KATEGORI
  • Adat & Budaya
  • Agrikultur
  • Aksi
  • Arsitektur
  • Artikel
  • Asmara
  • Autobiografi
  • autobiography
  • Bahasa & Sastra
  • Berita Alineaku
  • Bisnis
  • Branding
  • Catatan Harian
  • Cerita Anak
  • Cerita Bersambung
  • Cerita Pendek
  • Cerita Rakyat
  • Cerpen
  • Cinta
  • Cita – Cita dan Harapan
  • Dongeng
  • Drama
  • Ekonomi
  • Epos
  • Event
  • Fabel
  • Fantasi
  • Fiksi
  • Gaya Hidup
  • Hiburan
  • Hobi
  • Hubungan Antarpribadi
  • Hukum
  • Humanis
  • Humor
  • Ilmu Manajemen
  • Inspirasi
  • Istri
  • Kampus
  • Karir dan Kewirausahaan
  • Keagamaan
  • Keluarga
  • Kesehatan & Kecantikan
  • Kesehatan Mental
  • Ketenagakerjaan
  • Kisa Masa Kecil
  • Kisah Inspiratif
  • Kritik Media
  • Kuliner
  • Legenda
  • Lifestyle
  • Lingkungan Hidup
  • Madhoe Retna
  • Manajemen
  • mengelola toko
  • Mental Health
  • Moralitas
  • Motivasi
  • Novel
  • Nutrisi
  • Nutrition
  • Opini
  • Organisasi
  • Otomotif
  • Parenting
  • Pemerintahan
  • Pendidikan
  • Pendidikan Karir
  • Pendidikan Keuangan
  • pengalaman hidup
  • Pengembangan Diri
  • Perjalanan Hidup
  • Pernikahan
  • Persahabatan
  • Pertemanan
  • Petualangan
  • Petualangan Alam
  • Pilih Kategori
  • Pilih Menu
  • Politik
  • Psikologi
  • Psikologi Sosial
  • Puisi
  • Romansa
  • Romantisme kehidupan
  • Rumah Tangga
  • Satir
  • SDM
  • Sejarah
  • Self-Acceptance
  • Self-Awareness
  • Seni & Budaya
  • Sosial
  • spiritual journey
  • Strategi
  • Teknologi
  • Tempat Wisata
  • Traveling
  • Uncategorized
  • Wanita
  • Beranda » Artikel » Janji Yang Di Tunaikan

    Janji Yang Di Tunaikan

    BY 24 Sep 2025 Dilihat: 17 kali
    Janji Yang Di Tunaikan_alineaku

    Hidup seringkali berawal dari sebuah harapan sederhana. Begitu pula dengan Andini, seorang perempuan yang sejak muda sudah bermimpi membangun keluarga.

     

    Ia menikah di usia kuliah. Keputusan itu bukan semata-mata karena cinta yang menggebu, tetapi juga karena keyakinan kecil yang tumbuh dalam hatinya: “Jika aku punya anak sejak kuliah, ia bisa ikut belajar dari apa yang kupelajari.  Anak itu akan tumbuh cerdas sejak dalam kandungan.”

     

    Pernikahan itu seperti langkah pertama seorang pelari yang penuh semangat. Ia membayangkan masa depan yang indah, kuliah sambil mengandung, membaca buku sambil ditemani detak jantung kecil dalam rahimnya. Setiap kali membuka halaman baru, ia berharap pengetahuan itu menetes ke janin yang sedang bertumbuh.

     

    Doanya sederhana, tapi begitu dalam:

     

    “Ya Allah, aku tak meminta banyak. Cukup satu anak saja. Tapi jadikan ia anak yang berkualitas. Anak yang bisa menjadi cahaya, bukan hanya untuk keluarga, tapi juga untuk dunia.”

     

    Hari-hari setelah pernikahan dipenuhi dengan bayangan manis tentang suara tangis bayi, tentang aroma tubuh mungil yang khas, tentang rumah yang dipenuhi tawa kecil. Ia percaya, itu semua akan segera datang.

     

    Namun waktu berjalan dengan tenang, tanpa tanda. Bulan demi bulan ia menunggu, tapi setiap harapan datang hanya untuk kembali gugur. Kehamilan tak kunjung hadir.

     

    Di situlah kisah penantian panjangnya dimulai.  Seperti seseorang yang menanam benih di tanah subur, ia berharap cepat melihat tunas hijau muncul. Namun tanah tetap diam. Hujan doa sudah tercurah, matahari usaha sudah dipancarkan, tapi benih itu seperti tak mau bangun dari tidurnya.

     

    Ia masih tersenyum di hadapan orang lain, masih menepuk dada dengan keyakinan: “Suatu saat pasti Allah beri.” Tetapi di balik doa itu, ada kegelisahan yang mulai tumbuh. Pertanyaan-pertanyaan kecil muncul di benaknya: Kapan waktunya? Mengapa belum tiba? Apakah aku tidak layak?

     

    Dan seperti kebanyakan perempuan, ia pun harus menghadapi tatapan dan pertanyaan dari sekitarnya:

    “Kapan punya anak?”

    “Kok belum juga hamil?”

     

    Pertanyaan-pertanyaan itu seperti jarum halus yang menusuk hati.

     

    Namun ia tetap teguh. Dalam setiap sujud, ia kembali mengulang doanya. Dalam setiap malam, ia merajut harapan. Meski langit seakan diam, ia percaya Allah mendengar.

     

    Karena ia tahu, doa bukanlah sesuatu yang hilang di udara. Doa adalah benih yang ditanam di langit, menunggu waktu terbaik untuk turun sebagai hujan rahmat.

     

    Dan ia siap menunggu, meski belum tahu, seberapa panjang perjalanan itu akan ditempuhnya.

     

    Waktu bergulir, dan kalender demi kalender berganti. Setiap pergantian bulan terasa seperti sebuah ujian baru. Harapan yang sempat tumbuh di awal selalu gugur, berganti dengan kecewa yang pelan-pelan mengikis hati.

     

    Namun ia dan suaminya tidak tinggal diam. Mereka memilih berjalan di jalur ikhtiar, mengetuk setiap pintu yang mungkin terbuka.

     

    Suami Andini adalah seorang dokter. Dengan pengetahuan dan jaringan yang luas, ia tahu ke mana harus melangkah. Bersama-sama, mereka berkunjung ke dokter-dokter spesialis, menjalani pemeriksaan demi pemeriksaan. Setiap janji konsultasi adalah setitik cahaya baru, setiap resep dan prosedur adalah secercah peluang yang ingin mereka genggam erat.

     

    Bahkan, ketika semua upaya alami belum membuahkan hasil, mereka memberanikan diri untuk menempuh langkah yang lebih besar: program bayi tabung. Bukan hanya sekali, tetapi tiga kali.

     

    Setiap kali proses itu dijalani, ada harapan yang kembali hidup. Ia membayangkan dalam dirinya sedang bertumbuh kehidupan kecil yang lama dirindukan. Ia menjaga diri dengan sepenuh hati, seakan rahimnya adalah taman yang harus dipelihara dengan doa, sabar, dan kasih.

     

    Namun kenyataan sering kali tidak sejalan dengan harapan.

    Proses pertama gagal.

    Mereka mencoba lagi, menata hati yang retak, lalu menapaki prosedur kedua.

    Namun hasilnya sama: hampa.

    Hingga akhirnya, pada upaya ketiga, doa yang dipanjatkan begitu dalam pun masih berujung pada kegagalan.

     

    Air mata tak terbendung. Malam-malam yang sunyi menjadi saksi tangisnya. Ia bertanya dalam hati:

     

    “Apakah aku tidak cukup berdoa? Apakah usahaku masih kurang? Ataukah memang aku tidak ditakdirkan untuk menjadi seorang ibu?”

     

    Pertanyaan-pertanyaan itu bergema, menusuk seperti bayangan yang tak bisa diusir.

     

    Di saat yang sama, dunia luar seolah tak pernah berhenti menguji. Pertanyaan-pertanyaan dari keluarga, teman, atau bahkan orang asing semakin sering datang:

     

    “Kapan punya anak?”

    “Kamu sudah coba ini belum? Sudah konsultasi ke sana?”

     

    Kalimat-kalimat itu mungkin terdengar biasa bagi mereka yang mengucapkannya. Namun bagi dirinya, setiap kata adalah jarum yang menusuk luka lama, membuat darah segar kembali keluar.

     

    Meski begitu, ia tidak menyerah. Bersama suaminya, ia terus mencari, terus mencoba. Tidak ada jalan yang tidak mereka tempuh. Tidak ada ikhtiar yang mereka biarkan lewat.

     

    Dan di sela segala usaha itu, ia belajar satu hal: manusia bisa berusaha sekuat tenaga, tetapi hasil akhirnya tetap bukan di tangannya.

     

    Ikhtiar hanyalah mengetuk pintu. Tapi kapan pintu itu dibuka, dan bagaimana isinya, hanya Sang Pemilik Pintu yang tahu.

     

    Malam-malam panjang menjadi saksi bisu. Lampu kamar sering redup hingga fajar tiba, namun matanya masih basah. Air mata seperti aliran yang tak pernah kering, jatuh perlahan di atas sajadah.

     

    Di sana, ia berulang kali mengangkat tangan, menyebut nama Allah, berharap ada jawaban yang turun bersama rasa tenang. Tetapi kadang, doa terasa menggantung di langit. Hatinya bertanya lirih:

     

    “Ya Allah… apakah Engkau mendengar? Apakah Engkau sedang menunda, atau justru Engkau tak akan pernah memberi?”

     

    Di titik itu, ia merasa rapuh. Usaha medis sudah ditempuh, doa sudah dipanjatkan, air mata sudah jadi bahasa sehari-hari. Namun kehamilan tak kunjung hadir. Seolah semua jalan buntu.

     

    Pertanyaan demi pertanyaan mulai menyelinap ke dalam pikirannya:

    • Apakah aku tidak cukup baik untuk menjadi seorang ibu?
    • Apakah ada sesuatu dalam diriku yang kurang?
    • Ataukah ini hukuman atas sesuatu yang bahkan tidak kuingat?

     

    Hatinya bergumul, antara ingin percaya penuh dan rasa putus asa yang sesekali menyergap.

     

    Di tengah pergumulan itu, ia mulai melihat kenyataan dari sisi lain. Ia menyadari sesuatu yang sebelumnya tidak ia sadari: takdir tidak pernah menunggu persetujuan kita.

     

    Takdir tidak bertanya, “Apakah kamu siap?”

    Takdir tidak peduli, “Apakah kamu suka atau tidak?”

    Takdir berjalan, seperti matahari yang terus terbit meski ada orang yang ingin malam tetap panjang.

     

    Dan disanalah ia mulai menemukan pelajaran besar.

     

    Jika ia terus melawan, ia hanya akan semakin lelah. Jika ia terus menolak, hatinya akan semakin luka. Maka satu-satunya jalan adalah menerima. Bukan berarti menyerah, tapi merelakan.

     

    Merelakan bahwa hidup bukan selalu sesuai rencana.

    Merelakan bahwa doa tidak selalu dijawab dengan segera.

    Merelakan bahwa mungkin, Allah punya cara lain yang lebih indah untuk menjawab.

     

    Perlahan, hatinya belajar ridha.

     

    Tidak lagi menggenggam terlalu erat, tetapi membuka telapak tangan dan menyerahkan semuanya kepada Sang Pemilik Kehidupan.

     

    Ia menyadari, kekuatan sejati bukanlah pada seberapa keras kita berjuang, tapi pada seberapa ikhlas kita menerima.

     

    Sejak saat itu, air matanya masih ada, tapi tidak lagi hanya berisi keluh. Ia menangis dengan lebih tenang, karena dibalik tangisnya ada doa baru:

     

    “Ya Allah, jika memang Kau takdirkan aku menjadi seorang ibu, jadikanlah aku siap. Dan jika Engkau punya jalan lain, berikan aku hati yang lapang untuk menerimanya.”

     

    Doa itu terasa lebih ringan, lebih jujur. Dan di dalam keikhlasan itulah, hatinya mulai menemukan kedamaian yang sudah lama hilang.

     

    Ketika hati mulai berdamai dengan kenyataan, Allah memberikan hadiah yang tak terduga.

     

    Di pagi yang biasa, sebuah kabar luar biasa hadir. Sebuah garis samar pada alat uji kehamilan, tipis, nyaris tak terlihat, namun cukup untuk membuat jantungnya berdegup kencang. Air matanya pecah. Tangis yang selama ini penuh kecewa, kini berubah menjadi tangis syukur.  Bibirnya bergetar lirih:

     

    “Ya Allah… akhirnya Kau kabulkan. Kau izinkan aku merasakan kehidupan kecil tumbuh di dalam rahimku.”

     

    Kabar itu seperti matahari yang tiba-tiba menembus awan gelap setelah sekian lama mendung.  Ia memeluk suaminya dengan penuh haru. Selama bertahun-tahun mereka berdua berjalan dalam penantian panjang, dan kini Allah menunjukkan jawabannya.

     

    Namun kebahagiaan itu datang bersama ujian baru.

     

    Di awal masa kehamilan, ia di diagnosis positif toxoplasma. Harapannya yang baru saja tumbuh, kini kembali diiringi rasa cemas: “Apakah bayi ini akan bertahan? Apakah aku sanggup melewati semua ini?”

     

    Hari-hari terasa panjang. Ia lebih banyak berbaring di ranjang, ditemani doa-doa yang tak pernah berhenti. Setiap detik kehamilan adalah pertarungan antara harap dan takut.

     

    Tetapi Allah tidak pernah meninggalkannya sendirian.  Suaminya selalu ada bukan hanya sebagai seorang dokter, tapi juga sebagai penjaga dan pilar kekuatan.

    Ia memastikan istrinya minum obat tepat waktu, menjaga pola makan, bahkan menghiburnya dengan kata-kata yang penuh keyakinan:

     

    “Kita sudah sampai sejauh ini. Percayalah, Allah tidak akan membawa kita ke titik ini hanya untuk meninggalkan kita.”

     

    Kalimat itu menjadi pelita di tengah gelap. Ia merasa diperhatikan, dijaga, dan dikuatkan.

     

    Setiap kali ia hampir goyah, suaminya mengingatkan: “Kita tidak berjalan sendiri. Ada Allah yang menjaga bayi ini, menjaga kamu.”

     

    Hari demi hari, bulan demi bulan, meski penuh kecemasan, janin itu tetap tumbuh. Setiap hasil USG menjadi hadiah, setiap detak jantung bayi yang terdengar di layar monitor adalah musik terindah.

     

    Dalam doa-doanya, ia tidak lagi meminta banyak. Ia hanya berkata:

    “Ya Allah, Biarlah aku mencintainya dengan seluruh hidupku.”

     

    Dan doa itu terus ia ulang, dengan penuh harap sekaligus pasrah.

     

    Hari itu tiba. Hari yang ditunggu bertahun-tahun, hari yang pernah hanya hidup dalam doa dan imajinasi, kini benar-benar hadir di depan mata.

     

    Ruang bersalin dipenuhi ketegangan sekaligus harapan. Detik demi detik terasa panjang, setiap tarikan napas penuh doa. Tangannya menggenggam erat tangan suaminya, seolah kekuatan berpindah dari satu jiwa ke jiwa lain.

     

    Dan akhirnya, suara itu terdengar.  Tangisan pertama bayi kecilnya. Nyaring, tulus, memenuhi ruangan seperti gema dari langit.

     

    Air matanya pecah, bukan lagi karena kecewa, melainkan karena syukur yang tak terlukiskan. Ia merasakan keajaiban: tubuh mungil yang selama ini hanya terasa sebagai detakan, kini hadir nyata dalam pelukannya.

     

    “Ya Allah… inikah dia? Anak yang selama ini kusebut dalam doa? Anak yang kutunggu bertahun-tahun?”

     

    Matanya menatap wajah mungil itu: merah, rapuh, namun begitu sempurna. Bibir kecil bergerak seolah mencari kehangatan. Jari-jari mungil menggenggam jarinya, erat sekali, seakan berkata: “Aku datang, Ibu. Terima kasih sudah menungguku.”

     

    Tangisan itu adalah musik paling indah dalam hidupnya. Pelukan pertama itu adalah jawaban doa yang disimpan Allah dengan begitu hati-hati.

     

    Suaminya menunduk, menatap keduanya dengan mata berkaca-kaca. Ia bukan hanya seorang dokter di ruangan itu, melainkan seorang ayah yang hatinya tergenang cinta.

     

    “Alhamdulillah…” hanya itu yang bisa keluar dari bibirnya, berulang-ulang, seakan kata lain tidak cukup untuk menggambarkan rasa syukur yang membuncah.

     

    Hari-hari berikutnya dipenuhi kehangatan baru. Rumah yang dulu terasa sepi kini ramai oleh tangis, tawa, dan aroma tubuh bayi yang khas. Setiap malam begadang bukan lagi menjadi beban, melainkan anugerah. Setiap suara tangisan bayi adalah panggilan cinta yang selalu ia jawab dengan hati penuh syukur.

     

    Ia sering menatap anak itu saat tidur, sambil berbisik lirih:

    “Nak, kamu adalah doa yang datang terlambat, tapi tidak pernah salah waktu. Kamu adalah hadiah terindah yang Allah simpan begitu lama, lalu diturunkan ketika kami siap menerimamu.”

     

    Sejak kecil, anak itu tumbuh dengan cahaya yang berbeda. Ada kecerdasan yang memancar dari sorot matanya, seolah dunia ini adalah buku besar yang ingin ia baca habis.

    Hari-hari awal penuh keajaiban kecil: Bagaimana ia belajar berjalan dengan langkah tegap seakan tak sabar mengejar mimpi. Bagaimana ia mengucapkan kata pertama sambil menatap ibunya penuh cinta. Bagaimana ia selalu ingin tahu, bertanya tanpa henti tentang langit, bunga, dan bintang.

     

    Di sekolah, satu demi satu lomba ia menangkan, bukan hanya karena pintar, tapi karena tekun. Ia punya semangat yang tak mudah padam, seperti api kecil yang terus menyala meski angin kencang berusaha memadamkan.

     

    Namun bukan hanya akademik yang ia kuasai. Anak itu punya suara indah. Suara yang pertama kali didengar ibunya ketika ia bernyanyi kecil di kamar.

     

    Waktu berjalan cepat. Dari lomba ke lomba, prestasinya tak pernah berhenti. Hingga akhirnya, masa itu tiba, masa di mana ia harus melangkah lebih jauh.

     

    Universitas terbaik di negeri ini membuka pintunya untuknya karena prestasi.  Sebuah pencapaian yang menjadi bukti bahwa segala kesulitan, air mata, doa, dan penantian panjang tidak sia-sia.

     

    “Nak, kamu bukan hanya hadiah untuk Ibu dan Ayah, tapi juga bukti bahwa Allah selalu menepati janji-Nya. Kamu tumbuh bukan hanya pintar, tapi juga penuh bakat dan cahaya. Jaga itu baik-baik.”

     

    Dan anak itu tersenyum, dengan mata berbinar, senyum seorang gadis yang tahu dirinya bukan sekadar anak, melainkan doa yang menjelma nyata.

     

    Panggung itu selalu punya cara menciptakan keajaiban.  Lampu sorot, suara tepuk tangan, dan keheningan yang tercipta sebelum sebuah lagu dinyanyikan, semua itu menjadi dunia baru bagi putrinya.

     

    Ia tidak lagi sekadar gadis kecil yang suka bernyanyi di kamar. Suara emasnya kini diperdengarkan di hadapan ratusan, bahkan ribuan orang. Dan setiap kali ia berdiri di panggung, ada keyakinan yang sama terpancar dari dirinya: bahwa suaranya adalah hadiah dari Allah yang harus disyukuri.

     

    Ibunya diam-diam menatap dari kejauhan. Air matanya jatuh karena bangga. Ia teringat betapa dulu ia menanti anak ini dengan sabar, menanggung sakit, doa, dan penantian. Dan kini, anak itu berdiri di panggung, disorot cahaya, memberi kebahagiaan bagi banyak orang.

    Dulu, ia pernah bertanya: “Kenapa bukan aku, ya Allah? Kenapa Engkau menunda begitu lama?”  Kini, pertanyaan itu berubah menjadi bisikan syukur:

    “Terima kasih, ya Allah, karena Engkau tahu waktu yang paling tepat.”

     

    Ia belajar, bahwa doa tidak pernah hilang. Doa hanya disimpan, dijaga, lalu diberikan ketika hati sudah cukup kuat untuk menerimanya.

     

    Ia juga belajar, bahwa kebahagiaan sejati tidak selalu datang cepat, tapi ketika datang, ia membawa makna yang dalam.

     

    Putrinya kini tumbuh menjadi gadis yang bersinar: pintar, berprestasi, penuh bakat, sekaligus berhati lembut. Ia bukan hanya seorang anak, tapi juga simbol dari keteguhan, kesabaran, dan janji Allah yang indah.

     

    Di malam-malam sunyi, ia sering menatap wajah putrinya yang tertidur, dengan rambut terurai dan napas teratur. Hatinya bergetar, karena setiap tarikan napas anak itu adalah jawaban dari sujud panjang yang dulu pernah terasa sepi.

     

    “Anakku,” bisiknya, “kau adalah takdir yang indah. Kau datang bukan saat aku menginginkan, tapi saat Allah tahu aku benar-benar siap. Kau adalah bukti bahwa rencana-Nya selalu lebih baik daripada rencanaku.”

     

    Suaminya menggenggam tangannya, sama-sama larut dalam rasa syukur. Mereka berdua tahu, semua usaha, doa, dan air mata tidak pernah sia-sia. Karena di balik semua itu, Allah sedang merangkai kisah paling indah dalam hidup mereka.

     

    Dan dari perjalanan itu, ia membawa sebuah pesan yang tak lekang oleh waktu:

     

    Bahwa setiap orang memiliki jalannya sendiri.

    Bahwa takdir tidak pernah salah alamat.

    Bahwa penantian bukanlah hukuman, melainkan cara Allah menyiapkan hadiah paling indah.

     

    Kini ia menjalani hari dengan lebih tenang, dengan hati yang ridha. Karena ia tahu, kebahagiaan sejati bukan tentang seberapa cepat kita mendapatkannya, melainkan seberapa dalam kita mampu mensyukurinya ketika ia datang.

     

    Kreator : Rosita Taher

    Bagikan ke

    Comment Closed: Janji Yang Di Tunaikan

    Sorry, comment are closed for this post.

    Popular News

    • Part 15: Warung Kopi Klotok  Sesampainya di tempat tujuan, Rama mencari tempat ternyaman untuk parkir. Bude langsung mengajak Rani dan Rama segera masuk ke warung Kopi Klotok. Rama sudah reservasi tempat terlebih dahulu karena tempat ini selalu banyak pengunjung dan saling berebut tempat yang ternyaman dan posisi view yang pas bagi pengunjung. Bude langsung memesan […]

      Okt 01, 2024
    • Part 16 : Alun – Alun  Kidul Keesokan paginya seperti biasa Bude sudah bangun dan melaksanakan ibadah sholat subuh. Begitupun dengan Rani yang juga melaksanakan sholat subuh. Rani langsung ke dapur setelah menunaikan ibadah sholat subuh. Tidak lama disusul oleh Bude dan langsung mengambil bahan masakan serta mengiris bahan untuk memasak. Rani dan Bude sangat […]

      Okt 16, 2024
    • Dalam dunia pendidikan modern, pendekatan sosial emosional semakin banyak dibahas. Salah satu model yang mendapatkan perhatian khusus adalah **EMC2 sosial emosional**. Namun, apa sebenarnya yang dimaksud dengan Definisi EMC2 sosial emosional? Mengapa pendekatan ini penting dalam pembelajaran? Mari kita bahas lebih lanjut untuk memahami bagaimana EMC2 berperan dalam perkembangan siswa secara keseluruhan. Definisi EMC2 Sosial […]

      Okt 02, 2024
    • Pancasila sebagai dasar negara Indonesia tidak lahir begitu saja. Di balik perumusan lima sila yang menjadi pondasi bangsa ini, ada pemikiran mendalam dari para tokoh pendiri bangsa, salah satunya adalah Soekarno. Pemikiran Soekarno dalam merumuskan Pancasila sebagai dasar negara menjadi salah satu tonggak penting dalam sejarah Indonesia. Lalu, apa saja pemikiran Soekarno tentang dasar negara […]

      Des 02, 2024
    • Part 14: Kopi Klotok Pagi hari yang cerah, secerah hati Rani dan semangat yang tinggi menyambut keseruan hari ini. Ia bersenandung dan tersenyum sambil mengiris bahan untuk membuat nasi goreng. Tante, yang berada di dekat Rani, ikut tersenyum melihat Rani yang bersenandung dengan bahagia. “Rani, kamu ada rasa tidak sama Rama? Awas, ya. Jangan suka […]

      Sep 18, 2024

    Latest News

    Buy Pin Up Calendar E-book On-line At Low Prices In India After the installation is complete, you’ll have the flexibility […]

    Jun 21, 2021

    Karya Nurlaili Alumni KMO Alineaku Hampir 10 bulan, Pandemi Covid -19 telah melanda dunia dengan cepat dan secara tiba-tiba. Hal […]

    Des 07, 2021

    Karya Lailatul Muniroh, S.Pd Alumni KMO Alineaku Rania akhirnya menikah juga kamu,,,  begitu kata teman2nya menggoda, Yaa,,,Rania bukan anak.yang cantik […]

    Des 07, 2021

    Karya Marsella. Mangangantung Alumni KMO Alineaku Banyak anak perempuan mengatakan bahwa sosok pria yang menjadi cinta pertama mereka adalah Ayah. […]

    Des 07, 2021

    Karya Any Mewa Alumni KMO Alineaku Bukankah sepasang sejoli memutuskan bersatu dalam ikatan pernikahan demi menciptakan damai bersama? Tetapi bagaimana […]

    Des 07, 2021