#Prolog
Hujan, secangkir kopi, dan sudut kafe tenang ditemani lagu Kepada Noor. Lagu rindu yang sarat akan kerinduan untuk bertemu. Suasana paling ideal untuk seorang introvert seperti Alexa menikmati berisiknya pikiran. Alexa meneguk perlahan coffe latte less sugar pesanannya, sambil menerawang ke langit-langit mencoba mengingat kembali bagaimana perjalanan dan ceritanya berdamai dengan keadaannya disini. Mungkin, belum sepenuhnya berdamai, hanya saja berusaha untuk percaya bahwa ini adalah takdir Tuhan yang terbaik untuk umatnya yang banyak ingin seperti Alexa.
Alexa sangat percaya ada banyak cara dan peristiwa terjadi untuk membentur dan membentuk manusia menjadi lebih kuat, entah dengan kehilangan, sakit, kekecewaan, patah hati, dikhianati, bahkan antara hidup dan mati. Dia pun percaya ketika semakin banyak benturan, harusnya manusia semakin melentur bukan kaku pada nilai-nilai lama. Sepuluh tahun tidak bersama dengan orang tua itu bukan hal yang mudah, ada rasa bebas dan tanpa aturan yang dirasakan Alexa. Namun, itu mungkin hanya bertahan beberapa tahun saja, selebihnya homesick tak karuan dan ingin menyerah. Beragam alasan menjadikan Lexa jengah hidup bersama orang tua, mungkin karena dia berada di lingkungan yang tidak mendukung hobinya, bukan keluarga cemara atau terlalu banyak tuntutan yang harus dipenuhi sebagai seorang anak. Tapi, percayalah ternyata memutuskan untuk merantau tidak sepenuhnya menyenangkan karena, alasannya adalah untuk melarikan diri.
Kota pelarian yang dipilih adalah Solo, salah satu tempat yang cocok untuk menetap di hari tua kata kebanyakan orang. Solo, salah satu kota surga makanan enak, sedikit riuh, kota budaya dan kota yang mengajarkan Lexa banyak hal, membentur dan membentuknya menjadi wanita tangguh tempat pulangnya mereka yang kehilangan rumah. Keputusan Ibu Amara menyuruhnya melanjutkan sekolah ke Solo saat itu, menurutnya adalah pilihan yang tepat. Tak ingin anak perempuan terakhirnya mengulang kesalahan dan membuat malu keluarga, dan ingin anak perempuan terakhirnya ini lebih terbuka pikirannya, menjadi mandiri, tidak terjerumus dalam pergaulan yang salah, dan bisa menjadi contoh inspiratif untuk orang lain nanti, bahwa tidak selamanya hitam adalah hitam. Hitam pun bisa menjadi menawan jika pandai dipadu-padankan dengan warna lainnya.
Jam menunjukkan pukul 17.00 WIB dan hujan tak kunjung berhenti, sedangkan kopi sudah habis sedari tadi. Ingin pulang rasanya tapi, Lexa tunda karena pikirannya masih terlalu berisik.
“Mbak, hot latte satu lagi ya kayak biasa sama chicken caesar salad satu porsi.” pesan Lexa lagi.
“Baik, Kak. Ditunggu ya.”
Hujan masih semangat mengunjungi bumi hampir tiga jam lamanya tak kunjung mereda. Pesanan pun tiba, Lexa melanjutkan kembali lamunannya. Tapi kali ini tentang orangtuanya, apakah mereka baik-baik saja tanpa anak perempuan terakhirnya selama bertahun-tahun? Apakah mereka pernah merindukan Lexa meskipun sesaat? Atau apakah mereka pernah menginginkan anaknya untuk pulang dan menetap seperti dulu? Sepercaya itukah mereka jika anak perempuan terakhirnya ini sangat kuat hidup sendiri dan selalu bisa mengatasi masalahnya sendiri?
“Apakah semuanya baik-baik saja, Pa? Bu? I miss you more than the world.”
“Apakah aku seegois itu? Apakah aku salah mencari bahagiaku sendiri setelah banyak hal yang terjadi?” dalam hati Lexa berbisik dan rasanya miris, saat usia orang tuanya yang semakin menua dia masih sibuk berdamai dan mencari kebahagiaannya sendiri. Anak kebanggaannya belum bisa sepenuhnya diikhlaskan. Terkadang Lexa berpikir, tekanan luar biasa yang dirasakan saat ini yang harus stabil dari semua sisi terkecuali pasangan hidup itu karena, kekhawatiran yang orangtuanya rasakan, kekecewaan atau mungkin trauma mendalam karena anak kebanggaannya tidak bisa mewujudkan harapan itu. Entahlah hanya orang tuanya dan Tuhan yang tahu.
Kerlipan lampu sudah menghiasi Kota Solo, setiap angkringan di jalan-jalan utama sudah mulai ramai, dan hujan pun mulai mereda, tandanya Lexa harus pulang sebelum Kafe ini ramai dan tidak ramah untuknya. Jalanan Kota Solo setelah diguyur hujan terasa syahdu layaknya hati yang sudah lama sendiri, tiba-tiba merasakan jatuh cinta lagi.
Lexa, seorang perempuan keras kepala yang usianya hampir menyentuh gerbang kepala tiga, menyandarkan kepala di kemudi mobilnya mencoba mengumpulkan niat untuk pulang dan melepas rindu dengan makhluk berbulu di rumah. Hanya itu alasannya pulang kerumah tidak lebih. Wajah dengan garis tegas, khas sawo matang perempuan Indonesia bagian Timur itulah sekilas wajahnya, terlihat keras, judes, sinis, tapi sejujurnya jauh didalam sana adalah sosok yang hangat dan pendengar yang baik. Mata bundar, hitam sedikit kecoklatan itu memandang lurus kedepan dan sesekali bersandar pada sandaran kursi serta menghela napas panjangnya.
Indah suaranya memintaku pulang…
Indah suaranya memintaku kembali..
Tak ada tempat seindah rumah..
Tak ada tempat seindah di sana..
Aku mencari, terus mencari arah…
Lagu For Revenge ini tidak sengaja berputar, tapi juga seperti menyindir keadaannya saat ini. Sumbawa dan Solo adalah dua tempat berbeda yang sama-sama dianggap rumah oleh Lexa. Rumah dengan cerita yang berbeda, persamaannya adalah saat mulai nyaman dipaksa untuk pergi.
Dering handphone berbunyi, ternyata telpon dari Ibu. “Tumben?? Kenapa?” gumam Lexa.
“Dimana Lex? Udah pulang?” suara manis di seberang sana
“Di jalan, Mam.. Gimana? Ada apa?”
“Oh ya udah.. kirain masih belum pulang. Kalo pulang ati-ati yaa.”
“Oke, Mam.. love you.”
Sekitar dua puluh menit membelah jalanan kota Solo yang lumayan sepi akhirnya sampai rumah disambut nyanyian kesal Matina dan Krucil yang ditinggal seharian. Melegakan, setidaknya masih ada anak-anak bulu yang menunggunya di rumah dengan sabar dan selalu berharap Lexa pulang. Matina dan Krucil adalah satu bagian dalam hidup Alexa yang tidak akan mau dilepasnya dan selalu diperjuangkan.
Setelah banyak hal yang dilewati, Lexa banyak belajar akan cinta sesungguhnya dari kedua anak bulu itu. Cinta tanpa syarat, ketulusan, dan kesabaran. Ternyata benar, obat tidak melulu berbentuk kapsul dan tablet. Memiliki dua anak bulu di hidupnya saat ini adalah hadiah dari Tuhan agar Lexa tidak selalu merasa sendiri.
Kreator : Indri Sri Endarwati
Comment Closed: Jangan Dibaca Sendirian
Sorry, comment are closed for this post.