi Raisa. Waah Raisa pagi sekali datangnya, pinter ya.”
“Assalamu’alaikum Bu Tita, apa kabar?” aku juga mengucap salam pada guru anakku.
“Wa’alaikumsalam. Alhamdulillah baik Bunda. Tumben nih Bunda antar Raisa ke sekolah.”
“Kebetulan sedang tidak buru-buru Bu, jadi bisa sekalian antar Raisa.”
“Raisa pasti senang ya diantar ibu?”
Raisa menganggukkan kepalanya sebagai jawaban. Kemudian dia menatapku.
“Bu, kenapa Ibu belum berangkat kerja? Nanti kalau kesiangan dimarahin lho sama Bos Ibu.”
Aku dan Bu Tita tertawa mendengar celotehan Raisa.
“Iya, ini Ibu juga mau berangkat. Raisa harus nurut ya sama Bu Tita, tidak boleh nakal.”
“Iyaaaa…..”
Raisa mencium tanganku, kucium keningnya sambil mengusap kepalanya.
“Bu Tita, saya permisi dulu ya Bu, titip Raisa,” kujabat tangan Bu Tita.
“Baik Bunda, hati-hati di jalan ya Bun.”
“Terima kasih Bu Tita.”
Aku beranjak ke arah parkiran. Lalu segera meluncurkan mobil dinasku menuju kantor tempatku bekerja. Sebenarnya aku masih punya banyak waktu. Kuputuskan mampir di tukang kue langgananku. Kubeli beberapa potong kue untuk teman ngopiku nanti di kantor.
Perjalanan menuju kantor lumayan lancar. Tumben hari ini tidak semacet biasanya. Aku sudah berada di depan komputerku. Kuperiksa berkas di atas meja untuk meeting siang nanti. Dan aku baru sadar kalau ada satu berkas yang tertinggal di rumah. Kemarin aku bawa data itu untuk direvisi di rumah.
Mau tak mau aku harus balik lagi ke rumah untuk ambil berkas tersebut. Untung meetingnya masih lumayan lama. Ah, nanti saja kuambil datanya, sekalian menunggu jam pulang sekolah Raisa. Biar sekalian aku jemput anakku.
Aku belokkan mobil ke arah sekolah Raisa sebelum menuju ke rumah. Anak-anak masih berada di dalam kelas. Aku menunggu sejenak di bangku tempat tunggu. Akhirnya kelas Raisa usai juga. Pintu kelas sudah dibuka. Aku berjalan menuju kelas Raisa.
Awalnya Raisa tidak menyadari kehadiranku. Karena memang aku jarang sempat menjemputnya pulang sekolah. Ketika dia melihatku, wajahnya langsung berbinar. Senyumnya mengembang lebar.
“Ibuuu….Ibu….!!” Raisa berteriak kegirangan. Bu Tita sampai tertawa melihatnya.
“Raisa senang sekali ya,” Bu Tita mengelus kepala Raisa.
“Teman-teman, itu Ibu aku lho, itu Ibuku…”
Entah kenapa, sesak rasanya dada ini mendengar ucapan Raisa. Betapa berartinya kehadiranku di sekolah baginya. Begitu bangganya dia menunjukkan diriku sebagai ibunya. Apa yang dia rasakan selama ini, ketika melihat teman-temannya dijemput oleh ibu mereka? Ya Allah, betapa kejam rasanya diri ini pada anakku.
Aku yang berpikir telah bekerja keras demi anakku, tidak bisa menjaga perasaannya. Ternyata bukan hanya materi yang dia butuhkan. Ada hal yang mungkin menurutku sederhana, namun memiliki arti besar baginya.
Mataku terasa panas. Aku berusaha menahan air mataku agar tidak terjatuh. Kupaksa melengkungkan senyuman di bibirku. Kudekati anakku, kuusap kepalanya. Maafkan Ibu ya sayang, aku berucap dalam hati.
“Ibu kok bisa jemput Raisa?” anakku bertanya penuh rasa heran.
“Iya, data Ibu tertinggal di rumah, jadi Ibu sekalian jemput Raisa.”
“Ooo….begitu ya.”
“Yuk kita pulang. Salim dulu ya sama Bu Guru.”
Raisa meraih tangan Bu Tita dan menciumnya. Wajahnya masih dipenuhi dengan kegembiraan tak terhingga.
“Raisa pulang dulu ya Bu Tita…”
“Sampai jumpa besok Raisa…”
“Bu Tita, kami pamit pulang ya Bu, terima kasih banyak,” aku pun menyalami Bu Tita.
“Iya Bun, sama-sama, hati-hati di jalan ya Bun.”
“Terima kasih Bu Tita…”
Aku menggandeng tangan Raisa menuju parkiran. Sepanjang perjalanan Raisa tak berhenti bercerita tentang hari ini di sekolah. Ya Allah, semoga Engkau memberiku kesempatan untuk dapat selalu mendampingi anakku. Aku tak ingin menyia-nyiakan masa emasnya berlalu begitu saja. Saat ini akulah yang dibutuhkan oleh anakku. Karena kelak jika dia sudah dewasa, mungkin akan sulit menemukan waktu untuk bersama dengannya.
“Naskah ini merupakan kiriman dari peserta KMO Alineaku, isi naskah sepenuhnya merupakan tanggungjawab penulis”
Comment Closed: Itu Ibuku
Sorry, comment are closed for this post.