Keheningan yang menggantung di rumah itu terasa asing. Aku duduk di ujung tempat tidur Bima, mataku menatap kosong ke arah jendela, tetapi pikiranku melayang jauh. Bima masih terbaring di rumah sakit, tubuhnya penuh dengan selang dan peralatan medis. Setiap kali aku mencoba memikirkan apa yang telah terjadi, rasa cemas itu datang lagi—meresap hingga ke dalam tulangku, membekukan perasaanku.
Kecelakaan itu datang begitu tiba-tiba, mengubah segalanya dalam sekejap. Bima, adikku, yang selalu ceria dan penuh semangat, kini terbaring tak berdaya. Aku tak pernah membayangkan hari seperti ini datang, dan aku merasa sangat bersalah.
Setiap kali aku berpikir tentang betapa aku terlalu sibuk dengan dunia baruku, rasa bersalah itu semakin menggerogoti hatiku. Cleo, Willy, Jay, dan Mama Rini semua mencoba menghiburku, tapi aku merasa seperti ada bagian dari diriku yang hilang—tersembunyi di antara dua dunia yang tak bisa kujalani bersamaan. Aku terjebak antara peran yang harus kumainkan di dunia baruku dan peran sebagai saudara yang seharusnya hadir untuk Bima.
Aku melangkah keluar dari kamar Bima dan berjalan ke ruang tengah. Suasana rumah terasa sepi, hanya terdengar suara detak jam dinding yang terus berputar. Sejak kecelakaan itu, aku merasakan jarak yang semakin lebar antara aku dan Bima, meskipun kami tinggal serumah. Dia merasa jauh, dan aku merasa semakin terasingkan dari dunia yang dulu terasa akrab.
Tiba-tiba, suara ponselku berdering, dan nama Cleo muncul di layar. Aku ragu sejenak, merasa terbelah antara ingin berbicara dengannya dan perasaan bersalah yang tak kunjung hilang. Aku mengangkat telepon itu.
“Hai, Mo. Gimana kabarnya Bima?” suara Cleo terdengar lembut, meskipun ada nada kekhawatiran yang aku tangkap.
Aku menarik napas dalam-dalam.
“Dia masih di rumah sakit, Cle. Dokter bilang, kondisinya stabil, tapi… aku nggak tahu, aku merasa nggak cukup di sini untuk dia.”
“Aku tahu kamu merasa seperti itu,” jawab Cleo pelan.
“Tapi kamu nggak bisa menyalahkan diri sendiri, Mo.”
Aku terdiam sejenak, mencoba menenangkan perasaan yang kacau.
“Tapi aku harus lebih banyak ada untuknya. Dia itu adikku. Aku nggak bisa… aku nggak bisa terus begini.”
Di sisi lain telepon, terdengar desahan kecil dari Cleo.
“Aku ngerti kok, Mo. Tapi jangan lupa juga, kamu nggak sendirian. Ada aku, ada Mama Rini, ada Willy. Kita semua di sini.”
Aku menundukkan kepala, merasa sedikit terhibur oleh kata-katanya. Namun, di satu sisi, aku tahu ada sesuatu yang lebih dalam yang mengganjal. Sesuatu yang tak terucapkan. Sebelum aku bisa melanjutkan, suara Bima terdengar dari belakang. Aku segera menoleh dan melihatnya memandangku dengan mata yang lelah.
“Mo…” suaranya terdengar serak.
“Kapan kamu mau pulang? Kenapa nggak ada di sini?”
Aku merasa dada ini sesak.
“Aku di sini, Bim. Aku nggak ke mana-mana.”
Bima menatapku, tetapi matanya kosong. Aku tahu dia sedang berusaha untuk tetap kuat, tetapi ada keraguan di matanya yang membuat hatiku semakin sakit.
“Aku tahu kamu sibuk sama dunia barumu, Mo. Tapi aku butuh kamu di sini.”
Kata-kata itu menghujam ke jantungku, dan aku merasakan tangisan yang ingin keluar, namun aku menahannya. Aku ingin menyadari betapa pentingnya Bima dalam hidupku, namun ada begitu banyak hal yang harus kuhadapi, begitu banyak perasaan yang terpendam. Aku merasa terjebak, tak bisa memberikan yang terbaik untuk siapa pun.
“Aku… aku nggak bisa terus begini, Mo. Aku merasa kamu jauh. Dulu, kamu selalu ada untuk aku, tapi sekarang…”
Aku bisa merasakan ketegangan dalam suaranya. Sebuah pertanyaan yang belum terjawab, sebuah kesalahpahaman yang belum terselesaikan. Aku berjalan mendekatinya dan meraih tangannya.
“Bima, aku nggak akan ke mana-mana. Aku janji. Aku cuma… nggak tahu bagaimana cara untuk menyeimbangkan semuanya.”
Bima diam, matanya masih menatap kosong. Aku bisa merasakan jarak itu semakin besar. Aku ingin sekali menjelaskan, tetapi kata-kata terasa tidak cukup. Aku menghembuskan napas berat, mencoba menenangkan pikiran.
Ketika aku kembali ke kamar, mataku menangkap foto keluarga kami yang ada di meja samping tempat tidur Bima. Foto itu diambil beberapa tahun lalu, saat semuanya masih terasa sederhana dan bahagia. Aku merindukan waktu itu, saat aku bisa hadir sepenuhnya, tanpa ada kebingungan yang mengusik hati.
“Mo, kamu harus kembali fokus,” suara Cleo terdengar dari telepon, memecah lamunanku.
“Jangan biarkan Bima merasa terabaikan. Kamu nggak harus menyelesaikan semuanya sendirian.”
Aku menatap ponsel, merasakan perasaan terjepit yang semakin mencekam. Dua dunia yang tak pernah saling bertemu kini memaksaku untuk berada di antara keduanya. Dunia yang baru, dunia yang aku bangun dengan Cleo, Willy, dan teman-teman di taman baca, dunia yang memberikan rasa kedamaian dan pengakuan yang kurindukan. Dan dunia lama—dunia yang pernah kujalani bersama Bima, orang tuaku, dan kenangan yang terus mengikatku pada masa lalu.
Aku tahu aku harus memilih. Aku harus menyadari bahwa hidup ini tak akan bisa berjalan mulus jika aku terus berusaha untuk menahan semuanya. Namun, setiap kali aku memikirkan Bima, hatiku terasa terbeban. Adikku yang sekarang terbaring lemah di rumah sakit, menunggu aku kembali. Aku merasa seperti mengkhianatinya, meskipun dia tidak pernah secara eksplisit mengungkapkan kekhawatirannya tentang kehadiranku yang semakin jarang. Tapi aku tahu. Aku tahu dia merasa aku mulai menjauh.
Di sisi lain, dunia baru ini juga memanggilku. Cleo yang selalu ada untukku, Willy yang mendukung, serta komunitas yang perlahan mulai melihatku lebih dari sekadar gadis yang kehilangan jalan. Aku mulai menemukan arti baru dalam hidup, sesuatu yang lebih besar dari sekadar berjuang untuk bertahan. Aku ingin berkontribusi, memberi dampak. Namun, setiap langkah ke depan terasa seperti meninggalkan bagian dari diriku sendiri.
Aku menghela napas, mencoba menenangkan gejolak dalam dada. Menghadapi dua dunia ini seperti berjalan di atas garis tipis yang bisa putus kapan saja. Bagaimana aku bisa menjaga semuanya tetap utuh? Bagaimana aku bisa mencintai keduanya tanpa merasa bahwa salah satu harus kehilangan?
“Terima kasih, Cleo,” aku berkata pelan, suaraku serak.
“Aku akan coba. Aku nggak mau kehilangan siapa pun.”
Aku mendengar suara Cleo yang lembut, tapi entah kenapa itu malah semakin membuat perasaanku terasa semakin berat.
“Aku tahu kamu nggak mudah, Mo. Tapi kamu nggak sendirian. Kita bisa melalui ini bersama-sama.”
Aku merasakan ketulusan dalam suaranya, meskipun aku juga tahu, di balik kata-kata itu, ada sebuah harapan yang mungkin terlalu tinggi untuk bisa dipenuhi.
Telepon pun terputus, dan aku hanya bisa terdiam, merasakan detak jantungku yang semakin cepat. Aku berusaha menyusun langkah-langkah selanjutnya dalam hidupku, tetapi rasanya setiap keputusan yang kubuat hanya akan membawa dampak yang lebih besar. Entah itu untuk Bima, untuk Cleo, atau untuk aku sendiri.
Aku menatap foto keluarga yang ada di meja samping tempat tidur Bima. Foto itu seolah mengingatkanku akan masa lalu, waktu ketika semua terasa lebih sederhana. Saat itu, aku tahu siapa aku, dan apa yang harus kulakukan. Tapi kini, seiring dengan berjalannya waktu, aku mulai merasa seperti orang yang kehilangan pegangan. Aku tidak tahu lagi bagaimana cara menyeimbangkan keduanya. Apakah aku akan terus berada di antara dua dunia ini, atau akhirnya harus memilih salah satunya?
Sejenak, aku merasakan keheningan yang menyesakkan. Tanganku gemetar saat aku memegang ponsel, seolah dunia di sekitarku mulai kabur. Hatiku terasa kosong, seolah ada ruang hampa yang tak bisa kuisi dengan apapun.
Aku kembali berpikir tentang Bima. Di balik keheningan yang ada di rumah ini, aku tahu dia juga sedang berjuang. Bima tidak pernah mengungkapkan kekesalannya padaku, tetapi aku bisa merasakannya. Rasa terabaikan itu jelas ada di matanya, bahkan saat dia tidak mengatakannya. Aku ingin sekali bisa berada di sana, bersamanya, tetapi aku juga tahu bahwa keputusan ini lebih besar daripada sekadar berada di sisi Bima. Aku ingin mewujudkan impian, memberikan sesuatu yang berarti, tapi di sisi lain, apakah itu berarti aku harus mengorbankan hubungan dengan keluargaku?
Aku memutuskan untuk berdiri, mengambil langkah kecil menuju ruang keluarga. Semua terasa seperti kabut yang tak bisa kusingkirkan, penuh dengan pertanyaan yang tak kunjung menemukan jawaban. Aku tahu, di dalam hatiku, ada jalan yang harus aku pilih. Tapi jalan itu semakin terlihat kabur, seiring dengan langkahku yang semakin berat.
Aku mengingat percakapan tadi, suara Cleo yang lembut, kata-kata yang penuh pengertian. Tapi tetap saja, saat aku menatap ke depan, hanya ada dua pilihan yang menghadapiku—dua dunia yang tak bisa kumiliki sekaligus.
Kreator : Fati Nura
Part 15: Warung Kopi Klotok Sesampainya di tempat tujuan, Rama mencari tempat ternyaman untuk parkir. Bude langsung mengajak Rani dan Rama segera masuk ke warung Kopi Klotok. Rama sudah reservasi tempat terlebih dahulu karena tempat ini selalu banyak pengunjung dan saling berebut tempat yang ternyaman dan posisi view yang pas bagi pengunjung. Bude langsung memesan […]
Part 16 : Alun – Alun Kidul Keesokan paginya seperti biasa Bude sudah bangun dan melaksanakan ibadah sholat subuh. Begitupun dengan Rani yang juga melaksanakan sholat subuh. Rani langsung ke dapur setelah menunaikan ibadah sholat subuh. Tidak lama disusul oleh Bude dan langsung mengambil bahan masakan serta mengiris bahan untuk memasak. Rani dan Bude sangat […]
Dalam dunia pendidikan modern, pendekatan sosial emosional semakin banyak dibahas. Salah satu model yang mendapatkan perhatian khusus adalah **EMC2 sosial emosional**. Namun, apa sebenarnya yang dimaksud dengan Definisi EMC2 sosial emosional? Mengapa pendekatan ini penting dalam pembelajaran? Mari kita bahas lebih lanjut untuk memahami bagaimana EMC2 berperan dalam perkembangan siswa secara keseluruhan. Definisi EMC2 Sosial […]
Part 14: Kopi Klotok Pagi hari yang cerah, secerah hati Rani dan semangat yang tinggi menyambut keseruan hari ini. Ia bersenandung dan tersenyum sambil mengiris bahan untuk membuat nasi goreng. Tante, yang berada di dekat Rani, ikut tersenyum melihat Rani yang bersenandung dengan bahagia. “Rani, kamu ada rasa tidak sama Rama? Awas, ya. Jangan suka […]
Part 13 : Candi Borobudur Keesokan harinya Rama sibuk mencari handphone yang biasa membangunkannya untuk berolahraga disaat Rama berada di Jogja. Rama tersenyum dan semangat untuk bangun, membersihkan diri dan segera membereskan kamarnya. Tidak lupa Rama juga menggunakan pakaian yang Rapih untuk menemui Rani hari ini. Sementara Rani seperti biasa masih bermalas-malasan di dalam kamarnya […]
Buy Pin Up Calendar E-book On-line At Low Prices In India After the installation is complete, you’ll have the flexibility […]
Karya Nurlaili Alumni KMO Alineaku Hampir 10 bulan, Pandemi Covid -19 telah melanda dunia dengan cepat dan secara tiba-tiba. Hal […]
Karya Lailatul Muniroh, S.Pd Alumni KMO Alineaku Rania akhirnya menikah juga kamu,,, begitu kata teman2nya menggoda, Yaa,,,Rania bukan anak.yang cantik […]
Karya Marsella. Mangangantung Alumni KMO Alineaku Banyak anak perempuan mengatakan bahwa sosok pria yang menjadi cinta pertama mereka adalah Ayah. […]
Karya Any Mewa Alumni KMO Alineaku Bukankah sepasang sejoli memutuskan bersatu dalam ikatan pernikahan demi menciptakan damai bersama? Tetapi bagaimana […]
Comment Closed: Jarak yang Tak Terlihat
Sorry, comment are closed for this post.