KATEGORI
  • Adat & Budaya
  • Agrikultur
  • Aksi
  • Arsitektur
  • Artikel
  • Asmara
  • Autobiografi
  • autobiography
  • Bahasa & Sastra
  • Berita Alineaku
  • Bisnis
  • Branding
  • Catatan Harian
  • Cerita Anak
  • Cerita Bersambung
  • Cerita Pendek
  • Cerita Rakyat
  • Cerpen
  • Cinta
  • Cita – Cita dan Harapan
  • Dongeng
  • Drama
  • Ekonomi
  • Epos
  • Event
  • Fabel
  • Fantasi
  • Fiksi
  • Gaya Hidup
  • Hiburan
  • Hobi
  • Hubungan Antarpribadi
  • Hukum
  • Humanis
  • Humor
  • Ilmu Manajemen
  • Inspirasi
  • Istri
  • Kampus
  • Karir dan Kewirausahaan
  • Keagamaan
  • Keluarga
  • Kesehatan & Kecantikan
  • Kesehatan Mental
  • Ketenagakerjaan
  • Kisa Masa Kecil
  • Kisah Inspiratif
  • Kritik Media
  • Kuliner
  • Legenda
  • Lifestyle
  • Lingkungan Hidup
  • Madhoe Retna
  • Manajemen
  • mengelola toko
  • Mental Health
  • Moralitas
  • Motivasi
  • Novel
  • Nutrisi
  • Nutrition
  • Opini
  • Organisasi
  • Otomotif
  • Parenting
  • Pemerintahan
  • Pendidikan
  • Pendidikan Karir
  • Pendidikan Keuangan
  • pengalaman hidup
  • Pengembangan Diri
  • Perjalanan Hidup
  • Pernikahan
  • Persahabatan
  • Pertemanan
  • Petualangan
  • Petualangan Alam
  • Pilih Kategori
  • Pilih Menu
  • Politik
  • Psikologi
  • Psikologi Sosial
  • Puisi
  • Romansa
  • Romantisme kehidupan
  • Rumah Tangga
  • Satir
  • SDM
  • Sejarah
  • Self-Acceptance
  • Self-Awareness
  • Seni & Budaya
  • Sosial
  • spiritual journey
  • Strategi
  • Teknologi
  • Tempat Wisata
  • Traveling
  • Uncategorized
  • Wanita
  • Beranda » Artikel » Jejak Dharma di Tanah Borneo, Lampung, dan Musi (Chapter 12)

    Jejak Dharma di Tanah Borneo, Lampung, dan Musi (Chapter 12)

    BY 30 Jul 2025 Dilihat: 7 kali
    Jejak Dharma di Tanah Borneo_alineaku

    Selain menyimpan banyak cerita unik tentang mahasiswa-mahasiswanya, kampus itu juga memberiku banyak ruang untuk berkembang. Setahun setelah aku mulai mengajar, aku dipercaya mewakili kampus dalam ajang lomba tingkat nasional yang diadakan di Kota Palangka Raya, Kalimantan Tengah. Pengalaman itu menjadi salah satu momen penting dalam perjalananku sebagai pendidik, sekaligus membuka kesempatan untuk bertemu dengan banyak orang hebat dari berbagai daerah di Indonesia.

    Lomba yang kuikuti waktu itu adalah Dharma Wacana Bahasa Inggris, sebuah bidang lomba baru dalam ajang Temu Karya Ilmiah Perguruan Tinggi Hindu Indonesia. Karena ini pengalaman pertama dan cabang lomba yang masih jarang diadakan, aku benar-benar serius mempersiapkan diri. Berbagai riset kulakukan, mulai dari materi keagamaan Hindu, referensi teks Dharma Wacana, hingga teknik public speaking dalam Bahasa Inggris. Aku tidak ingin menyia-nyiakan kesempatan emas ini, apalagi membawa nama kampus dan kotaku di tingkat nasional.

    Perjalanan menuju Palangkaraya menjadi cerita tersendiri yang tak pernah bisa kulupakan. Saat pesawat mulai memasuki wilayah Kalimantan, cuaca mendadak berubah. Langit yang semula cerah tiba-tiba gelap, lalu pesawat mengalami turbulensi hebat di atas hamparan perkebunan sawit yang membentang luas. Badan pesawat terasa berguncang keras seperti melewati jalan berbatu. Beberapa penumpang menjerit pelan, sementara yang lain pucat pasi, saling berpegangan tangan. Hampir semua penumpang komat-kamit membaca mantra atau doa dalam hati, termasuk aku.

    Detik itu aku benar-benar diingatkan tentang betapa kecilnya manusia di hadapan alam. Di tengah ketakutan itu, aku hanya bisa memejamkan mata, mengatur napas, dan berusaha menenangkan diri. Untungnya, setelah beberapa menit yang terasa seperti seumur hidup, pesawat berhasil melewati zona turbulensi dan mendarat dengan selamat di Bandara Tjilik Riwut, Palangka Raya. Begitu roda pesawat menyentuh landasan, tepuk tangan spontan terdengar dari seisi kabin. Aku menghela nafas lega. Terima kasih Tuhan.

    Lomba diadakan pada hari kedua di kota itu. Ada 13 peserta dari berbagai Perguruan Tinggi Hindu se-Indonesia, baik negeri maupun swasta. Suasana lomba begitu indah. Semua peserta mengenakan busana adat daerah masing-masing. Ada yang memakai udeng Bali, songket Palembang, pakaian adat Dayak, hingga kebaya Jawa. Panggung itu seakan menjadi potret kecil kebhinekaan Indonesia yang sesungguhnya. Harmoni itu sejalan dengan tema yang kubawakan saat lomba, Multicultural Society.

    Setelah opening ceremony yang penuh warna itu, satu per satu peserta dipanggil ke panggung untuk membawakan Dharma Wacana mereka. Setiap peserta tampil dengan ciri khasnya masing-masing. Ada yang tenang, ada yang tegas, ada pula yang ekspresif. Semua berlomba bukan hanya menyampaikan pesan keagamaan, tapi juga membawa kebanggaan daerah dan almamater.

    Saat namaku dipanggil, jantungku berdegup kencang. Telapak tangan dingin, dan kerongkongan terasa kering. Aku berdiri, menunduk hormat ke dewan juri, lalu mulai membawakan Dharma Wacana berjudul “The Essence of Bhineka Tunggal Ika in Multicultural Society.”

    Aku awali dengan mantra pembuka, “Om Swastyastu” lalu perlahan mulai masuk ke isi. Kuceritakan tentang pentingnya menjaga keberagaman, memupuk toleransi, dan bagaimana ajaran Hindu telah menanamkan nilai-nilai harmoni sejak dulu, disertai dengan sloka-sloka yang terkait. Kalimat demi kalimat mengalir dari mulutku. Sesekali aku menatap penonton dan dewan juri. Aku sempat gugup, namun aku terus mengatur napas, mencoba menenangkan diri.

    Di sudut ruangan, aku sempat melihat ayahku duduk di deretan bangku penonton. Pandangannya teduh, seakan mengirimkan doa dari jauh. Tatapan itulah yang membuatku kuat. Aku terus melanjutkan, hingga akhirnya usai.

    Saat pidato selesai, aku menutup dengan mantra penutup. Badanku terasa lemas, seperti baru saja turun dari medan perang. Aku turun dari panggung dengan napas terengah, namun lega karena telah menyelesaikan tugasku.

    Ayah langsung memelukku. Pelukannya erat, hangat, dan menenangkan. Aku hampir saja menangis saat itu juga. Semua rasa tegang dan gugup seakan luruh dalam pelukan itu.

    Waktu pengumuman pemenang tiba, aku tak terlalu berharap. Bagiku bisa tampil baik saja sudah cukup. Namun ketika MC menyebut namaku sebagai Juara 1, ruangan seketika bergemuruh oleh tepuk tangan. Aku terkejut, menatap Ayah yang langsung berdiri dan memberi isyarat doa dengan kedua tangannya. Mataku basah. Aku benar-benar tak menyangka.

    Aku maju ke depan panggung, menerima piala Juara 1 dan piagam penghargaan dari Bapak Dirjen Bimas Hindu, Kementerian Agama Republik Indonesia. Semua kamera tertuju padaku. Saat itu aku merasa bukan sekadar membawa nama kampus, tapi juga nama kampung halaman, keluarga, dan semua mimpi anak desa sepertiku.

    Setelah sukses di Pulau Borneo, langkahku tak berhenti. Ajang Dharma Wacana berbahasa Inggris berikutnya membawaku ke Lampung, tanah di ujung selatan Sumatra. Di sini, suasana terasa berbeda. Alamnya sejuk, lautnya membentang biru, dan adat masyarakatnya masih begitu kental. Panggung lomba digelar di sebuah hotel besar, yang dihias sedemikian rupa dengan ciri khas Lampung.

    Para peserta tetap datang dari berbagai daerah, mengenakan busana adat masing-masing. Ada yang mulai familiar di mataku, wajah-wajah yang dulu sempat beradu di Palangka Raya, namun kini lebih akrab. Suasana lomba di Lampung terasa lebih tenang, tapi tetap penuh gengsi. Saat aku membawakan materi, rasa percaya diriku mulai terasah. Aku belajar banyak hal di sini, mulai dari manajemen waktu, teknik vokal, hingga cara mengatasi demam panggung. Saat maju membawakan materi, aku bisa merasakan alur kata-kata mengalir lebih tenang, tanpa terlalu banyak rasa gugup. Dan, astungkara lagi-lagi aku dinobatkan sebagai Juara 1.

    Aku ingat, waktu itu suasana pengumuman pemenang begitu mendebarkan. Ketika namaku disebut, aku bahkan sempat menoleh ke kanan dan kiri, memastikan itu benar-benar namaku. Piala itu kembali kubawa pulang, tapi lebih dari sekadar piala, aku membawa pulang rasa syukur yang mendalam.

    Tak berselang lama setelah dari Lampung, aku kembali mendapat kesempatan mengikuti ajang Dharma Wacana berbahasa Inggris di Palembang, kota tua yang kaya sejarah. Kali ini, lomba diadakan di tempat yang tak biasa, Stadion Sriwijaya, stadion megah yang biasanya dipakai untuk pertandingan sepak bola dan berbagai event besar di Sumatera Selatan.

    Begitu memasuki area stadion, suasananya terasa berbeda. Lapangan luas terbentang, tribun tinggi menjulang, dan aula serbaguna di dalam stadion telah disulap menjadi panggung Dharmawacana. Dinding-dindingnya dihiasi kain songket Palembang berwarna merah dan emas yang berkilau terkena cahaya lampu. Nuansa etnik berpadu dengan megahnya stadion modern.

    Peserta dari berbagai daerah kembali hadir, termasuk beberapa wajah yang sudah mulai akrab. Persaingan di sini terasa lebih ketat. Peserta dari Sumatera Selatan tampil sangat percaya diri, dengan intonasi Bahasa Inggris yang lugas dan materi yang kuat. Namun, suasana keakraban tetap terasa hangat.

    Salah satu momen paling berkesan adalah ketika malam hari, selepas lomba, aku dan beberapa peserta berjalan-jalan di sekitar Jembatan Ampera. Lampu kota yang memantul di permukaan Sungai Musi menciptakan pemandangan yang indah. Kami berbagi cerita, tawa, dan semangat. Di malam itu aku benar-benar merasakan, lebih dari sekadar lomba, ajang ini telah mempererat tali persaudaraan di antara kami, anak-anak muda dari berbagai penjuru Nusantara.

    Aku pun kembali naik ke panggung lomba, menyampaikan pesan-pesan tentang harmoni dan keberagaman. Aku tetap berusaha memberikan yang terbaik. Meski sempat merasa sedikit kurang maksimal, aku tetap maju ke panggung dengan keyakinan. Dan meskipun kali ini aku hanya berhasil mendapatkan Juara 3, aku sangat bersyukur. Aku tahu, setiap panggung punya tantangannya sendiri. Justru di Palembang aku banyak belajar tentang sportivitas, kerendahan hati, dan pentingnya menikmati proses, bukan hanya hasil.

    Perjalanan dari Pulau Borneo ke Lampung, lalu ke Palembang, bukan hanya soal deretan piala yang kubawa pulang. Tapi tentang jejak-jejak yang kutinggalkan di tiap panggung, tentang pelukan-pelukan hangat dari keluarga, teman-teman seperjuangan, dan tentang pesan-pesan harmoni yang kucoba sampaikan di tengah keberagaman.

    Dari Juara 1 di Borneo, Juara 1 di Lampung, hingga Juara 3 di Palembang, aku belajar bahwa menang bukanlah segalanya, tapi kemauan untuk terus maju dan membawa pesan kebaikan itulah yang sejatinya paling berharga.

    Sejak saat itu, aku tahu bahwa suara kecil dari kampung pun bisa menggema di panggung besar negeri ini. Dan aku berjanji dalam hati, perjalanan ini baru permulaan. Masih banyak panggung lain yang menunggu untuk aku tapaki — membawa pesan Bhineka Tunggal Ika, menyuarakan keberagaman, dan menyebarkan kedamaian dalam setiap langkah.

     

     

    Kreator : Kade Restika Dewi

    Bagikan ke

    Comment Closed: Jejak Dharma di Tanah Borneo, Lampung, dan Musi (Chapter 12)

    Sorry, comment are closed for this post.

    Popular News

    • Part 15: Warung Kopi Klotok  Sesampainya di tempat tujuan, Rama mencari tempat ternyaman untuk parkir. Bude langsung mengajak Rani dan Rama segera masuk ke warung Kopi Klotok. Rama sudah reservasi tempat terlebih dahulu karena tempat ini selalu banyak pengunjung dan saling berebut tempat yang ternyaman dan posisi view yang pas bagi pengunjung. Bude langsung memesan […]

      Okt 01, 2024
    • Part 16 : Alun – Alun  Kidul Keesokan paginya seperti biasa Bude sudah bangun dan melaksanakan ibadah sholat subuh. Begitupun dengan Rani yang juga melaksanakan sholat subuh. Rani langsung ke dapur setelah menunaikan ibadah sholat subuh. Tidak lama disusul oleh Bude dan langsung mengambil bahan masakan serta mengiris bahan untuk memasak. Rani dan Bude sangat […]

      Okt 16, 2024
    • Part 14: Kopi Klotok Pagi hari yang cerah, secerah hati Rani dan semangat yang tinggi menyambut keseruan hari ini. Ia bersenandung dan tersenyum sambil mengiris bahan untuk membuat nasi goreng. Tante, yang berada di dekat Rani, ikut tersenyum melihat Rani yang bersenandung dengan bahagia. “Rani, kamu ada rasa tidak sama Rama? Awas, ya. Jangan suka […]

      Sep 18, 2024
    • Part 13 : Candi Borobudur Keesokan harinya Rama sibuk mencari handphone yang biasa membangunkannya untuk berolahraga disaat Rama berada di Jogja. Rama tersenyum dan semangat untuk bangun, membersihkan diri dan segera membereskan kamarnya. Tidak lupa Rama juga menggunakan pakaian yang Rapih untuk menemui Rani hari ini. Sementara Rani seperti biasa masih bermalas-malasan di dalam kamarnya […]

      Sep 07, 2024
    • Part 12 : Cemburu Rama langsung memukul Jaka saat Jaka baru saja masuk ke ruang kerjanya Rama. Jaka yang meringis bukannya marah namun malah tersenyum terhadap Rama karena Jaka tahu bahwa Rama lagi cemburu terhadapnya. Rama males menjawab salam dari Jaka namun sebagai orang yang punya adab Rama harus menjawab salam dari Jaka dengan sopan. […]

      Sep 05, 2024

    Latest News

    Buy Pin Up Calendar E-book On-line At Low Prices In India After the installation is complete, you’ll have the flexibility […]

    Jun 21, 2021

    Karya Nurlaili Alumni KMO Alineaku Hampir 10 bulan, Pandemi Covid -19 telah melanda dunia dengan cepat dan secara tiba-tiba. Hal […]

    Des 07, 2021

    Karya Lailatul Muniroh, S.Pd Alumni KMO Alineaku Rania akhirnya menikah juga kamu,,,  begitu kata teman2nya menggoda, Yaa,,,Rania bukan anak.yang cantik […]

    Des 07, 2021

    Karya Marsella. Mangangantung Alumni KMO Alineaku Banyak anak perempuan mengatakan bahwa sosok pria yang menjadi cinta pertama mereka adalah Ayah. […]

    Des 07, 2021

    Karya Any Mewa Alumni KMO Alineaku Bukankah sepasang sejoli memutuskan bersatu dalam ikatan pernikahan demi menciptakan damai bersama? Tetapi bagaimana […]

    Des 07, 2021