KATEGORI
  • Adat & Budaya
  • Agrikultur
  • Aksi
  • Arsitektur
  • Artikel
  • Asmara
  • Autobiografi
  • autobiography
  • Bahasa & Sastra
  • Berita Alineaku
  • Bisnis
  • Branding
  • Catatan Harian
  • Cerita Anak
  • Cerita Pendek
  • Cerita Rakyat
  • Cerpen
  • Cinta
  • Cita – Cita dan Harapan
  • Dongeng
  • Drama
  • Ekonomi
  • Epos
  • Event
  • Fabel
  • Fantasi
  • Fiksi
  • Gaya Hidup
  • Hiburan
  • Hobi
  • Hubungan Antarpribadi
  • Hukum
  • Humanis
  • Humor
  • Ilmu Manajemen
  • Inspirasi
  • Istri
  • Kampus
  • Karir dan Kewirausahaan
  • Keagamaan
  • Keluarga
  • Kesehatan & Kecantikan
  • Kesehatan Mental
  • Ketenagakerjaan
  • Kisa Masa Kecil
  • Kisah Inspiratif
  • Kritik Media
  • Kuliner
  • Legenda
  • Lifestyle
  • Lingkungan Hidup
  • Manajemen
  • mengelola toko
  • Mental Health
  • Moralitas
  • Motivasi
  • Novel
  • Nutrisi
  • Nutrition
  • Opini
  • Organisasi
  • Otomotif
  • Parenting
  • Pemerintahan
  • Pendidikan
  • Pendidikan Karir
  • Pendidikan Keuangan
  • pengalaman hidup
  • Pengembangan Diri
  • Perjalanan Hidup
  • Pernikahan
  • Persahabatan
  • Pertemanan
  • Petualangan
  • Petualangan Alam
  • Pilih Kategori
  • Pilih Menu
  • Politik
  • Psikologi
  • Psikologi Sosial
  • Puisi
  • Romansa
  • Romantisme kehidupan
  • Rumah Tangga
  • Satir
  • SDM
  • Sejarah
  • Self-Acceptance
  • Self-Awareness
  • Seni & Budaya
  • Sosial
  • spiritual journey
  • Strategi
  • Teknologi
  • Tempat Wisata
  • Traveling
  • Uncategorized
  • Wanita
  • Beranda » Artikel » Jalan Panjang Menuju Pelabuhan Impian

    Jalan Panjang Menuju Pelabuhan Impian

    BY 12 Des 2024 Dilihat: 152 kali
    Jalan Panjang Menuju Pelabuhan Impian_alineaku

    Dunia kadang terasa seperti panggung besar yang memainkan tragedi kecil. Aku, yang lahir dari keluarga sederhana, bahkan terkadang terlalu sederhana untuk bermimpi, kini berdiri di persimpangan antara cita-cita dan realitas. Impian untuk masuk universitas ternama sumber harapan yang selama ini ku perjuangkan—terpaksa runtuh oleh kenyataan keuangan keluarga. Tidak ada tepuk tangan yang menyambut kegagalanku, hanya sunyi yang menggema, memaksa menghadapi kenyataan pahit.

    Aku selalu percaya bahwa pendidikan adalah pintu gerbang menuju perubahan hidup.Sebagaimana perkataan dari Sayyidina Ali bin Abi Thalib dalam buku Nahjul-Balagha pada Bab Hikmah.

     “Ilmu adalah jalan menuju kebahagiaan abadi, dan mencari ilmu adalah jalan menuju rahmat Ilahi.”

     Ini menjadi pengingat bahwa perjuangan untuk menuntut ilmu adalah perjalanan yang diridhoi Allah, meskipun jalannya penuh rintangan. Namun, saat waktunya tiba untuk melangkah ke universitas impian, kenyataan lain mengetuk pintu kehidupanku. Ibuku, yang selama ini menjadi penopang utama keluarga, tak punya cukup uang untuk membiayaiku kuliah.

    Aku terpaksa menerima kenyataan itu dengan hati yang berat. Di sebuah kamar kecil yang sederhana, penuh dengan dinding-dinding kosong yang hanya menjadi saksi bisu dari air mata dan doa-doaku, aku termenung. Harapan yang sebelumnya membumbung tinggi mulai goyah, tetapi aku tahu, aku harus bangkit. Hidup tidak berhenti karena satu kegagalan. Dalam keheningan, aku memikirkan apa yang harus kulakukan selanjutnya untuk tetap mendekati mimpi itu, meski jalannya berliku.

    Dengan ransel keberanian yang kuisi penuh tekad, aku melangkah ke dunia kerja. Menjadi sales marketing di sebuah mall kota—tempat yang tidak pernah ada dalam daftar mimpiku. Pekerjaan itu jauh dari idealisme masa mudaku, tetapi aku sadar bahwa hidup adalah tentang beradaptasi. Di sanalah aku mulai belajar tentang dunia yang lebih luas, dunia di mana banyak orang juga sedang berjuang untuk bertahan, sama sepertiku. Aku teringat firman Allah SWT.

    “Sesungguhnya bersama kesulitan ada kemudahan.” (Q. S Al-Insyirah: 6)

    Ayat ini meneguhkanku bahwa setiap kesulitan yang kuhadapi pasti memiliki jalan keluar, hanya saja aku harus tetap bergerak dan berusaha.

    Setiap hari, aku mengenakan seragam kerja, tersenyum di depan pelanggan, dan mencoba menjual barang-barang yang kadang aku sendiri tak paham fungsinya. Aku sering merasa kecil, seolah-olah mimpi besarku terkubur di bawah tumpukan target penjualan yang menghimpit. Tapi aku tahu, senyum itu bukan hanya untuk pelanggan. Di balik setiap senyum yang kupersembahkan, ada doa yang aku selipkan dalam hati. Doa agar Allah memberiku jalan untuk kembali pada mimpi-mimpi yang sempat terkubur.

    Hidup tak selalu tentang melangkah maju. Kadang, kita perlu mundur untuk melompat lebih jauh. Aku menyadari ini ketika harus meletakkan sementara impian kuliahku. Dalam proses itu, ketakutan mulai merayap masuk seperti malam yang sunyi.

    “Bagaimana jika waktu mengkhianati mimpiku? Bagaimana jika aku terlalu lelah menunggu?” Pikiran-pikiran itu adalah badai dalam hatiku.

     Aku tidak ingin menjadi seseorang yang terombang-ambing oleh ketakutan. Aku memilih untuk terus berjuang, meskipun terasa berat, itu adalah bagian dari perjuanganku untuk dunia dan akhirat.

    Setiap malam, aku duduk di kamar kecil itu, memandang langit-langit dengan penuh perenungan. Aku ingat impianku mengenakan toga, berdiri di atas podium, dan menjadi kebanggaan keluargaku. Bayangan itu adalah bahan bakar semangatku untuk terus mendayung di tengah badai kehidupan. Aku tahu bahwa waktu adalah ciptaan Allah, dan Dia tidak akan pernah menyia-nyiakan usaha hamba-Nya. Aku percaya dengan firman Allah:

    ﴿ وَالَّذِيْنَ جَاهَدُوْا فِيْنَا لَنَهْدِيَنَّهُمْ سُبُلَنَاۗ وَاِنَّ اللّٰهَ لَمَعَ الْمُحْسِنِيْنَ ࣖ ٦٩ ﴾

    “Dan orang-orang yang bersungguh-sungguh di jalan Kami, Kami pasti akan memberi mereka petunjuk kepada jalan-jalan Kami. Dan sungguh, Allah beserta orang-orang yang berbuat baik.” (Surat Al-Ankabut: 69)

    Aku yakin, selagi aku terus berusaha, Allah akan memberikan jalannya, meski tidak selalu sesuai dengan rencanaku. Jalan yang Dia siapkan mungkin penuh liku, tetapi aku tahu, akhirnya akan indah.

    Hidup adalah tentang pilihan. Pilihan untuk terus mendayung meski angin tidak mendukung, atau menyerah dan hanyut dalam arus. Aku memilih mendayung, karena aku percaya, badai ini hanyalah ujian sementara yang akan membawaku pada pelabuhan impian. Akhirnya, aku sadar, kekuatan sejati terletak pada keyakinan kita pada takdir Allah dan tekad untuk terus melangkah, meski langkah itu penuh duri 

    Namun, aku tidak boleh lupa siapa aku. Aku adalah anak yang belajar untuk bertahan hidup sejak kecil. Dari menjual es di depan sekolah saat SD hingga menjajakan roti saat duduk di bangku SMK, aku tahu bahwa kerja keras adalah satu-satunya jalan untuk keluar dari kemiskinan. Setiap lembar uang yang kudapatkan dari hasil jerih payah itu adalah bukti bahwa aku bisa melawan keterbatasan.

    Saat aku memandangi masa laluku, aku sadar bahwa kekalahan kecil ini hanyalah badai sementara. Aku tahu, jika aku terus mendayung, aku akan sampai ke pelabuhan impian itu. Hidup mengajarkanku tentang pilihan. Pilihan untuk terus mendayung meski angin tak mendukung, atau menyerah dan hanyut dalam arus. Aku memilih mendayung, meskipun perjalanannya penuh dengan gelombang.

     

    Langit yang Redup

    Ketika malam datang dan aku berbaring di tempat tidur yang keras, aku sering bertanya pada diriku sendiri: apa tujuan dari semua ini? Di balik keremangan lampu kamar, aku menangis dalam diam, menumpahkan rasa kecewa dan takut yang tak pernah berani aku tunjukkan pada siapa pun.

    Namun, malam itu juga adalah saat aku mengingat kembali mimpi-mimpiku. Aku membayangkan, memakai toga, berdiri di atas podium, menerima ijazah yang selama ini kuimpikan. Bayangan itu cukup untuk menguatkan, bahkan ketika segalanya terasa mustahil.

    Terkadang, aku iri pada teman-temanku yang bisa langsung melanjutkan kuliah. Aku melihat mereka di media sosial, berbagi cerita tentang kehidupan kampus, pertemanan baru, dan perjalanan mereka mengejar mimpi. Aku ingin berada di sana, bersama mereka. Namun, aku sadar bahwa jalanku berbeda.

     

    Layar yang Tertancap

    Di sela-sela kesibukan sebagai sales marketing, aku mencoba mencari cara untuk tetap mendekatkan diri pada mimpi itu. Aku mulai menabung, meski jumlahnya tidak seberapa. Namun, karena aku adalah satu-satunya dari anak Ibu yang bekerja, setiap gajiku harus aku bagi dalam beberapa bagian untuk Ibu agar membantu perbaikan rumah yang sempat aku tinggal dan dalam kondisi belum selesai pembangunan, untuk kakak yang sedang kuliah, untuk simpanan agar bisa membantu teman-teman serantau yang kesulitan, dan untuk kebutuhan pribadi aku di kosan.  Aku juga menyempatkan diri membaca buku-buku motivasi di Gramedia yang ada di mall ketika jam istirahat kerja atau waktu libur kerja. Membaca buku terus menerus hingga setiap kali gajian, aku wajub membeli buku dan Al-Qur’an agar kecintaan aku pada Ilmu pengetahuan tidak hilang akibat kesibukan kerja. 

    Ada satu malam yang sangat membekas dalam ingatanku. Seorang pelanggan, seorang ibu yang membawa anak kecil, datang ke toko tempatku bekerja. Aku melayaninya dengan senyuman seperti biasa, tetapi dia tiba-tiba berkata,

    “Kamu punya senyum yang tulus. Saya yakin, suatu hari kamu akan sukses.”

    Kata-kata beliau tiba-tiba membawaku kembali ke tiga tahun lalu, ketika aku berada di bangku SMK, seorang guru ngaji Al-Qur’an sekaligus penasehat pimpinan di kampung halamanku pernah mngatakan kepada Ibuku, “Ingat dan jagalah anakmu yang satu ini. Dialah yang akan mengangkat derajat dan martabat keluarga. Aku yang saat ttu sibuk menyajikan kopi kepada beliau, beliau mengelus kepalaku dengan tulus. Aku pun mengucapkan terima kasih kepada customer tersebut dan menyelesaikan transaksi jual beli.

    Kata-kata itu sederhana, tapi terasa seperti angin segar yang menguatkan layarku. Aku mulai percaya bahwa aku bisa melewati badai ini.

    Namun, tidak semua hari seindah itu. Ada kalanya aku merasa sangat lelah, baik secara fisik maupun mental. Suatu kali, aku mengalami kegagalan besar dalam pekerjaan. Target penjualanku tidak tercapai, dan atasanku memberikan teguran keras di depan semua rekan kerja. 

    Malam itu, aku merasa seperti pecundang. Aku ingin menyerah, meninggalkan semua ini, dan kembali ke rumah tanpa membawa apa-apa. Tapi kemudian aku mengingat keluarga yang menantiku di rumah. Mereka menggantungkan harapan padaku, dan aku tidak bisa mengecewakan mereka.

     

    Pelabuhan yang Dinanti

    Seiring waktu, aku mulai menyadari bahwa setiap langkah kecil yang kuambil adalah bagian dari perjalanan menuju pelabuhan impianku. Aku belajar untuk menghargai proses, tidak hanya hasil. Aku belajar bahwa hidup bukan hanya tentang mencapai tujuan, tetapi juga tentang bagaimana kita menghadapi perjalanan itu.

    Hari itu akhirnya datang. Aku yakin dengan semua keputusanku setelah berbagai pertimbangan dan istikharah yang dilakukan. Akhirnya, aku mengajukan resign untuk melanjutkan pendidikan keagamaan di pondok pesantren Khatamun Nabiyyin Jakarta. Tempat di mana kakakku juga melanjutkan pendidikannya. Tiba di hari pamitku di tempat kerja, rasanya seperti mimpi yang menjadi kenyataan.

    Aku sadar, perjalanan ini belum selesai. Akan ada badai lain yang menantiku di depan. Tapi aku tidak takut lagi. Aku tahu bahwa aku adalah pemenang.Bukan karena aku tak pernah kalah, tetapi karena aku tak pernah berhenti melawan.

    Di ujung samudera yang penuh badai ini, aku melihat cahaya terang yang menunggu. Ada mimpi yang menjadi nyata, ada keberhasilan yang menjadi balasan atas setiap tetes keringat, dan ada kisah indah yang layak diceritakan.

    Aku adalah aku. Anak kecil yang dulu menjual es, yang tumbuh menjadi remaja penjual roti, dan kini berdiri di ambang cita-cita besar. Hidup adalah samudera yang luas, penuh badai dan gelombang. Tapi aku percaya, selama aku terus mendayung, aku akan sampai ke pelabuhan yang tertuju.

    Hingga di ujung samudera, aku memilih untuk tetap mendayung menuju kota metropolitan. Sebab, di sanalah kota yang akan mendidikku mencapai cita-cita itu. 

     

     

    Kreator : Nadia Rumain

    Bagikan ke

    Comment Closed: Jalan Panjang Menuju Pelabuhan Impian

    Sorry, comment are closed for this post.

    Popular News

    • Part 15: Warung Kopi Klotok  Sesampainya di tempat tujuan, Rama mencari tempat ternyaman untuk parkir. Bude langsung mengajak Rani dan Rama segera masuk ke warung Kopi Klotok. Rama sudah reservasi tempat terlebih dahulu karena tempat ini selalu banyak pengunjung dan saling berebut tempat yang ternyaman dan posisi view yang pas bagi pengunjung. Bude langsung memesan […]

      Okt 01, 2024
    • Part 16 : Alun – Alun  Kidul Keesokan paginya seperti biasa Bude sudah bangun dan melaksanakan ibadah sholat subuh. Begitupun dengan Rani yang juga melaksanakan sholat subuh. Rani langsung ke dapur setelah menunaikan ibadah sholat subuh. Tidak lama disusul oleh Bude dan langsung mengambil bahan masakan serta mengiris bahan untuk memasak. Rani dan Bude sangat […]

      Okt 16, 2024
    • Part 14: Kopi Klotok Pagi hari yang cerah, secerah hati Rani dan semangat yang tinggi menyambut keseruan hari ini. Ia bersenandung dan tersenyum sambil mengiris bahan untuk membuat nasi goreng. Tante, yang berada di dekat Rani, ikut tersenyum melihat Rani yang bersenandung dengan bahagia. “Rani, kamu ada rasa tidak sama Rama? Awas, ya. Jangan suka […]

      Sep 18, 2024
    • Part 13 : Candi Borobudur Keesokan harinya Rama sibuk mencari handphone yang biasa membangunkannya untuk berolahraga disaat Rama berada di Jogja. Rama tersenyum dan semangat untuk bangun, membersihkan diri dan segera membereskan kamarnya. Tidak lupa Rama juga menggunakan pakaian yang Rapih untuk menemui Rani hari ini. Sementara Rani seperti biasa masih bermalas-malasan di dalam kamarnya […]

      Sep 07, 2024
    • Part 12 : Cemburu Rama langsung memukul Jaka saat Jaka baru saja masuk ke ruang kerjanya Rama. Jaka yang meringis bukannya marah namun malah tersenyum terhadap Rama karena Jaka tahu bahwa Rama lagi cemburu terhadapnya. Rama males menjawab salam dari Jaka namun sebagai orang yang punya adab Rama harus menjawab salam dari Jaka dengan sopan. […]

      Sep 05, 2024

    Latest News

    Buy Pin Up Calendar E-book On-line At Low Prices In India After the installation is complete, you’ll have the flexibility […]

    Jun 21, 2021

    Karya Nurlaili Alumni KMO Alineaku Hampir 10 bulan, Pandemi Covid -19 telah melanda dunia dengan cepat dan secara tiba-tiba. Hal […]

    Des 07, 2021

    Karya Lailatul Muniroh, S.Pd Alumni KMO Alineaku Rania akhirnya menikah juga kamu,,,  begitu kata teman2nya menggoda, Yaa,,,Rania bukan anak.yang cantik […]

    Des 07, 2021

    Karya Marsella. Mangangantung Alumni KMO Alineaku Banyak anak perempuan mengatakan bahwa sosok pria yang menjadi cinta pertama mereka adalah Ayah. […]

    Des 07, 2021

    Karya Any Mewa Alumni KMO Alineaku Bukankah sepasang sejoli memutuskan bersatu dalam ikatan pernikahan demi menciptakan damai bersama? Tetapi bagaimana […]

    Des 07, 2021