Sebentar lagi Ujian Nasional (UN) akan berakhir, bertambah cemaslah hati Rudi. Bisakah ia melanjutkan ke sekolah impiannya?, sedang untuk biaya ujian saja ibunya terpaksa menjual kambing yang hanya tersisa satu ekor itu. Ekonomi keluarga terasa begitu sulit sejak kurang lebih enam bulan yang lalu sang ayah jatuh sakit. Ayah rudi tak lagi bisa melihat karena urat saraf matanya putus dan tak bisa disembuhkan. Berbagai upaya telah dilakukan namun sia-sia. Akhirnya keluarga pun hanya bisa pasrah menerima kenyataan pahit tersebut. Kini Rudi benar-benar bingung, apa yang harus ia kerjakan setelah lulus MTs nanti?.
Beruntung ada kebun milik kakak perempuan Rudi yang belum digarap. Ia berencana untuk menggarapnya dengan menanami cabai merah. Kebetulan kak Lastri sedang bekerja di luar negeri. Ia sengaja membeli kebun dari gajinya agar kelak saat pulang ia bisa berkebun. Dengan semangat Rudi mulai menggarap kebun itu. Kebun tersebut bersebelahan dengan kebun milik kawan akrabnya semasa di MTs. Seringkali keduanya saling membantu pekerjaan di kebun masing-masing. Hampir tiap hari mereka bekerja bersama-sama hingga keakraban pun makin terjalin. Parman yang memang tak melanjutkan sekolah itu kini rajin ke kebun. Begitu pula dengan Rudi.
Hampir setiap malam Rudi berkunjung ke rumah Parman, hanya sekedar ingin mencari hiburan. Ia yang begitu menggebu ingin melanjutkan sekolah merasa jenuh dan pusing di rumah. Terlebih saat keinginan sekolahnya itu datang. Awalnya Rudi hanya ingin bermain sambil ngobrol-ngobrol saja dengan Parman. Tapi sayang Parman memiliki kebiasaan yang buruk. Ia terbiasa mengambil barang milik orang lain. Hal itu kemudian diikuti oleh Rudi. Seringkali mereka menangkap ayam milik tetangga malam hari guna sekedar dimasak. Herannya ibu Parman membiarkan kelakuan anaknya itu. Bahkan ia malah yang memasak ayam curian itu. Sementara di rumah, ibu Rudi tak pernah tau perubahan anaknya sekarang. Sebenarnya Rudi adalah anak baik-baik, tapi karena frustasi tak bisa melanjutkan sekolah dan karena pengaruh temannya ia kini sudah berubah.
Toni salah satu teman seangkatan Roni dan Parman melanjutkan sekolah ke kota. Sebenarnya ia sangat ingin bersekolah di STM, namun orang tuanya memasukkan Toni ke SMEA. Hal itu membuat Toni bermalas-malasan untuk berangkat sekolah. Kerap kali ia bermain di rumah Parman hingga berhari-hari. Ia tinggal di rumah kost, sehingga orang tuanya tak pernah tau akan kemalasan anaknya itu. Pernah suatu hari, ia pulang guna meminta uang bayaran sekolah ke orang tuanya, setelah diberi ia pun berpamitan untuk kembali ke tempat kost. Namun belum sampai ke tempat kostnya, ia justru mampir ke rumah Parman. Uang yang diberi orang tuanya ia pakai untuk berfoya-foya bersama Rudi dan Parman. Ia sengaja membeli rokok, minuman keras, dan jajan. Tak terasa dua malam ia menghabiskan uang itu. Akhirnya, kini ia mulai bingung bagaimana menjelaskan ke orang tuanya nanti soal uang itu. Dasar anak nakal, Toni pun menemukan ide. Dirobeknya tas miliknya menggunakan silet, lalu ia pulang dan mengatakan pada orang tuanya bahwa ia telah kecopetan sewaktu di mobil. Tentu saja orang tua Toni begitu percaya dengan ucapan dan bukti yang Toni tunjukkan. Ia pun kembali diberi uang untuk bayaran sekolah, namun lagi-lagi uang itu ia habiskan bersama dua temannya yakni Rudi dan Parman.
Hampir satu tahun Rudi menjalani hari-hari mengurus kebun milik kakaknya, hingga suatu hari ketika tahun ajaran baru tiba ia dikejutkan dengan kedatangan dua temannya. Mereka adalah Salman dan Rusli. Mereka adik kelas Rudi sewaktu di MTs. Tanpa basa-basi keduanya mengajak Rudi untuk berangkat sekolah. “Ayuk berangkat Rud!”. Ajak Rusli. Rudi pun bingung dan ia pun menjawab, “lah!, sekolah di mana?”. Rusli dan Salman kemudian menjawab, “ kami disuruh Pak Hadi Untuk mengajakmu sekolah di madrasah milik beliau. Kebetulan Pak Hadi memang baru saja membuka pendaftaran sekolah yang lokasinya berdekatan dengan MTs. Tempat anak-anak itu dulu bersekolah. Meski Pak Hadi belum mampu membangun gedung baru untuk madrasahnya, namun anak-anak di desa ini begitu antusias ingin bersekolah di situ. Sementara ini mereka belajar di gedung majelis ta’lim milik warga setempat. Rudi yang memang sangat ingin melanjutkan sekolah tentu sangat senang dan menyambut baik niat kedua temannya itu. Ia pun berkata, “tapi saya kan belum punya seragam”. Sedang kedua temannya sudah siap dengan seragam abu-abu putihnya. Mereka lalu menjawab, “tidak apa-apa Rud, besok saja kalau sudah bisa beli seragam kamu pakai seragamnya. Sekarang pakai baju biasa saja”. Tak menunggu lama Rudi segera bersiap-siap dan berangkat bersama teman-temannya itu.
Beruntung kebun yang ditanami cabai oleh Rudi sudah membuahkan hasil. Ia pun bisa membeli keperluan sekolahnya dari hasil kebun tersebut. Semenjak masuk sekolah kini Rudi harus bisa membagi waktu. Kegiatannya berkebun dikerjakannya usai pulang sekolah.
Begitulah hari-hari kini Rudi disibukkan dengan bersekolah dan berkebun. Ia sudah tak lagi akrab dengan Parman. Beberapa kali Parman mengajaknya bermain dan begadang seperti dulu, namun Rudi dengan halus menolak ajakan temannya itu. Tak mau menyia-nyiakan kesempatan baik untuk bersekolah Rudi selalu bersemangat belajar. Ia juga aktif di organisasi pramuka yang diadakan di sekolah. Rudi sangat menyadari kondisinya sekarang. Meski ia adalah anak bungsu di keluarganya, tapi ia tak bisa seperti teman-teman seusianya yang dengan mudah dapat meminta uang ataupun sesuatu yang diinginkan pada orang tuanya. Jangankan untuk membeli kebutuhan lain, untuk makan sehari-hari saja sudah susah. Kerap kali ia ikut bekerja sebagai buruh bersama ibunya di kebun tetangga guna memenuhi keperluan sehari-hari. Ia begitu sayang pada ibunya yang sudah tua itu. Sejak ayahnya tak bisa bekerja karena kondisinya sekarang, ibunyalah yang menjadi tulang punggung keluarga. Hal ini membuat Rudi tak tega jika harus merepotkan ibunya.
Tiga tahun berlalu sejak Rudi masuk sekolah, kini tibalah saatnya ia dan teman-temannya harus berpisah. Hari itu adalah hari pelepasan siswa. Semua wali murid kelas XII dan dewan guru serta para siswa telah berkumpul. Nampak ibunya Rudi hadir dan tengah menyaksikan acara demi acara. Sampailah pada acara pembagian ijazah. Satu-persatu para siswa dipanggil sesuai abjad. Giliran Rudi kini dipanggil untuk naik ke atas pentas guna menerima ijazah dari kepala sekolah. Tak dapat dibendung air mata rudi saat ia turun dari pentas dan menemui ibunya. Diciumnya tangan ibunya dan dipeluknya sang ibu. Ibunya pun tak dapat menahan tangis harunya, terbayang di matanya bagaimana Rudi melalui semua rintangan hingga dapat menyelesaikan sekolahnya. “Selamat ya nak, semoga Yang Kuasa senantiasa memberikan kemudahan padamu hingga kamu dapat meraih cita-cita yang kamu impikan”. Ucap ibu Rudi. Rudi pun tak mampu membalas ucapan ibunya itu selain hanya mengaminkan. Begitulah kiranya selalu ada jalan saat kemauan itu ada. Langit tampak cerah dan matahari seolah ikut tersenyum menyaksikan kebahagiaan yang Rudi dan ibunya rasakan.
Kreator : Sri Dewi Rejeki
Comment Closed: Izinkan Aku Menimba Ilmu
Sorry, comment are closed for this post.