KATEGORI
  • Adat & Budaya
  • Agrikultur
  • Aksi
  • Arsitektur
  • Artikel
  • Asmara
  • Autobiografi
  • autobiography
  • Bahasa & Sastra
  • basedonmyrealitylife
  • Berita Alineaku
  • Bisnis
  • Branding
  • Catatan Harian
  • Cerita Anak
  • Cerita Bersambung
  • Cerita Pendek
  • Cerita Rakyat
  • Cerpen
  • Cinta
  • Cita – Cita dan Harapan
  • Dongeng
  • Drama
  • Ekonomi
  • Epos
  • Event
  • Fabel
  • Fantasi
  • Fiksi
  • Gaya Hidup
  • Hiburan
  • Hobi
  • Hubungan Antarpribadi
  • Hukum
  • Humanis
  • Humor
  • Ilmu Manajemen
  • Inspirasi
  • Istri
  • Kampus
  • Karir dan Kewirausahaan
  • Keagamaan
  • Keluarga
  • Kesehatan & Kecantikan
  • Kesehatan Mental
  • Ketenagakerjaan
  • Kisa Masa Kecil
  • Kisah Inspiratif
  • Kritik Media
  • Kuliner
  • Legenda
  • Lifestyle
  • Lingkungan Hidup
  • Madhoe Retna
  • Manajemen
  • mengelola toko
  • Mental Health
  • Moralitas
  • Motivasi
  • Novel
  • Nutrisi
  • Nutrition
  • Opini
  • Organisasi
  • Otomotif
  • Parenting
  • Pemerintahan
  • Pendidikan
  • Pendidikan Karir
  • Pendidikan Keuangan
  • pengalaman hidup
  • Pengembangan Diri
  • Perjalanan Hidup
  • Pernikahan
  • Persahabatan
  • Pertemanan
  • Petualangan
  • Petualangan Alam
  • Pilih Kategori
  • Pilih Menu
  • Politik
  • Psikologi
  • Psikologi Sosial
  • Puisi
  • Romansa
  • Romantisme kehidupan
  • Rumah Tangga
  • Satir
  • SDM
  • Sejarah
  • Self-Acceptance
  • Self-Awareness
  • Seni & Budaya
  • Sosial
  • spiritual journey
  • Strategi
  • Teknologi
  • Tempat Wisata
  • Traveling
  • Uncategorized
  • Wanita
  • Beranda » Artikel » Jam Matahari

    Jam Matahari

    BY 28 Sep 2025 Dilihat: 9 kali
    Jam Matahari_alineaku

    Matahari bersinar cerah sementara hembusan angin dingin membuatnya bergidik saat pintu pesawat kecil itu dibuka. Dia melangkahkan kaki menapaki anak tangga kecil di balik pintu pesawat yang menganga kebawah. Tak jauh di pinggiran runway bandara itu, tampak gerombolan anak-anak berseragam sekolah dari TK-SMA berdempetan berdiri menunggu mesin pesawat dimatikan. Saat mesin pesawat mati dan perlahan baling-balingnya perlahan berhenti berputar, tampaklah gerombolan yang tadi berhamburan ke arah runway, mengadu kecepatan menuju Pilatus yang terparkir cantik. Seketika mereka berebutan membuka pintu bagasi dilambung pesawat, berebutan mengangkat barang apa saja yang ada disana sambil bersahut-sahutan mendendangkan lagu daerah khas Papua Pegunungan. 

    Sesaat setelah semua penumpang yang berjumlah 9 orang turun dari pesawat dan bergabung dengan gerombolan anak-anak sekolah tadi, Pilatus pun menderukan mesin kembali dan membumbung tinggi ke angkasa kembali ke kota. Gerombolan tadi membentuk 1 arak-arakan besar yang berisik, riuh-rendah dengan lantunan kata yang baru kali itu dia dengar, berjalan beriringan menyambut 8 orang guru dan seorang dokter yang baru tiba tuk dihantarkan ke tempat tinggal baru mereka di Distrik Sinak, Kab. Puncak, Prop.Papua. 

    12 tahun telah berlalu dan semua itu masih segar dalam ingatannya sampai detik ini. Hari yang tak terlupakan, rasanya seperti baru kemarin dia berada ditengah penyambutan meriah itu bersama teman-teman guru yang baru lulus dari UGM. Hari dimana dia mendapat 8 orang teman baru, ditempat yang baru, dengan budaya yang baru, kebiasaan yang baru, semuanya serba baru karena mereka sama-sama ditempatkan di pedalaman ini untuk mengabdi dan melayani masyarakat yang masih terisolir dari dunia modern. 

    Seulas senyum dengan mata berkaca-kaca tatkala dia mengenang hari itu. Hari ini, dilokasi yang sama dengan suasana berbeda. Dia dan 2 orang teman guru yang sekarang adalah suami istri, berdiri menunggu datangnya pesawat yang akan membawa mereka turun ke kota terdekat. Bernostalgia dengan kenangan dan impian yang masih mereka jalani. Mengabdi dan melayani. Walaupun bidang yang berbeda, namun mereka merasakan perjuangan yang sama. Berjuang memenangkan diri sendiri melawan ego maupun berjuang demi meraih pencapaian yang lebih baik dari kemarin dalam pelayanan dan pengabdian mereka di bidang kesehatan dan pendidikan. 

    “Dok, ingatkah dulu waktu tong baru sampai di sini?” kata bu guru dengan nada nostalgia sembari memandangi Gunung Gergaji yang menjulang gagah di depan mereka. 

    “Pastinya. Tra mungkin sa bisa lupa,” sambil sedikit terkekeh mengenang beberapa peristiwa lucu tapi nyata yang terlintas dalam ingatannya. 

    Pak guru juga tak kalah menimpali, “Banyak su jadi cerita Mop, tapi based on true story. Hahaha…” 

    Dan, mereka pun tergelak bersama. Mereka bertiga yang berasal dari daerah dan suku yang berbeda, sekarang malah lebih fasih berlogat Papua daripada logat daerah asal masing-masing. 

    Sa paling ingat tuh, minggu pertama tong mengajar di sekolah. Su tiga hari berturut kami ke sekolah, anak-anak siswa tra da yang datang. Heran juga. Padahal su umumkan di pasar, di gereja-gereja, di desa-desa, guru-guru su datang. Jadinya tong inisiatif jemput dong di honai-honai. Tong berpencar, jalan kaki mulai dari honai yang paling dekat dengan sekolah sampai yang agak jauh yang masih mampu tong jangkau,” kata Pak Guru sambil menahan tawa. 

    Belum sempat Pak Guru melanjutkan kisahnya, Bu Guru sudah nyerocos menyambung ceritanya.

    “Dok bisa bayangkan toh, tong su capek nae turun gunung, lompat pagar babi di sana-sini, baru anak-anak yang kami jemput masih tidak mau ke sekolah. Baru dong semua jawab dengan jawaban yang sama,” sambil beliau menirukan percakapan yang terjadi kala itu. 

    “Bu guru, ini masih pagi toh. Sedikit lagi baru kami ke sekolah,” jawab anak siswa yang kami jemput sambil baring-baring dekat tungku dalam honai, karena memang udara pagi itu menusuk sampai ke tulang-tulang. Suhu udara 8-9*C adalah hal biasa di ketinggian sini. 

    “Ah tidak. Ini su jam delapan, su terlambat untuk masuk kelas. Ayo sudah, tong jalan sama-sama ke sekolah”, jawab sang guru.  

    “Belum Bu Guru, ini masih terlalu pagi. Matahari saja belum ada muncul. Nanti toh, klo su ada matahari, sa suruh anak ini jalan sendiri ke sekolah,” bantah ibunya yang juga tak beranjak dari sisi tungku dalam honai. 

    Hahahaha… Pak Guru sudah tidak bisa menahan tawanya, padahal cerita belum selesai. “Baru Dok tau. Sepanjang hari itu, Matahari tuh tra da muncul barang semenitpun. Matahari sembunyi pake selimut awan, tidur kapa.  Jadinya, tidak ada anak siswa yang datang di sekolah. Dan itu terjadi bukan cuma 1-2 kali saja, tapi berkali-kali. Tong su jelaskan ke anak-anak siswa, tong tra bisa andalkan Matahari saja. Matahari bisa tidak muncul berminggu-minggu di sini, tidak pandang musim. Mo musim hujan kah, musim kemarau kah, Matahari lebih banyak sembunyi,” jelas Pak Guru. 

    “Kalopun anak-anak ke sekolah, tong tra bisa terapkan jam sekolah macam di kota. Terlalu susah mo bikin jam pelajaran macam tong sekolah dulu. Tra perlu tunggu lonceng bunyi. Kalo anak-anak su liat Matahari su agak terik sedikit saja, dong langsung hambur ke luar trus main bola. Entah bola voli atau bola kaki, walaupun itu bukan jam olahraga,” Bu Guru menjelaskan dengan sedikit geram dan kecewa tergambar diraut wajahnya.  

    Yah, jika ke sekolah, kekebun, ke kantor dan aktivitas lainnya bergantung pada munculnya Matahari,  bagaimana bisa maju peradaban di tempat ini? Matahari cenderung hanya bersinar pada jam sembilan pagi sampai jam satu siang, itu pun sudah paling maksimal di musim kemarau. Bayangkan saja kalau musim hujan. 

    Perbincangan mereka berlangsung masih panjang, karena pesawat yang ditunggu belum kunjung tiba. Maklumlah, pesawat ke tempat ini jadwalnya juga bergantung pada Matahari. Jika Matahari bersinar cerah, penerbangan pun lancar. Dan sebaliknya, jangankan hujan, berawan agak tebal saja, jangan harap ada pesawat yang akan mendarat. Runway bandara ini letaknya pada lekukan gunung, jadinya pesawat harus terbang sangat rendah,  hanya beberapa meter diatas pepohonan supaya tidak menabrak tebing gunung. 

    Bukan hanya kegiatan masyarakat saja yang sangat bergantung pada kemunculan Matahari setiap hari. Bahkan pasien yang berobat pun, menunggu Matahari muncul untuk menelan obat yang sudah diberikan. Bayangkan saja bagaimana kondisi pasien di saat musim hujan. Bukannya berangsur sembuh, tapi malahan menjadi parah karena menanti patokan waktu yang salah untuk minum obat. 

    Betapa Matahari ini memegang peranan yang sangat penting bagi masyarakat di tempat ini. Sampai-sampai pasokan listrik pun bergantung pada munculnya Matahari. Karena belum ada PLN yang dibangun di daerah sini, jadinya mereka hanya bisa mengandalkan sistem PLTS Mandiri untuk mendapatkan listrik, entah untuk keperluan di tempat kerja maupun di rumah masing-masing. 

    Matahari sang penguasa langit sinag, masih menjadi penentu waktu yang baku di sini sampai saat ini. Entah sampai kapan cara pandang ini baru akan bisa diubah.

    Perjuangan masih panjang namun bukan tidak mungkin. Hanya mereka yang bisa bertahan hidup dipedalaman saja yang tahu bagaimana lelah dan letihnya jatuh bangun perjuangan untuk mencerdaskan anak bangsa yang masih belum merdeka dari buta aksara.  Kaonak. Wa… Wa… Wa…

     

     

    Kreator : Vidya D’CharV (dr. Olvina ML.L. Pangemanan, M.K.M.)

    Bagikan ke

    Comment Closed: Jam Matahari

    Sorry, comment are closed for this post.

    Popular News

    • Part 15: Warung Kopi Klotok  Sesampainya di tempat tujuan, Rama mencari tempat ternyaman untuk parkir. Bude langsung mengajak Rani dan Rama segera masuk ke warung Kopi Klotok. Rama sudah reservasi tempat terlebih dahulu karena tempat ini selalu banyak pengunjung dan saling berebut tempat yang ternyaman dan posisi view yang pas bagi pengunjung. Bude langsung memesan […]

      Okt 01, 2024
    • Part 16 : Alun – Alun  Kidul Keesokan paginya seperti biasa Bude sudah bangun dan melaksanakan ibadah sholat subuh. Begitupun dengan Rani yang juga melaksanakan sholat subuh. Rani langsung ke dapur setelah menunaikan ibadah sholat subuh. Tidak lama disusul oleh Bude dan langsung mengambil bahan masakan serta mengiris bahan untuk memasak. Rani dan Bude sangat […]

      Okt 16, 2024
    • Dalam dunia pendidikan modern, pendekatan sosial emosional semakin banyak dibahas. Salah satu model yang mendapatkan perhatian khusus adalah **EMC2 sosial emosional**. Namun, apa sebenarnya yang dimaksud dengan Definisi EMC2 sosial emosional? Mengapa pendekatan ini penting dalam pembelajaran? Mari kita bahas lebih lanjut untuk memahami bagaimana EMC2 berperan dalam perkembangan siswa secara keseluruhan. Definisi EMC2 Sosial […]

      Okt 02, 2024
    • Pancasila sebagai dasar negara Indonesia tidak lahir begitu saja. Di balik perumusan lima sila yang menjadi pondasi bangsa ini, ada pemikiran mendalam dari para tokoh pendiri bangsa, salah satunya adalah Soekarno. Pemikiran Soekarno dalam merumuskan Pancasila sebagai dasar negara menjadi salah satu tonggak penting dalam sejarah Indonesia. Lalu, apa saja pemikiran Soekarno tentang dasar negara […]

      Des 02, 2024
    • Part 14: Kopi Klotok Pagi hari yang cerah, secerah hati Rani dan semangat yang tinggi menyambut keseruan hari ini. Ia bersenandung dan tersenyum sambil mengiris bahan untuk membuat nasi goreng. Tante, yang berada di dekat Rani, ikut tersenyum melihat Rani yang bersenandung dengan bahagia. “Rani, kamu ada rasa tidak sama Rama? Awas, ya. Jangan suka […]

      Sep 18, 2024

    Latest News

    Buy Pin Up Calendar E-book On-line At Low Prices In India After the installation is complete, you’ll have the flexibility […]

    Jun 21, 2021

    Karya Nurlaili Alumni KMO Alineaku Hampir 10 bulan, Pandemi Covid -19 telah melanda dunia dengan cepat dan secara tiba-tiba. Hal […]

    Des 07, 2021

    Karya Lailatul Muniroh, S.Pd Alumni KMO Alineaku Rania akhirnya menikah juga kamu,,,  begitu kata teman2nya menggoda, Yaa,,,Rania bukan anak.yang cantik […]

    Des 07, 2021

    Karya Marsella. Mangangantung Alumni KMO Alineaku Banyak anak perempuan mengatakan bahwa sosok pria yang menjadi cinta pertama mereka adalah Ayah. […]

    Des 07, 2021

    Karya Any Mewa Alumni KMO Alineaku Bukankah sepasang sejoli memutuskan bersatu dalam ikatan pernikahan demi menciptakan damai bersama? Tetapi bagaimana […]

    Des 07, 2021