Hari itu Bu Eny berkunjung ke sebuah pondok pesantren yang jaraknya cukup jauh dari rumahnya. Dia hendak menjenguk anaknya yang sudah satu tahun sekolah dan mondok di pondok itu.
Dengan mengendarai sepeda motor tua yang telah banyak berjasa kepadanya, Bu Eny mampu menempuh perjalanan sejauh puluhan kilometer. Jarak sejauh itu ditempuh cukup dengan waktu dua jam saja.
Maklumlah Bu Eny adalah wanita kuat yang sudah terbiasa mbolang sejak kecil dan terbiasa pula melanglang buana sampai usia setengah baya itu. Tanpa harus diantar oleh suaminya, jika dia ingin menjenguk anaknya di pondok dia cukup berangkat sendiri.
“Yang penting sudah diizinkan oleh suami saya, pergi kemanapun saya berani.” Ujarnya ketika ditanya oleh tetangganya yang dipamiti saat mau berangkat.
“Ya suda, Yu. Budalo. Hati-hati di jalan. Jangan ngebut, Yu. Soalnya naik sepeda motor sendirian. Kalau ngantuk istirahat dulu ya, Yu!” pesan tetangganya melepas kepergian Bu Eny yang sudah siap meluncur.
Dengan yakin dan berani Bu Eny perlahan meninggalkan rumahnya menuju pondok tempat anaknya belajar. Rasa kangen tak terbendung. Sepanjang perjalanan hatinya gembira akan bertemu anak tercinta. Kebahagiaannya mengalahkan rasa kantuk yang sebentar- sebentar menghampirinya.
Dengan tenang dan waspada Bu Eny berhasil menaklukkan panasnya aspal terbakar matahari. Dengan sepeda motor scoopy tua yang setia menemaninya dia sampai juga di pondok yang dituju.
Setelah menemui satpam penjaga pintu gerbang dan menemui ustadzah piket khusus untuk wali santri yang akan kunjungan, akhirnya Bu Eny diizinkan masuk di balai penerimaan tamu, yaitu ruangan khusus untuk bertemunya santri dengan orang tuanya yang datang mengunjunginya.
Tak lama Bu Eny duduk di ruangan itu, datanglah anaknya yang ditunggu-tunggu. Dengan membawa sepucuk surat panggilan dari ustadzah piket, Si Menok masuk ke ruangan dan langsung memeluk ibunya yang sudah menunggunya.
“Alhamdulillah Ibuk datang. Assalamu’alaikum ibuk… Ibuk aku kangen sama ibuk.” Ucapnya sambil memeluk ibunya.
“Alhamdulillah, kita bisa bertemu. Gimana kabarmu cah ayu?” sahut ibunya sambil menyambut pelukan anaknya.
“Alhamdulillah, Buk. Aku baik, sehat. Alhamdulillah aku senang di sini Buk, tapi aku sedikit gak nyaman dengan teman-temanku Buk.” Jawab si Menok yang sudah tak sabar ingin curhat.
“Oh ya, Ibuk sendirian ya? Bapak sama Kakak tidak ikut kesini, Buk? Aku kangen juga sama Bapak sama kakak.” Lanjutnya.
Sambil mereka membenahi posisi duduk, keduanya melanjutkan obrolannya. Ibunya membuka oleh-oleh dari rumah berupa makanan dan jajan alakadarnya. Dengan santai mereka melepas kangen sambil makan masakan Ibuk yang dirindukan oleh Si Menok.
“Buk, aku nich jengkel banget sama temanku, Buk. Dia itu sukanya cari perhatian kepada ustadzah Buk. Dia sukanya cari muka, dan dia gak mau bantu bersih-bersih kamar Buk. Jadi setiap hari itu yang membersihkan kamarnya ya teman-temannya, Buk.” Si Menok mulai curhat kepada ibunya.
Ibunya diam saja. Dipandanginya si Menok yang sudah bertambah dewasa. Dalam hatinya dia berharap si Menok kelak menjadi orang yang sholihah yang sukses dunia akhirat. “Mugo-mugo awakmu dadi wong bejo Nok. Semoga dirimu menjadi orang yang beruntung Nok.” Kata ibunya dalam hati.
“Buk, temanku itu lo, dia suka bertemannya pilih-pilih. Tidak bergaul dengan semua anak. Aku jadi jengkel sama dia. Inginku dia itu bermain berteman itu dengan semua orang. Tidak pilih-pilih sesuka hatinya. Kalau sama anak yang disukai dia akrab banget. Berkawan, bergurau, berbagi, berkomunikasi, dan membantu pun dengan anak-anak tertentu saja sesuai yang dia sukai. Sedang terhadap anak lain yang tidak disukai dia cuek, Buk. Gak perhatian, gak senyum, gak nyapa, gak berjalan bersama, aduh pokoknya aku gak suka deh yang kayak gitu.” Ujar si Menok melanjutkan curhatnya.
Setelah Si Menok berhenti bercerita, kini ganti ibunya yang berkomentar.
“Sudah selesai ceritanya? Begini lo ya, Si Menok anak bunda tercinta, sudahlah dirimu fokus belajar di sini urusi dirimu sendiri. Tidak usah ngurusin orang lain. Biarin saja lah dia cari muka di hadapan ustadzah. Biarin juga dia memilih-milih teman. Yang penting dirimu tidak cari muka di hadapan ustadzah. Biarlah semua berjalan secara alami bagaikan air mengalir. Biarin saja dia berteman dengan orang yang disukainya. Yang penting dirimu harus berteman dengan siapa saja.”
“Anak-anak yang datang dari berbagai daerah yang sekolah atau mondok di sini semua sama statusnya dengan dirimu. Dirimu kan sudah tahu kalau cari muka itu tidak baik. Dan dirimu juga sudah tahu kalau berteman hanya dengan orang yang disukai saja itu juga tidak baik. Mereka semua sama, datang dari berbagai daerah untuk belajar dan mencari teman juga. Mereka orang baik-baik. Jadi tidak boleh kita memandang sebelah mata terhadap teman yang lain.”
“Dirimu jangan berharap dia mengikuti keinginanmu. Tapi dirimu yang harus bisa membawa perasaan untuk mampu membiarkan mereka asalkan mereka tidak mengganggu dirimu. Biarlah mereka Allah yang mengingatkan dan merubahnya. Tugasmu membuat dirimu belajar ikhlas dan ikhlas.” Kata ibunya menasehati Menok. Menok pun terdiam dan dalam hati membenarkan apa yang dikatakan ibunya.
Kreator : Endah Suryani
Comment Closed: JANGAN HARAP
Sorry, comment are closed for this post.