Matahari bersinar cerah sementara hembusan angin dingin membuatnya bergidik saat pintu pesawat kecil itu dibuka. Dia melangkahkan kaki menapaki anak tangga kecil di balik pintu pesawat yang menganga kebawah. Tak jauh di pinggiran runway bandara itu, tampak gerombolan anak-anak berseragam sekolah dari TK-SMA berdempetan berdiri menunggu mesin pesawat dimatikan. Saat mesin pesawat mati dan perlahan baling-balingnya perlahan berhenti berputar, tampaklah gerombolan yang tadi berhamburan ke arah runway, mengadu kecepatan menuju Pilatus yang terparkir cantik. Seketika mereka berebutan membuka pintu bagasi dilambung pesawat, berebutan mengangkat barang apa saja yang ada disana sambil bersahut-sahutan mendendangkan lagu daerah khas Papua Pegunungan.
Sesaat setelah semua penumpang yang berjumlah 9 orang turun dari pesawat dan bergabung dengan gerombolan anak-anak sekolah tadi, Pilatus pun menderukan mesin kembali dan membumbung tinggi ke angkasa kembali ke kota. Gerombolan tadi membentuk 1 arak-arakan besar yang berisik, riuh-rendah dengan lantunan kata yang baru kali itu dia dengar, berjalan beriringan menyambut 8 orang guru dan seorang dokter yang baru tiba tuk dihantarkan ke tempat tinggal baru mereka di Distrik Sinak, Kab. Puncak, Prop.Papua.
12 tahun telah berlalu dan semua itu masih segar dalam ingatannya sampai detik ini. Hari yang tak terlupakan, rasanya seperti baru kemarin dia berada ditengah penyambutan meriah itu bersama teman-teman guru yang baru lulus dari UGM. Hari dimana dia mendapat 8 orang teman baru, ditempat yang baru, dengan budaya yang baru, kebiasaan yang baru, semuanya serba baru karena mereka sama-sama ditempatkan di pedalaman ini untuk mengabdi dan melayani masyarakat yang masih terisolir dari dunia modern.
Seulas senyum dengan mata berkaca-kaca tatkala dia mengenang hari itu. Hari ini, dilokasi yang sama dengan suasana berbeda. Dia dan 2 orang teman guru yang sekarang adalah suami istri, berdiri menunggu datangnya pesawat yang akan membawa mereka turun ke kota terdekat. Bernostalgia dengan kenangan dan impian yang masih mereka jalani. Mengabdi dan melayani. Walaupun bidang yang berbeda, namun mereka merasakan perjuangan yang sama. Berjuang memenangkan diri sendiri melawan ego maupun berjuang demi meraih pencapaian yang lebih baik dari kemarin dalam pelayanan dan pengabdian mereka di bidang kesehatan dan pendidikan.
“Dok, ingatkah dulu waktu tong baru sampai di sini?” kata bu guru dengan nada nostalgia sembari memandangi Gunung Gergaji yang menjulang gagah di depan mereka.
“Pastinya. Tra mungkin sa bisa lupa,” sambil sedikit terkekeh mengenang beberapa peristiwa lucu tapi nyata yang terlintas dalam ingatannya.
Pak guru juga tak kalah menimpali, “Banyak su jadi cerita Mop, tapi based on true story. Hahaha…”
Dan, mereka pun tergelak bersama. Mereka bertiga yang berasal dari daerah dan suku yang berbeda, sekarang malah lebih fasih berlogat Papua daripada logat daerah asal masing-masing.
“Sa paling ingat tuh, minggu pertama tong mengajar di sekolah. Su tiga hari berturut kami ke sekolah, anak-anak siswa tra da yang datang. Heran juga. Padahal su umumkan di pasar, di gereja-gereja, di desa-desa, guru-guru su datang. Jadinya tong inisiatif jemput dong di honai-honai. Tong berpencar, jalan kaki mulai dari honai yang paling dekat dengan sekolah sampai yang agak jauh yang masih mampu tong jangkau,” kata Pak Guru sambil menahan tawa.
Belum sempat Pak Guru melanjutkan kisahnya, Bu Guru sudah nyerocos menyambung ceritanya.
“Dok bisa bayangkan toh, tong su capek nae turun gunung, lompat pagar babi di sana-sini, baru anak-anak yang kami jemput masih tidak mau ke sekolah. Baru dong semua jawab dengan jawaban yang sama,” sambil beliau menirukan percakapan yang terjadi kala itu.
“Bu guru, ini masih pagi toh. Sedikit lagi baru kami ke sekolah,” jawab anak siswa yang kami jemput sambil baring-baring dekat tungku dalam honai, karena memang udara pagi itu menusuk sampai ke tulang-tulang. Suhu udara 8-9*C adalah hal biasa di ketinggian sini.
“Ah tidak. Ini su jam delapan, su terlambat untuk masuk kelas. Ayo sudah, tong jalan sama-sama ke sekolah”, jawab sang guru.
“Belum Bu Guru, ini masih terlalu pagi. Matahari saja belum ada muncul. Nanti toh, klo su ada matahari, sa suruh anak ini jalan sendiri ke sekolah,” bantah ibunya yang juga tak beranjak dari sisi tungku dalam honai.
Hahahaha… Pak Guru sudah tidak bisa menahan tawanya, padahal cerita belum selesai. “Baru Dok tau. Sepanjang hari itu, Matahari tuh tra da muncul barang semenitpun. Matahari sembunyi pake selimut awan, tidur kapa. Jadinya, tidak ada anak siswa yang datang di sekolah. Dan itu terjadi bukan cuma 1-2 kali saja, tapi berkali-kali. Tong su jelaskan ke anak-anak siswa, tong tra bisa andalkan Matahari saja. Matahari bisa tidak muncul berminggu-minggu di sini, tidak pandang musim. Mo musim hujan kah, musim kemarau kah, Matahari lebih banyak sembunyi,” jelas Pak Guru.
“Kalopun anak-anak ke sekolah, tong tra bisa terapkan jam sekolah macam di kota. Terlalu susah mo bikin jam pelajaran macam tong sekolah dulu. Tra perlu tunggu lonceng bunyi. Kalo anak-anak su liat Matahari su agak terik sedikit saja, dong langsung hambur ke luar trus main bola. Entah bola voli atau bola kaki, walaupun itu bukan jam olahraga,” Bu Guru menjelaskan dengan sedikit geram dan kecewa tergambar diraut wajahnya.
Yah, jika ke sekolah, kekebun, ke kantor dan aktivitas lainnya bergantung pada munculnya Matahari, bagaimana bisa maju peradaban di tempat ini? Matahari cenderung hanya bersinar pada jam sembilan pagi sampai jam satu siang, itu pun sudah paling maksimal di musim kemarau. Bayangkan saja kalau musim hujan.
Perbincangan mereka berlangsung masih panjang, karena pesawat yang ditunggu belum kunjung tiba. Maklumlah, pesawat ke tempat ini jadwalnya juga bergantung pada Matahari. Jika Matahari bersinar cerah, penerbangan pun lancar. Dan sebaliknya, jangankan hujan, berawan agak tebal saja, jangan harap ada pesawat yang akan mendarat. Runway bandara ini letaknya pada lekukan gunung, jadinya pesawat harus terbang sangat rendah, hanya beberapa meter diatas pepohonan supaya tidak menabrak tebing gunung.
Bukan hanya kegiatan masyarakat saja yang sangat bergantung pada kemunculan Matahari setiap hari. Bahkan pasien yang berobat pun, menunggu Matahari muncul untuk menelan obat yang sudah diberikan. Bayangkan saja bagaimana kondisi pasien di saat musim hujan. Bukannya berangsur sembuh, tapi malahan menjadi parah karena menanti patokan waktu yang salah untuk minum obat.
Betapa Matahari ini memegang peranan yang sangat penting bagi masyarakat di tempat ini. Sampai-sampai pasokan listrik pun bergantung pada munculnya Matahari. Karena belum ada PLN yang dibangun di daerah sini, jadinya mereka hanya bisa mengandalkan sistem PLTS Mandiri untuk mendapatkan listrik, entah untuk keperluan di tempat kerja maupun di rumah masing-masing.
Matahari sang penguasa langit sinag, masih menjadi penentu waktu yang baku di sini sampai saat ini. Entah sampai kapan cara pandang ini baru akan bisa diubah.
Perjuangan masih panjang namun bukan tidak mungkin. Hanya mereka yang bisa bertahan hidup dipedalaman saja yang tahu bagaimana lelah dan letihnya jatuh bangun perjuangan untuk mencerdaskan anak bangsa yang masih belum merdeka dari buta aksara. Kaonak. Wa… Wa… Wa…
Kreator : Vidya D’CharV (dr. Olvina ML.L. Pangemanan, M.K.M.)
Comment Closed: Jam Matahari
Sorry, comment are closed for this post.