”Jangan berhenti mencintaiku
Meski mentari tak kan bersinar
Jangan berubah sedikit pun
Di dalam cintamu kutemukan bahagia…”
Lagu lama yang dilantunkan Titi DJ membawaku hanyut dalam kenangan bersama dirimu. Tiga tahun lamanya kenangan itu ku kubur dalam-dalam, tak ingin terusik oleh apapun. Namun, seminggu lalu kau datang menyapaku dan menyerbuku dengan berbagai pertanyaan.
“Hai, apa kabar?” tanyamu mengawali pertemuan kita.
“Baik,” jawabku dengan suara sedikit tertahan karena tak menyangka kita akan bertemu lagi.
“Kau agak kurusan, tapi tetap manis,” kata yang selalu kau lontarkan padaku saat kita masih bersama dulu tiga tahun yang lalu.
“Ku dengar engkau belum menikah dan pindah di kota ini,” lanjut pertanyaanmu. Ku anggukkan saja kepalaku mengiyakan pertanyaanmu. “Darimana dia tahu semuanya tentang aku, sedangkan kami tak pernah berhubungan lagi semenjak ia menikah dengan pilihan orang tuanya,” gumamku dalam hati.
“Kudengar lagi kau melanjutkan kuliahmu, sudah semester berapa sekarang?”
“Tujuh,” jawabku singkat masih dengan suara pelan namun sekali-kali kulirik ia, …ah masih seperti dulu wajah yang tidak pernah ku enyahkan dari pikiranku, wajah manis dan teduh dengan sedikit kumis tipis menghias wajahnya.
“Oh, kapan proposal,” lanjutmu membuyarkan lamunanku, sedikit tergagap aku menjawab pertanyaanmu. Aku kuasai diriku untuk tetap tenang dan sedikit rileks.
“Insya Allah, semester depan.”
“Ehm…sudah siang, kita makan di warung makan dekat ruko itu, yuk.”
Ku arahkan pandanganku searah telunjukmu. Aku mengangguk saja jujur aku masih ingin berlama-lama denganmu menghabiskan waktu untuk mendengar cerita tentangmu, tentang keluargamu, kebahagianmu selama hidup bersamanya.
Warung makan itu tidak jauh dari tempat kami berdiri, beberapa menit saja kami sudah berada di dalam dan mengambil posisi duduk berhadapan, mengapa dadaku masih saja berdebar apalagi saat sekarang saat telah duduk berhadapan gemuruh itu semakin dahsyat…oh Tuhan maafkan diri ini yang tak pernah bisa melupakannya, aku sungguh masih mencintainya.
“Pesan apa Pak!” Tanya pelayan kepadamu tapi mengusik lamunanku.
“Oh, kamu pesan apa Dit! Pilih saja di sini,” sambil menyodorkan daftar menu kepadaku.
“Mie pangsit, minumnya teh botol.”
“Saya nasi campur komplit, minumnya sama teh botol.” Pelayan itu berlalu dari hadapan kami tinggal aku yang sedikit gelisah dengan tatapanmu kepadaku, Aku menunduk tak berani membalas tatapanmu.
“Dit, kamu tidak bertanya tentang aku, bagaimana keluargaku atau hal-hal lain yang ingin kamu ketahui tentang aku selama lima tahun perpisahan kita,” engkau mulai percakapan kita dan memang itu yang membuatku ingin berlama-lama denganmu mengetahui lebih banyak tentang kehidupanmu.
“Iya, anakmu berapa?”
“Belum ada, dan tidak akan pernah ada sebelum aku menikah,” aku kaget campur penasaran dengan jawaban itu.
“Kenapa demikian?”
“Aku hanya menikahinya untuk memenuhi keinginan orang tuaku, kami tidak saling mencintai ternyata ia juga memiliki perasaan yang sama denganku. Kerabat keluarga telah mengetahui bahwa kami telah bertunangan dan harus melaksanakan pernikahan itu, …yah kami harus melaksnakannya. Singkat cerita kedua orang tua kami mau memahami itu kami tidak akan pernah bahagia karena hati kami telah dimiliki oleh seseorang, ia juga telah memiliki kekasih yang sudah terjalin cukup lama sama seperti diriku.” Seorang pelayan menghantarkan makanan pesanan kami namun tidak kupikirkan lagi dengan rasa laparku aku semakin penasaran dengan ceritamu.
“Lantas?” Tanyaku sedikit mendesak untuk mengetahui akhir ceritamu.
“Kami bercerai beberapa hari setelah pesta pernikahan itu, dan aku tidak ingin merusak kehormatannya di malam pertama karena sebelumnya ia telah bercerita kepadaku bahwa ada lelaki yang telah mengisi relung hatinya, aku memahaminya dan kuceritakan juga apa yang sebenarnya pada diriku. Kami sepakat untuk melaksnakan pernikahan itu dan berterus terang kepada kedua orang tua kami apapun resikonya bahwa kami ingin berpisah kebersamaan ini penyiksaan buat kami, awalnya kedua orang tua kami tidak menyetujuinya mereka malu dengan apa yang dikatakan kerabat keluarga dan tetangga, kami terus saja berusaha membuat mereka paham, jadilah kami berpisah. Dan aku tidak pernah mendengar kabarnya lagi. Setahun kemudian aku pindah ke kota ini, aku baru tahu dua tahun terakhir ini bahwa ternyata kamu juga tinggal di kota yang sama denganku. Aku mencari tahu informasi tentangmu dari seorang teman yang sangat mengenalmu, Nila yang ternyata kuliah di kampus yang sama denganmu tapi lain jurusan.” Engkau menarik napas menghentikan ceritamu sejenak menikmati makanan yang telah tersaji. Aku juga mulai menyendok mi pangsit pesananku, Nila kenapa ia tak pernah cerita kepadaku tantang Ari pria yang telah menawan hatiku sampai kini.
“Sekarang kita telah bertemu dan telah kujelaskan semuanya kepadamu masihkah engkau mau menemuiku?” Kuberanikan diri untuk menatapnya. Kugelengkan kepalaku tiga tahun lamanya perasaan ini tak pernah berubah terhadapmu, ternyata Tuhan mempertemukan lagi aku kepadamu.
“Tidak,” jawabku. Kurasakan sebutir air mengalir di pipiku aku terharu dengan ceritamu sekaligus bahagia dengan pertemuan ini. Inikah jawaban atas doaku selama ini untuk bertemu denganmu walau sekali saja.
“Apakah kau masih mencintaiku?” kuanggukkan kepalaku aku tak dapat lagi berkata-kata, aku tersenyum dan tak ingin membohongi perasaanku bahwa tidak ada yang dapat menggantikan posisimu dihatiku. Kami pun menghabiskan sisa makanan kami dengan rasa penuh suka cita.
Pagi yang cerah secerah hatiku, lantunan lagu Titi DJ masih berkumandang kunikmati sambil menghayalkan dirimu tiga tahun lalu, pertemuan kita seminggu yang tanpa sengaja terjadi membawa kesan terindah, hari ini engkau berjanji akan datang ke rumahku telah kusiapkaan diriku untuk menyambutmu. Ah…baju biru toska warna kesukaanku dengan stelan celana panjang putih.
“Dita, ada tamu,” kudengar suara ibu mengetuk pintu kamarku, membuyarkan semua lamunanku tentangmu.
“Siapa, Bu?” kubertanya kepada ibuku setelah pintu kamar kubuka.
“Ada aja,” Ibu berlalu sambil tersenyum. Ibulah tempat curhatan hatiku selama ini, beliau tahu tentang perasaan yang aku jalani dihari-hariku.
“Idih, Ibu!” kuberjalan ke ruang tamu, sosok yang amat kurindukan telah duduk membelakangi pintu yang membatasi ruang tamu dan ruang tengah rumah kami.
“Hi, sudah lama?” sapaku ketika kududuk persis disampingnya.
“Beberapa menit, aku suka penampilanmu tambah manis,” pujimu unutkku membuat sedikit bangga.
“Ada kuliah hari ini?”
“Tidak ada,” jawabku.
“Boleh aku mengganggu sedikit waktumu?” aku mengangguk mengiyakan permintaanmu.
“Ada yang ingin kuutarakan, sama seperti tiga tahun yang lalu,” aku amat memahami dan tak perlu berlalama-lama untuk mengutarakan maksudmu “engkau tak akan pernah menyakiti dan meninggalkanku dan akan tetap mencintaiku,” itu kata yang akan kau utarakan kepadaku. Kuanggukkan kepalaku sekali lagi. Ditariknya kepalaku dengan lembut ke dalam dekapannya. Aku bahagia, bahagia sekali. Ada tatapan lembut dari sorot matanya dan tatapan itu seolah mewakili kata hatinya. Terima kasih Tuhan engkau mendengar doaku.”***
Kreator : Indarwati Suhariati Ningsi
Comment Closed: Jangan Berhenti Mencintaiku
Sorry, comment are closed for this post.