Pesta ulang tahun Willy berakhir dengan suasana yang bercampur aduk bagiku. Aku tak pernah menyangka, di tengah musik meriah dan gelak tawa tamu undangan, ia akan bertemu dengan wajah-wajah yang selama ini hanya muncul di benaknya. Wajah itu seperti bercermin. Jay, pria yang kukenal hanya sebagai seniorku di kampus, ternyata adalah kakakku, dan orang-orang yang berdiri di samping Willy, mereka adalah keluargaku.
Aku masih duduk diam di sofa ruang tamu setelah semua tamu undangan pulang. Nyonya Aditya, ibunda Willy, duduk di sampingku dengan pandangan yang penuh harap. Sementara itu, Willy berdiri di dekat pintu, seolah tak tahu harus berbuat apa.
“Nak Mayang,” suara lembut Nyonya Aditya memecah keheningan.
“Kami tidak tahu bagaimana mengungkapkan ini padamu. Kami ingin kau tahu bahwa selama ini kami tidak pernah berhenti mencarimu. Kau mungkin tidak percaya, tapi tidak ada hari yang berlalu tanpa kami mengingatmu. Kami sungguh ingin memperbaiki kesalahan kami di masa lalu.”
Aku mengangkat kepala perlahan.
“Kesalahan?” suaraku bergetar.
“Kami tahu, ini sulit bagimu. Tapi izinkan kami menjelaskan.”
Jay mengambil alih.
“Dua puluh tahun lalu kau terpisah dari kami karena insiden yang tidak pernah bisa kami lupakan.”
Aku merasa tubuhku kaku. Ingatan tentang panti asuhan, hidup dalam kekurangan, dan perjuangan selama ini melintas dalam benakku.
“Insiden?” ulangku dengan suara hampir tak terdengar.
Nyonya Aditya menahan air mata.
“Kau diculik saat berusia tiga tahun. Kami sedang di Taman Kota, waktu itu. Kami mencarimu ke mana-mana, menyebarkan foto, bekerja sama dengan polisi. Bahkan, kami mendatangi setiap anak yang kami temui di jalan, berharap salah satu dari mereka adalah kau, hingga Papa meninggal karena kecelakaan saat mencarimu. Setelah bertahun-tahun, kami kehilangan jejak. Kami bahkan berpikir kau sudah—” Nyonya Aditya terisak, tak sanggup melanjutkan.
“Sudah meninggal,” Jay menyelesaikan kalimat itu dengan ekspresi dingin.
Semua orang terdiam.
Willy melangkah mendekat dan duduk di sampingku.
“May, aku tahu ini berat dan asing bagimu. Aku juga tidak menyangka ini semua akan terjadi malam ini. Tapi kau harus tahu, kami tidak pernah berhenti mencarimu.”
Aku menatap mata Willy.
“Dan, butuh waktu dua puluh tahun untuk menemukan kamu, May!” nada suaranya terdengar sarkastik.
“Kami tidak tahu kau ada di kota ini,” jawab Nyonya Aditya tegas.
“Jika saja kami tahu lebih awal…”
Aku menghela napas dalam-dalam.
“Kalian bilang aku diculik, tapi kenapa aku tidak pernah mendengar tentang penculikan itu dari siapapun? Tidak ada berita maupun petunjuk dari panti asuhan yang menampungku waktu itu.”
Nyonya Aditya terlihat ingin menjawab, tapi Jay melangkah maju.
“May, kau diadopsi secara ilegal. Itu sebabnya, jejakmu menghilang. Kami baru menemukanmu karena… aku menemukan identitasmu di tumpukan file almarhum Papa.”
Nyonya Aditya membuka tas dan mengeluarkan sebuah foto lama. Itu adalah foto seorang bayi digendong seorang pria berpakaian formal, dengan tulisan di baliknya: Untuk Ayu kecil, sayangnya Papa. Aku mencoba mengenali foto wajah itu. Itu adalah foto yang sama, ketika aku temukan di rumahku beberapa hari yang lalu.
“Kami menyebarkan foto ini ke seluruh penjuru negeri,” jelas Nyonya Aditya.
“Tapi penculikmu pergi ke tempat yang tidak pernah kami bayangkan. Kau diadopsi tanpa sepengetahuan kami.”
Kata-kata itu menghantamku seperti palu. Selama ini, aku selalu berpikir bahwa aku hidup dengan orangtua kandungku. Ternyata, aku memiliki keluarga kandung yang kaya, hidupnya enak, berkecukupan dan dikelilingi kemewahan.
Aku mengalihkan pandangan pada Willy dan Jay. Mata kami bertemu dan aku melihat sesuatu yang tak bisa ia tolak—kejujuran. Namun, rasa sakit dan keraguanku masih terlalu besar.
“Kalian ingin aku langsung percaya begitu saja?” suaraku bergetar, meski berusaha terdengar tegar.
“Seolah dua puluh tahun itu hanya mimpi buruk yang tiba-tiba berakhir?”
“Kami tidak meminta itu,” kata Nyonya Aditya.
“Kami hanya ingin memberimu kesempatan untuk mengenal kami. Tidak ada paksaan.”
Keheningan kembali menyelimuti ruangan. Mayang ingin bangkit dan pergi, tapi tubuhnya terasa berat. Ada sesuatu di wajah-wajah mereka yang membuatnya tetap tinggal—sesuatu yang menyerupai… harapan.
“May,” suara Willy lembut.
“Aku tahu ini sulit. Aku juga terkejut ketika tahu kau adalah adikku. Tapi aku ingin kita punya kesempatan untuk mengenal satu sama lain. Tidak sebagai teman, tapi sebagai keluarga.”
Aku menghela napas panjang.
“Aku butuh waktu,” kataku pelan.
“Aku tidak bisa membuat keputusan besar sekarang.”
Nyonya Aditya tersenyum kecil, meski matanya masih basah oleh air mata.
“Itu lebih dari cukup, Nak Mayang. Kami hanya ingin kau tahu bahwa pintu ini akan selalu terbuka untukmu.”
Saat aku keluar dari pintu rumah, angin malam yang dingin menyambutnya. Langit sudah gelap, dan kota terasa begitu sunyi. Langkah kakiku terasa berat, namun saat mataku melirik jam tangan, aku terkejut melihat pukul hampir dua belas malam. Pesta yang awalnya penuh kebahagiaan kini meninggalkan ketegangan yang mendalam.
“Mayang, tunggu!” suara Willy memanggilku dari belakang.
Aku menoleh. “Ada apa lagi?”
Willy mendekat, terlihat ragu.
“Maksudku… sudah terlalu larut. Sebaiknya, kau menginap di sini dulu. Di rumah ini. Toh, ini jadi rumahmu juga, kan?”
Aku menatap Willy lama. Akhirnya, aku mengangguk pelan.
“Baiklah, terima kasih.”
Willy menatapnya, seolah ingin mengatakan sesuatu, namun kemudian memilih diam. Jay mengantarkanku ke kamar tidur untuk beristirahat.
Setelah beberapa menit, aku merasakan mataku terpejam.
Kreator : Fati Nura
Comment Closed: Jejak yang terungkap
Sorry, comment are closed for this post.