Langit pagi di madrasah aliyah itu selalu tampak cerah, seolah menyambut langkah para siswa yang membawa mimpi dan semangat. Di antara mereka, ada satu sosok yang tak begitu menonjol. Fadhil, namanya. Wajahnya tenang, langkahnya ringan, dan matanya selalu memandang lurus ke depan, seperti tengah merawat harapan di dalam hati.
Fadhil bukan anak laki-laki yang mudah bergaul. Ia pendiam, lebih suka duduk di pojok kelas, menulis di buku catatannya, atau membaca sambil mendengarkan musik klasik dari ponselnya. Namun, semangatnya membara saat pertama kali masuk madrasah ini. Madrasah ini adalah impiannya sejak lulus SMP, tempat yang selalu ia bayangkan akan menjadi gerbang masa depannya.
“Akhirnya kita di sini juga, Dil.” kata Dani, sahabatnya sejak di bangku sekolah dasar, saat mereka berdiri di gerbang madrasah pada hari pertama.
Fadhil tersenyum. “Kita berhasil ya, Dan. Semua lelah belajar waktu SMP nggak sia-sia.”
Meski memilih jurusan yang berbeda, Fadhil di program IPA dan Dani di IPS, hubungan mereka tetap erat. Setiap istirahat, mereka akan bertemu di taman belakang sekolah, duduk di bangku panjang di bawah pohon belimbing yang rindang.
“Gimana kelas IPA? Pasti banyak tugas, ya?” tanya Dani sambil menggigit roti isi.
“Iya, apalagi fisika … bikin mumet.” jawab Fadhil sambil terkekeh kecil.
Namun, kebersamaan itu mulai berubah saat Fadhil naik ke kelas XI. Ia duduk sebangku dengan David, siswa laki-laki yang dikenal sering bolos dan jarang mengerjakan tugas.
Awalnya, Fadhil tetap berusaha menjaga jarak. Tapi, David selalu mendekat, mengajaknya bicara, memberi perhatian yang tak pernah ia terima dari teman-teman sebelumnya.
“Ngapain sih rajin banget ngerjain tugas? Nggak penting juga. Palingan juga cuma dapet angka doang.” ujar David suatu siang.
Fadhil diam. Tapi, ketika David menatapnya tajam dan mengancam, hatinya mulai goyah.
“Kalau kamu mulai sok rajin, aku pindah tempat duduk aja, ya.”
Fadhil takut kehilangan perhatian, takut kembali ke sunyi yang dulu.
Satu demi satu, tugas-tugas ia abaikan. Awalnya hanya satu mata pelajaran, lalu merambat ke semua. Ia mulai menikmati rasa “bebas” itu. Bebas dari tekanan, bebas dari ekspektasi.
“Main PS yuk malam ini.” ajak David suatu malam lewat pesan WhatsApp.
“Jam berapa?” balas Fadhil.
“Jam sembilan. Sampe subuh juga boleh.”
Dan, sejak malam itu, Fadhil mulai sering pulang larut, dimarahi orang tua, susah bangun pagi, dan bolos sekolah hingga berhari-hari.
Suatu hari, ia dipanggil oleh wali kelas. Di ruang BK, wajah guru tampak serius.
“Fadhil, ini sudah SP kedua kamu. Dalam sebulan, kamu bolos hampir lima hari tanpa keterangan.”
Ia hanya menunduk. Saat orang tuanya dipanggil, ibunya menangis tersedu di hadapan wali kelas dan guru BK madrasah.
“Ini bukan anak kami yang dulu.” kata ibunya sambil memegang surat perjanjian.
Semester dua kelas XI, Fadhil mencoba berubah. Ia menyelesaikan tugas-tugas tertunda, mulai datang tepat waktu. Dani kembali menjadi temannya yang paling setia, mendukung dari kejauhan.
Tapi, David belum selesai.
“Kenapa balik jadi anak baik lagi? Sok banget. Nggak asik, Dil!” ucapnya suatu sore.
Dan perlahan, Fadhil tergelincir lagi. Di kelas XII, ia kembali terperosok dalam pola lama. Tugas menumpuk, kehadiran minim.
Namun kali ini, dia tidak menangis. Tidak juga memberontak. Ia pergi bersama David ke warung kopi pinggir desa, duduk berjam-jam tanpa arah.
David, yang sedari kecil hidup tanpa sosok Ayah, hanya tahu kerasnya dunia dari balik jendela rumah neneknya. Ia selalu bilang, “Aku nggak tahu rasanya dicintai. Jadi, kalau kamu merasa dicintai, itu aneh buatku.”
Musim hujan datang membawa dingin yang lebih dari biasanya. Setiap pagi, jendela kamar Fadhil tampak berkabut, dan embun yang menempel seolah mencerminkan pikirannya yang buram.
Ia menghabiskan banyak waktu dengan David. Nongkrong, main PS, duduk di emperan toko yang sudah tutup sambil menatap lampu jalanan. Tapi semakin lama, semua itu terasa kosong. Fadhil mulai merasakan sesak yang tak bisa dijelaskan. Rasanya seperti berjalan dalam kabut tanpa tahu arah. Fadhil menatap David sore itu. Ada luka yang tak bisa ia sembuhkan. Namun, di balik luka itu, ia mulai sadar bahwa tenggelam bersama seseorang yang tersesat bukanlah bentuk dari kesetiaan, tapi jalan menuju kehancuran.
Suatu malam, saat ia pulang larut, ibunya menunggu di ruang tamu dengan wajah lelah. Rambut ibunya mulai banyak yang beruban, matanya sembab. Tak ada teriakan malam itu, hanya suara lirih yang menyayat.
“Dil… Ibu kangen sama kamu yang dulu.”
Fadhil tercekat. Ia menunduk. Jari-jarinya meremas ujung jaket yang basah karena hujan.
“Ibu cuma pengen kamu sukses dan bahagia, bukan hanyut…”
Fadhil tak sanggup menahan air matanya. Ia jatuh berlutut di lantai, memeluk kaki ibunya, menangis dalam diam. Malam itu, untuk pertama kalinya, ia benar-benar merasa kehilangan dirinya sendiri.
Beberapa hari kemudian, Dani datang. Membawa buku catatan, soal-soal latihan, dan secangkir cokelat panas.
“Kamu harus semangat untuk ujian PAT dan UM, Dil. Nilai semester sebelumnya masih bisa jadi bekal.” kata Dani sambil duduk di sisi ranjang.
“Aku malu, Dan … Aku bahkan nggak tahu siapa diriku sekarang.” ucap Fadhil lirih.
“Kamu adalah orang yang sama seperti dulu… Kamu cuma kesasar sebentar.”
Hari-hari berikutnya, Fadhil mulai menata kembali hidupnya. Ia belajar di rumah, perlahan. Dani dan seorang guru BK, Bu Latifah, ikut membantu. Mereka tak menuntut banyak, hanya meminta satu hal; konsisten, meski lambat.
David mulai jarang menghubunginya. Mungkin karena Fadhil tidak lagi bisa diajak keluar malam, atau karena ia mulai menyadari, Fadhil sedang membangun kembali puing-puing dirinya.
Pagi itu, ketika hujan sudah reda, Fadhil membuka jendela kamarnya. Matahari malu-malu menyusup lewat celah tirai. Ia tersenyum kecil, menggenggam buku catatannya yang penuh coretan baru.
Tak lama kemudian, Dani mengetuk pintu.
“Siap ke madrasah untuk ujian?”
Fadhil mengangguk. Kali ini, langkahnya mungkin tak secepat dulu, tapi jauh lebih mantap. Ia tahu, kehidupan tak selalu lurus. Kadang kita jatuh, kadang kita dibutakan oleh perhatian palsu, tapi selalu ada jalan pulang.
Hari ini, matahari terasa lebih hangat dari biasanya. Langit bersih tanpa awan, seolah memberi ruang untuk kenangan terbang bebas, mengitari setiap sudut madrasah yang kini dipenuhi senyum haru dan tangis bahagia. Hari ini, adalah hari terakhir Ujian Madrasah.
Biasanya, ia selalu tergesa-gesa menuju kelas. Tapi, tidak hari ini. Langkahnya pelan, menyusuri lorong panjang yang dulu sering ia lewati dengan nafas terburu. Tangannya menyentuh tembok kasar di sebelah kiri, mencoba meresapi setiap getaran kenangan yang tertinggal.
Ia berhenti sejenak di depan kelas XII IPA 4. Suasana ramai di dalam kelas seperti gema dari masa lalu. Tawa teman-teman terdengar akrab, tapi juga terasa jauh, seperti suara dari dunia yang perlahan akan ia tinggalkan.
Bangku paling belakang, dekat jendela, masih kosong. Tempat favoritnya.
Ia duduk perlahan, menyandarkan tubuh dan memandang keluar jendela. Lapangan itu … tempat ia dulu menatap kosong saat pelajaran terasa berat, dan tempat di mana tawa serta cerita-cerita kecilnya dengan David pernah menggantung di udara.
Kini, tak ada lagi PR, tak ada ulangan mendadak, tak ada guru yang marah karena buku tugas kosong. Yang ada hanya suara riuh teman-temannya yang menulis di kertas kelas yang nanti akan dibukukan dan cerita rencana masa depan yang saling dibisikkan.
“Dil, kamu nggak nulis pesan di kertas itu?” tanya Sari sambil membawa pena.
Fadhil tersenyum. “Aku nulis sesuatu di hati aja, Ri. Tapi… boleh deh, satu kalimat.”
Dengan tangan yang sedikit gemetar, ia menulis di buku kelas:
“Di sinilah aku pernah tersesat, lalu menemukan jalan pulang. Terima kasih, madrasah.”
Fadhil menatap tulisan itu cukup lama. Matanya berkaca-kaca, tapi bibirnya mengulas senyum. Madrasah ini bukan sekadar tempat belajar baginya. Di sinilah ia pernah jatuh dalam kegelapan, tenggelam dalam pilihan yang salah, lalu perlahan menemukan pijakan untuk kembali berdiri.
“Jadi… mau kuliah atau kerja dulu?” tanya Dani lagi, menepuk pelan bahunya.
“Aku belum tahu pasti, tapi yang jelas… aku mau jadi versi terbaik dari diriku.” jawab Fadhil mantap.
Bel sekolah berbunyi. Bukan untuk memulai pelajaran, tapi untuk mengakhiri satu bab dalam hidup mereka. Semua siswa berdiri, berjalan keluar kelas dengan langkah yang tak lagi ringan. Sebagian tertawa, sebagian lain tak kuasa menahan air mata.
Fadhil menoleh sekali lagi ke dalam kelas.
“Selamat tinggal, bangku pojok dekat jendela. Terima kasih sudah menemani.” bisiknya dalam hati.
Dan, saat ia melangkah keluar dari gerbang madrasah, seragam putih abu-abu yang ia kenakan terasa begitu bermakna, penuh cerita, luka, harapan, dan keberanian untuk melangkah ke dunia yang lebih luas.
Langit tetap cerah, dan kali ini, Fadhil melangkah dengan kepala tegak, membawa luka yang telah sembuh dan harapan yang baru tumbuh.
Kreator : Siti Murdiyati
Part 15: Warung Kopi Klotok Sesampainya di tempat tujuan, Rama mencari tempat ternyaman untuk parkir. Bude langsung mengajak Rani dan Rama segera masuk ke warung Kopi Klotok. Rama sudah reservasi tempat terlebih dahulu karena tempat ini selalu banyak pengunjung dan saling berebut tempat yang ternyaman dan posisi view yang pas bagi pengunjung. Bude langsung memesan […]
Part 16 : Alun – Alun Kidul Keesokan paginya seperti biasa Bude sudah bangun dan melaksanakan ibadah sholat subuh. Begitupun dengan Rani yang juga melaksanakan sholat subuh. Rani langsung ke dapur setelah menunaikan ibadah sholat subuh. Tidak lama disusul oleh Bude dan langsung mengambil bahan masakan serta mengiris bahan untuk memasak. Rani dan Bude sangat […]
Part 14: Kopi Klotok Pagi hari yang cerah, secerah hati Rani dan semangat yang tinggi menyambut keseruan hari ini. Ia bersenandung dan tersenyum sambil mengiris bahan untuk membuat nasi goreng. Tante, yang berada di dekat Rani, ikut tersenyum melihat Rani yang bersenandung dengan bahagia. “Rani, kamu ada rasa tidak sama Rama? Awas, ya. Jangan suka […]
Part 13 : Candi Borobudur Keesokan harinya Rama sibuk mencari handphone yang biasa membangunkannya untuk berolahraga disaat Rama berada di Jogja. Rama tersenyum dan semangat untuk bangun, membersihkan diri dan segera membereskan kamarnya. Tidak lupa Rama juga menggunakan pakaian yang Rapih untuk menemui Rani hari ini. Sementara Rani seperti biasa masih bermalas-malasan di dalam kamarnya […]
Part 12 : Cemburu Rama langsung memukul Jaka saat Jaka baru saja masuk ke ruang kerjanya Rama. Jaka yang meringis bukannya marah namun malah tersenyum terhadap Rama karena Jaka tahu bahwa Rama lagi cemburu terhadapnya. Rama males menjawab salam dari Jaka namun sebagai orang yang punya adab Rama harus menjawab salam dari Jaka dengan sopan. […]
Buy Pin Up Calendar E-book On-line At Low Prices In India After the installation is complete, you’ll have the flexibility […]
Karya Nurlaili Alumni KMO Alineaku Hampir 10 bulan, Pandemi Covid -19 telah melanda dunia dengan cepat dan secara tiba-tiba. Hal […]
Karya Lailatul Muniroh, S.Pd Alumni KMO Alineaku Rania akhirnya menikah juga kamu,,, begitu kata teman2nya menggoda, Yaa,,,Rania bukan anak.yang cantik […]
Karya Marsella. Mangangantung Alumni KMO Alineaku Banyak anak perempuan mengatakan bahwa sosok pria yang menjadi cinta pertama mereka adalah Ayah. […]
Karya Any Mewa Alumni KMO Alineaku Bukankah sepasang sejoli memutuskan bersatu dalam ikatan pernikahan demi menciptakan damai bersama? Tetapi bagaimana […]
Comment Closed: Jejak di Bangku Pojok
Sorry, comment are closed for this post.